eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Sakit dan meninggalnya para petugas penyelenggara Pemilu 2019, sebaiknya tidak diarahkan ke mindset (pola piker) negatif mengenai demokrasi Indonesia. Narasi yang dibangun jangan sampai menimbulkan trauma bagi keluarga pahlawan demokrasi.
“Penggiringan mindset demikian yang harus dihindari. Termasuk para tim sukses dan peserta pemilu, jangan sampai ada penggiringan opini yg melahirkan trauma demokrasi terhadap rakyat,” ujar Ketua Umum Kelompok Kerja (Pokja) Rumah Demokrasi, Zainudin Kismit, Sabtu (11/5).
Sejauh ini isu ramainya petugas meninggal sangat sulit dibendung. Informasi yang beredar di media sosial tidak sedikit yang perlu di verifikasi kebenarannya. Bahkan, sudah ada informasi yang bersifat disinformasi dan hoaks. Diperparah lagi dengan kondisi banyaknya asumsi-asumsi berkaitan dengan yang meninggal. “Kalau ada pertanyaan mengenai penyebab meninggalnya para petugas. Menurut saya itu wajar saja, apalagi lebih dari 500-an orang yang telah meninggal dalam Pemilu 2019. Namun, kita juga tidak boleh melupakan para keluarga yang ditinggalkan, semuanya harus menjaga perasaan mereka yang saat ini sedang berduka. Jangan sampai asumsi-asumsi yang dibangun di ruang public, malah memberikan beban kepada pihak keluarga,” paparnya.
Salah satu yang sangat disayangkan, penyelenggara pemilu terkesan tidak mengantisipasi isu-isu sensitif seperti ini. Khususnya, isu yang berkaitan setelah proses pungut hitung. Padahal, isu-isu yang berkembang sejauh ini bukanlah hal yang baru. Karena pada Pemilu 2014 dan sebelumnya, isu yang sama juga ramai menjadi perdebatan publik. “Kalau kita melihat sekarangkan penyelenggara sibuk klarifikasi. Sudah viral baru mereka menjelaskan kepada publik, seharusnya ini bisa diantisipasi. Saya kurang tahu, apakah isu yang berkembang, masuk dalam pemetaan potensi rawan. Harusnya isu sensitif seperti ini memiliki potensi yang perlu diantisipasi,” ujar dia.
Pada proses pemilu kali ini harus ada kesan demokrasi yang baik. Jangan sampai menimbulkan trauma demokrasi bagi para keluarga petugas penyelenggara pemilu yang meninggal. Khawatirnya ada anggapan pemilu yang menyebabkan hal yang tidak diinginkan. Penggiringan mindset yang demikian harus dihindari, termasuk para tim sukses dan pserta pemilu, jangan sampai ada penggiringan opini yang melahirkan trauma demokrasi terhadap rakyat.
Masyarakat harus cerdas menyaring informasi terkait isu-isu sensitif. Jangan sampai pertanyaan-pertanyaan masyarakat itu dipolitisasi secara berlebihan. Sehingga menimbulkan perdebatan yang tidak sehat. Sebaiknya masyarakat menerima informasi dari sumber yang benar, jangan sampai belum diketahui kebenarannya masyarakat sudah men-share informasi tersebut.
Kemudian, elit-elit politik juga harus menghimbau pendukungnya untuk bersikap tenang. Jangan malah berasumsi atau membangun opini di ruang publik yang malah memperlebar masalah.
Penting juga asumsi-asumsi yang dibangun di publik harus disampaikan secara utuh. Sehingga masyarakat menerima informasi yang benar dan tidak membingungkan. “Elit politik mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Kita harus sama-sama menjaga proses demokrasi ini berjalan damai dan sukses,” tegasnya.
Ramainya desakan investigasi untuk para korban yang meninggal, sah-sah saja. Tapi yang perlu menjadi perhatian dan tidak boleh diabaikan adalah pihak keluarga korban. Dimana semua pihak harus mendengarkan juga aspirasi dari para keluarga korban. “Para keluarga korban mempunyai hak yang sama untuk menentukan hal itu. Kalaupun dilakukan investigasi semua harus sepakat, dilakukan oleh orang-orang profesional dan independen,” tutur dia.
Tidak hanya itu, penyelenggara pemilu harus merangkul tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, dan sebagainya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai isu-isu yang berkembang sejauh ini. Karena bagaimanapun tokoh-tokoh tersebut punya kedekatan dan bersentuhan langsung dengan masyarakat arus bawah. “Penyelenggara bisa saja menjelaskan kepada tokoh-tokoh (tidak termasuk timses, red) ini apa yang terjadi sebenarnya, termasuk hasil audit internal penyelenggara pemilu. Nanti para tokoh ini yang akan membantu KPU maupun Bawaslu menjelaskan kepada masyarakat,” ungkap Zai.
Yang tidak kalah penting, santunan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah harus segera di serahkan kepada pihak keluarga. Selain itu, kita perlu memberikan apresiasi setinggi-tingginya untuk mereka yang rela mengorbankan nyawa demi mensukseskan proses demokratisasi di Indonesia. Dimana apresiasi itu tidak hanya berupa santunan dan hastag saja.
Perlu juga dipikirkan oleh pemerintah untuk memberikan apresiasi lebih bagi keluarga yang ditinggalkan. Apalagi sejauh ini tidak sedikit yang meninggal adalah tulang punggung keluarga. “Apresiasi itu bisa dalam bentuk memberikan beasiswa pendidikan bagi anak-anak mereka. Kalau santunan itukan memang kewajiban pemerintah dan hak keluarga untuk mendapatkannya,” tuturnya.
Harus ada evaluasi secara mendalam terkait persoalan ini. Karena bagaimanapun jika ditarik permasalahan awalnya terdapat didalam pembuatan UU dan rekrutmen yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Dimana para pembuat UU tidak mengantisipasi hal tersebut. Misalnya didalam UU mewajibkan proses perhitungan harus dilakukan dalam jangka satu hari, yang kemudian pasal tersebut yudisial review ke Mahkamah Kosntitusi (MK) dan diputuskan dengan menambahkan hari. “Kemudian berkaitan dengan rekrutmen petugas. Harusnya tes kesehatan menjadi pegangan penyelenggara untuk mengantisipasi. Kalau menurut KPU yang meninggal karena sakit bawaan harusnya mereka bisa menimalisir hal tersebut,” pungkasnya.
Laporan: Rizka Nanda
Editor: Yuni Kurniyanto