APE KABAR BUJANG DARE?
Salah satu kontes seperti itu yang tenar di Pontianak adalah pemilihan Bujang Dare. Muhammad Rizal Edwin, selain pernah menjadi juara Bujang Dare juga pernah menjadi penyelenggara beberapa perhelatan event tersebut. Ia mengakui menurunnya kualitas Bujang Dare masa kini.
“Bujang dare dulu itu sangat dielu-elukan. Siape bujang, siape dare, pasti dicari-cari orang. Semua berlomba-lomba untuk ikut,” terang Rizal.
Kini, ia bahkan berani menyebut bahwa Bujang Dare turun kelas. “Saya berani bilang karena saya pernah di sana, bujang dare itu bukan sekedar among tamu,” tegasnya.
Kata dia, tugas Bujang Dare adalah ‘duta besar’ bagi Kota Pontianak. “Jadi kalau orang ndak kenal Pontianak, itu salah satunya salah bujang dare, karena tugas dialah untuk mengenalkan,” ungkapnya. “Maka itulah harusnya bujang dare itu dia punya blog, punya website, punya sosial media, untuk mengenalkan Pontianak ini,” tambah Edwin.
Event Bujang Dare pun kini telah kehilangan prestige-nya. “Dulu sangat diperebutkan, karena memang mengejar sesuatu yang bermanfaat. Banggenye kita dulu adalah saat diminta menjamu menteri, nyambut tamu dari luar negeri, dan segala macamnya, kalau sekarang jangan harap, masih bisa dihitung dengan jari kegiatan-kegiatan seperti itu,” bebernya.
Edwin menegaskan, perlu adanya standardisasi agar kualitas duta-duta wisata dan sebagainya terjamin. “Jangan sampai sudah di nasional, begitu balik ke sini cuma jadi SPG,” selorohnya.
Terkait keterbatasan dalam pelaksanaan Bujang Dare, kembali lagi ke keseriusan pemerintah dalam penggarapan maupun pemanfaatannya. Ia meyakini, jika pemerintah serius, maka hasil yang didapat juga akan maksimal.
“Bujang dare beda ama abang none (Jakarta). Abang none itu menangnya dapat mobil. Saya pernah ketemu dengan abang none Jakarta Selatan, dan kualitasnya ini memang lain. Saya bayangkan orang kayak dia turun di bujang dare terkeok-keok semua,” ujar Edwin.
Meski pesimis, ia masih menyimpan secercah harapan. Menurutnya, yang diperlukan sekarang adalah dorongan agar ide-ide segar bisa masuk guna memaksimalkan kualitas kontes-kontes semacam ini.
“Sekarang kepala dinasnya baru, kabidnya baru, mereka itu butuh masukan dari kita, kita konsep, kita ajukan ke dia, mereka sejauh ini terbuka,” tukasnya.
Selain itu, ia berharap ada fleksibelitas anggaran pemerintah. “Karena itulah saya dorong itu, udah lah kalau memang susah, tidak usah APBD-lah. Biar bansos saja, biar lebih maksimal hasilnya,” imbuh Edwin.
Sementara itu, peneliti dan pengkaji budaya Pontianak, Rizal Syamsoe menyebut pemerintah setempat harus berani untuk menghadirkan konsep yang berbeda. “Kalau kita bisa ketemu orang dinas yang mengurusi ini, kita tanya, program mereka ini ada ndak sih untuk sebelum dan sesudah acara?” tanya dia.
Ia menilai kekurangan dari para Bujang dan Dare Pontianak selama ini adalah kemampuannya mengenal adat dan budaya Pontianak. Jangan sampai Bujang Dare tidak lebih dari ajang kecantikan semata.
“Kita tutup face-nya dulu, wajah bisa dipoles, tapi pengenalan tradisinya dikedepankan. Jadi mereka benar-benar menjiwai, bukan sekedar catwalk-nya. Misalnya, jangan sampai kalau ditanya tau ndak cara buat bubur pedas, malah ndak tau,” tutur Rizal.
Ia mengusulkan kontes kecantikan menjadi ajang penggemblengan untuk mengenal adat dan budaya. “Kalau perlu, bukan dikarantina 3 bulan sebelumnya, setahun kalau bisa. Itu untuk mengenalkan mereka pada adat budaya, makanan, seni, semuanya. Jadi mereka ikut bukan untuk sekedar biar viral tapi benar-benar digembleng,” tukasnya.
Rizal pun meminta penyelenggara tidak usah takut untuk berbeda asalkan hasil yang dicapai maksimal dan sesuai harapan. Sebab, ia benar-benar berharap duta-duta hasil kontes tak sekedar penyambut tamu. Melainkan orang yang benar-benar memahami budaya yang ia wakili.
Nandar, dari Persatuan Orang Melayu Kalimantan Barat, sepakat. Ia pengin Bujang Dare bisa mengkampanyekan budaya Melayu. “Belum ada yang membumi, saya tidak ada melihat aksi dari bujang dare yang mengkampanyekan dan menghidupkan budaya Melayu”, ujarnya.
Ia meminta, sebagai perwakilan warga Pontianak, seharusnya para Bujang Dare mampu membuat tradisi membudaya atau menjadi sesuatu yang trendy dan viral di masyarakat. “Kenapa nggak misalnya kita jadikan tanjak untuk sehari-hari, sambil ngopi atau sebagainya,” pungkas Nandar.
Laporan: Iman Santosa
Editor: Mohamad iQbaL