eQuator.co.id – Sultan Hamid II punya peran luar biasa dalam upaya penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia. Lambang Garuda Pancasila pun merupakan buah karya pemikirannya. Sayang, ia tak kunjung ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Iman Santosa, Pontianak
Mungkin belum ada persidangan semacam ini dalam sejarah Indonesia. Sidang dipimpin langsung oleh Ketua MA kala itu, Mr. Wirjono Prodjodikoro. Penuntut umumnya Jaksa Agung R. Soeprapto. Dan di kursi pesakitan seorang menteri aktif yang dituduh melakukan makar, Sultan Hamid II. Ia menteri negara zonder portofolio.
Di penghujung sidang yang berlangsung pada tahun 1953, Sultan Hamid II divonis 10 tahun penjara atas tuduhan makar. Ini lebih ringan dari tuntutan jaksa agung yang menuntutnya 18 tahun penjara.
Dipotong masa tahanan yang telah tiga tahun dijalaninya, serta pengurangan hukuman karena berkelakuan baik, total ia hanya menjalani 5 tahun penjara. Dan dari dalam tahanan, Sultan Hamid II memperoleh kabar Republik Indonesia Serikat yang ia perjuangkan akhirnya runtuh.
Padahal, dalam catatan sejarah, peran Sultan Hamid II tidak sedikit. Ia merupakan ketua tim perancang lambang negara. Usulan lambang negaranya yang bernama Elang Rajawali Garuda Pancasila berhasil mengalahkan usulan Mohammad Yamin. Hingga kini, Garuda Pancasila masih dipakai sebagai lambang negara Indonesia.
Selain itu, ia juga pernah menjadi ketua Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO), yakni perkumpulan negara-negara bagian. Dalam pemilihan ketua tersebut, Sultan Hamid II mengalahkan Mr. Ide Anak Agung Gde Agung, PM Negara Indonesia Timur. Saat ini, kolega yang dikalahkannya itu bahkan sudah mendapat gelar pahlawan nasional.
BFO yang membentuk RIS punya peran besar dalam proses pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Sebelum-sebelumnya, perundingan antara Indonesia dan Belanda selalu berakhir buntu. Baru pada Konferensi Meja Bundar lah Belanda mau memberikan kedaulatan penuh. Itupun kepada RIS, bukan Republik Indonesia yang berbentuk negara kesatuan.
Tapi saat pemberontakan APRA yang dimotori oleh Raymond Westerling meletus, namanya terseret. Sultan Hamid II yang mantan perwira KNIL memiliki kedekatan dengan Raymond Westerling.
Dalam pledoinya di persidangan, ia mengakui memang sempat mencetuskan keinginan untuk menyerang 3 orang menteri RIS seperti yang dituduhkan di persidangan. Hanya saja, ia menegaskan bahwa cetusan itu dibatalkan dan penyerangan itu sendiri tidak pernah terjadi.
Tentang pilihan politik, Sultan Hamid II juga cenderung berbeda dengan kebanyakan tokoh nasional Indonesia. Ia tidak menyangkal mendukung sistem federalis. Republik Indonesia Serikat yang dalam sejarah nasional sering dicap sebagai kumpulan negara-negara boneka bentukan Belanda, adalah Indonesia yang setengah mati diperjuangkan oleh Sang Sultan.
Turiman Faturahman Nur, salah seorang pengurus Yayasan Sultan Hamid II menjelaskan bahwa upaya-upaya yang dilakukan untuk mengusulkan Sultan Hamid II menjadi pahlawan nasional sudah diserahkan ke pemerintah pusat.
“Telah mendapat rekomendasi dari pemerintah provinsi, jadi sekarang sudah masuk ke Kementerian Sosial,” jelasnya, beberapa waktu lalu.
Penyerahan berkas tersebut dilakukan langsung oleh ahli waris Sultan Hamid II, Syarif Max Jusuf Alkadrie, kepada Kasi Pengelolaan Tunjangan Keluarga Pahlawan dan Perintis Kemerdekaan Kemensos, Effendy Siahaan, pada 25 juli 2016.
Menurut Turiman, dalam penyerahan tersebut dilampirkan berbagai bukti yang mendukung pencalonan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional. “Termasuk tesis saya yang menjelaskan bahwa memang beliau yang merancang Elang Rajawali Garuda Pancasila, juga tesis akademik Anshari Dimyati yang memberikan bukti bahwa beliau tidak bersalah dalam tuduhan makar tersebut,” paparnya.
Lanjut dia, berkas-berkas yang diserahkan tersebut sudah memenuhi sebagaimana syarat yang ditentukan negara. “Tinggal nanti tim dari Kementerian Sosial yang mengkajinya, kita tunggu saja,” tukas Turiman.
Perjuangan menjadikan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional sendiri berlangsung lama. Sejak tahun 2000, dikatakan Turiman, Yayasan Sultan Hamid II sudah berkali-kali menyelenggarakan pameran dan seminar.
“Jasa Beliau sebagai perancang lambang negara itu harus diakui karena sampai sekarang kita masih menggunakan karyanya,” tegasnya.
Setakat ini, proses penetapan harus menunggu hasil dari Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), yang akan menilai semua berkas. Tentu butuh waktu dan proses.
Mengingat jasanya besar untuk bangsa ini, Sultan Hamid II sangat pantas mendapat gelar pahlawan nasional. Namun vonis bersalah untuk tuduhan makar masih membekas baik dalam rekam sejarah maupun catatan hukumnya. Akankah itu jadi penghalang Sultan Hamid II meraih gelar pahlawan nasional?
Meski, tentu, gelar pahlawan tidak lagi penting baginya. Sultan Hamid II telah tenang dalam pembaringan terakhirnya. Meninggalkan generasi penerus yang harus menghargai kontribusi besarnya bagi negeri ini. (*/selesai)