eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah mewacanakan akan menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Rencana itu buntut membengkaknya defisit anggaran yang telah mencapai Rp 9,1 triliun.
Wacana tersebut diungkapkan oleh Direktur Keuangan BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso usai rapat bersama Komisi XI dan Kementerian Keuangan, Selasa (21/8) lalu. Dia mengatakan, BPJS Kesehatan menilai, kenaikan iuran sudah cukup mendesak dilakukan.
“Kebutuhan kenaikan iuran memang sudah cukup mendesak. Ini supaya BPJS sustained,” ujar Kemal.
Sebagaimana diketahui, saat ini iuran BPJS Kesehatan terdiri dari tiga kelas yakni kelas I, kelas II, dan kelas III. Pemerintah telah menetapkan iuran sebesar masing-masing Rp 81 ribu, Rp 51 ribu, dan 25,5 ribu. Besaran iuran tersebut mengacu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014.
Kemal mencatat, defisit yang dialami oleh BPJS kesehatan dikarenakan banyak peserta yang menunggak. Dia menyebut, sekitar 15 peserta BPJS Kesehatan menunggak iuran namun menikmati fasilitas kesehatan.
“Estimasi (defisit) kami pada current runningseperti ini Rp 28,5 triliun. Ini carried dari tahun lalu Rp 9,1 triliun plus yang ada tahun ini kan Rp 19 triliun,” bebernya.
Menurut Kemal, rencana kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan telah diusulkan oleh Dewan Jaminan Nasional (DJSN) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, kata dia, DJSN belum mengetahui berapa kenaikan iuran yang harus ditanggung peserta.
“Mungkin sebaiknya (tanya) kepada DJSN aja (kenaikan iuran) supaya lebih akurat. Ini seperti yang sudah disampaikan kan untuk kepentingan bersama,” tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, faktor penyebab defisit BPJS Kesehatan salah satunya adalah banyaknya peserta yang tidak patuh membayar iuran. Kelompok yang terbanyak adalah Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang jumlahnya mencapai 31,5 juta dan Bukan Pekerja yang jumlahnya mencapai 5,1 juta jiwa.
“Mereka tidak membayar secara teratur, tapi sebagian besar menikmati layanan dan itu yang menyebabkan BPJS menghadapi situasi seperti sekarang,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (21/8).
Dengan tidak teraturnya pembayaran iuran dari peserta, keuangan BPJS Kesehatan menjadi semakin memburuk. Sebab, besaran klaim yang dibayarkan perseroan lebih besar dari iuran yang diterima dari peserta setiap bulannya.
Rendahnya kepatuhan pembayaran iuran ini membuat pemerintah putar otak. Alhasil, mulai 2014 lalu, pemerintah memberlakukan kebijakan pengguna jaminan kesehatan tak bisa menggunakan langsung manfaat kartu ketika baru mendaftar. Adapun masa tunggunya harus mencapai dua pekan terlebih dahulu.
“Misalnya mau operasi jantung baru dia masuk (pakai BPJS). Nah, kalau sekarang ini baru bisa setelah masa tunggunya dua minggu. Jadi, hari ini sakit, besok buat BPJS langsung pakai ke RS, itu tidak bisa,” katanya.
Dari sisi pelaksanaan, pemerintah juga telah melakukan sosialisasi dan edukasi agar pengguna manfaat mau membayar iuran setiap bulannya. Sebab di negara-negara maju, ada kebijakan yang lebih ekstrem. Misalnya, tidak bisa membayar berbagai administrasi birokrasi apabila belum memenuhi kewajiban pembayaran iuran kesehatan.
“Anak-anak tidak bisa daftar sekolah kalau mereka tidak ada BPJS yang sudah terbayar lunas. Atau seperti orang tak bisa membayar SIM sebelum melunasi BPJSnya,” bebernya.
Selain masalah itu, Kemenkeu mencatatkan tingkat peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) masih rendah atau sekitar 54 persen saja. Di sisi lain, tingkat utilitasnya cukup tinggi. Alasan lainnya adalah beban pembiayaan penyakit katastropik yang sangat besar, yaitu lebih dari 20 persen dari total biaya manfaat. (Jawa Pos/JPG)