Jangan Baper

eQuator.co.id – Publik tiba-tiba heboh. Gara-gara ada tayangan di sebuah stasiun televisi nasional yang memperlihatkan keanehan. Ada tayangan hasil quick count dari sejumlah lembaga survei. Kemudian ada tayangan hasil rata-ratanya. Ternyata, angkanya tidak sinkron. Terbalik.

Pasangan 01, dalam grafis di 4 lembaga survei itu tertulis kalah. Tapi di grafis hasil rata-rata, tertulis menang. Tidak berselang lama, konten itu hilang. Tapi pemirsa terlanjur sempat memotret. Virallah fotonya di media sosial.

Masyarakat menilai stasiun TV itu telah melakukan penyiaran konten hoax. Apalagi, stasiun TV tersebut dikenal sebagai pendukung berat 01.

Saya tidak akan membahas soal tuduhan hoax itu. Juga tidak akan membahas masalah ketidaknetralan stasiun TV tersebut. Biarlah itu menjadi urusan pemirsa dan Komisi Penyiaran Indonesia saja. Atau mungkin akan diurus polisi, jaksa dan hakim.

Saya hanya akan membahas dari sisi teknik produksi. Apakah kesalahan itu karena  ketidakkesengajaan? Atau justru sebaliknya?

Kalau melihat foto yang beredar, saya memperkirakan teknik produksinya menggabungkan antara teknik live camera dan live data. Live camera untuk menayangkan gambar presenter. Live data untuk menampilkan hasil-hasil quick count berbagai lembaga survei dan hasil rata-rata semua lembaga survei.

Selain itu juga ada live advertisement untuk menampilkan iklan dan live running text untuk menampilkan kepala berita dalam bentuk teks yang bergerak.

Dengan melihat banyaknya informasi yang muncul pada layar, saya perkirakan master control sebagai pusat kendali siar mengelola sumber konten yang tidak sedikit.

Agar semua sumber konten bisa menampilkan data, maka dibuatlah template graphics. Pada beberapa bagian template itu dibuat transparan. Agar data-data dari setiap sumber konten bisa terlihat di layar.

Setiap konten dipasang pada layer masing-masing. Banyak sumber konten berarti banyak layer. Bertumpuk-tumpuk. Karena itu harus ada yang transparan. Agar tidak terhalang dengan layer yang ada di depannya.

Dari perkiraan tersebut, sebab kesalahan pertama kemungkinan berasal dari penempatan kontennya yang tidak sesuai dengan template. Penempatannya terbalik. Kemungkinan kedua, kesalahan angka pada hasil rata-rata terjadi karena aplikasi proses penghitungan yang tidak akurat.

Untuk kemungkinan kedua ini, saya tidak punya data apakah system informasi dari setiap lembaga survei terkoneksi dengan satu aplikasi penghitung rata-rata atau tidak. Di stasiun TV lainnya, saya amati tidak ada. Hanya di stasiun ‘’itu’’ saja yang ada rata-ratanya.

Sembilan puluh sembilan persen konten yang diproduksi di studio televisi merupakan hasil rekayasa. Kalimat itu mungkin terdengar terlalu kasar. Seakan-akan studio TV merupakan pusat produksi konten tidak asli.

Saat belajar teknik produksi konten kali pertama di ‘’JTV’’ Surabaya tahun 2007, saya paling benci mendengar istilah itu. Telinga saya seperti tidak bisa menerimanya. Mana mungkin? Stasiun TV adalah media professional. Mosok menayangkan konten palsu?

Pemahaman saya ternyata berubah 180 derajat ketika mengenal teknik produksi menggunakan green screen. Seorang presenter masuk ke studio. Background-nya dinding warna hijau. Tapi di layar monitor hasil siaran, warna background itu sudah bukan hijau lagi. Berubah menjadi gambar pemandangan di sebuah desa. Sumber gambar ternyata foto dengan resolusi tinggi.

O… ini yang disebut rekayasa. Berati semua grafis bisa dimanipulasi. Kata saya dalam hati.

Pengetahuan saya semakin bertambah setelah ditugaskan Pak Dahlan Iskan membantu ‘’JAK TV’’ Jakarta tahun 2008. Di stasiun TV ini, teknik manipulasi grafisnya jauh lebih maju. Peralatannya lebih banyak. Lebih lengkap. Lebih modern. Operatornya juga lebih panjang jam terbangnya. Semua dari stasiun TV nasional.

‘’JAK TV’’ tidak hanya menggunakan teknik green screen dan chromakey yang sederhana. Stasiun TV yang berkantor pusat di SCBD itu juga sudah menggunakan berbagai aplikasi yang lebih kompleks.

Belajar dari pengalaman itulah, enam bulan setelah masuk ‘’JAK TV’’, saya terima tantangan Prof Dr Jimly Assidiqqi SH, ketua Mahkamah Konstitusi saat itu. Saat itu, Mahkamah Konstitusi ingin membangun studio produksi video edukasi.

Saya sodorkan konsep studio TV lokal yang saya lihat di ‘’JTV’’ maupun ‘’JAK TV’’. Studio kecil. Sederhana. Dan murah. Konsepnya menggunakan green screen. Karena mudah untuk melakukan manipulasi konten dengan teknik-teknik grafis terkini.

Maka, saya sarankan kepada Anda kalau menonton siaran TV, jangan baperan. Karena studio TV memang dilengkapi dengan peralatan dan teknologi untuk membuat konten manipulatif.

Semua redaksi stasiun TV bisa melakukan kesalahan. Yang netral dan terpercaya sekalipun. Apalagi yang terkenal tidak netral dan tidak terpercaya.(jto)

Joko Intarto, praktisi rumah produksi, redaktur tamu ‘’Rakyat Kalbar’’.