Irawati

Oleh Dahlan Iskan

Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Saya balik lagi ke Lahore. Dari Karachi. Lupa. Belum ke sungai Irawati. Yang melintasi Lahore. Yang sekarang disebut sungai Ravi. Hulunya ada di India. Hilirnya di Pakistan.

Pun waktu ke Kalkuta saya paksakan: ke sungai Gangga. Dulu. Di sela-sela jadwal saya yang sangat padat. Yang teman saya waktu itu begitu semangatnya: langsung cuci muka dengan air sungai Gangga. Yang hari itu lagi sangat keruh.

Ia berterima kasih luar biasa. Akhirnya, katanya, bisa melihat sungai Gangga. Ia orang Bali. Penggemar Harley Davidson. Sering ikut tour HD di Amerika. Sekarang ia sudah meninggalkan dunia ruwet: menjadi pendeta Hindu.

Saya mempelajari sedikit masa lalu sungai Irawati ini. Di literatur tahun 1880-an. Yang ada jembatan kayu di atasnya. Yang banyak pohon di kanan-kirinya. Yang ada cerita perang 10 kerajaannya. Yang dimenangkan oleh kerajaan Kuru. Lalu memindahkan ibukotanya yang di Hastinapura. Ke Indraprastha.

Zaman itu yang lebih banyak mereka puja adalah dewa Indra. Yang mereka percaya sebagai penguasa hujan. Mendung. Badai. Cuaca.

Dewa Indra digambarkan sering muncul dengan kuda putihnya. Kalau lagi marah Indra bisa membuat hujan, badai, banjir di wilayah itu.

Tentu saya balik ke Lahore  bukan karena itu. Melainkan untuk tahu di mana lokasi Jawaharlal Nehru. Yang berani mengibarkan bendera India. Untuk pertama kali. Di malam tahun baru. Akhir 1929.

Kepercayaan lama pada dewa Indra, saya kira, lantaran waktu itu belum ada ahli cuaca. Yang kini ilmu itu bisa menjelaskan: setiap Juli dan Agustus pasti banyak hujan badai dan banjir di sana. Dengan udara yang sangat sumuk. Ahli cuaca menyebutnya itu musim monsoon.

Di tahun 1929 itu belum ada negara yang disebut Pakistan. Seluruh kawasan ini masih disebut India. Di bawah penjajahan Inggris.

Masih ingat sejarah ini bukan? Sebelum terjadi perang Inggris-Belanda kawasan Timur Jauh ini dikuasai satu perusahaan. Kongsi dua negara itu. Waktu  terjadi perang di Eropa, pemegang saham perusahaan itu sepakat: perusahaan dibagi dua. Pemegang saham Inggris menguasai India dan sekitarnya. Yang kaya akan kapas. Pemegang saham Belanda menguasai India Timur  (kelak disebut Indonesia). Yang kaya akan rempah.

Jadi, sejak zaman itu pun, yang menjajah itu sebenarnya perusahaan. Perusahaan asing.

Di tahun 1929 itulah gerakan melawan Inggris memuncak. Tokoh utamanya Anda sudah tahu: Mahatma Gandhi.

Tokoh politiknya: Jawaharlal Nehru.

Waktu itu tokoh-tokoh anti penjajah lagi kumpul di Lahore.  Menancapkan tonggak ini: ingin India merdeka. Istilah mereka bukan merdeka. Tapi ‘Purna Swaraj’. Mengurus sendiri secara keseluruhan. Artinya, ya, merdeka.

Habis rapat, para pejuang itu menuju sungai Ravi. Nehru naik kuda putih. Jaraknya sekitar 2 km. Mengingatkan pada sosok dewa Indra.

Di tepi sungai Irawati itulah para pejuang tampil. Berpidato bergantian. Pidato Nehru sangat memikat:

Di tepi sungai yang sakral ini kita bersumpah untuk India merdeka. Purna swaraj. Bebas dari penjajahan. Seperti leluhur kita dulu. Kita bersumpah kota Lohore yang sakral ini akan jadi pusat India untuk budaya dan ilmu pengetahuan.

Begitulah kurang lebihnya.

Setelah itu Nehru mengibarkan bendera tiga warna. Bendera India. Di tepi sungai Ravi, di Lahore ini.

Itulah untuk pertama kali bendera India berkibar.

Memang agak sedikit beda dengan bendera India sekarang. Yang di tengahnya ada gambar roda Ashoka. Melambangkan agama Hindu.

Waktu itu, yang dikibarkan Nehru itu, gambar yang ada di tengahnya adalah alat pemintal kapas. Yang fotonya sudah sering Anda lihat itu. Yang digunakan Mahatma Gandhi itu.

Kini Lahore memang masih pusat budaya dan ilmu. Tapi sudah bukan pusatnya India lagi.

Jarak antara pusat kota Lahore dan sungai Ravi masih tetap 2  km. Masih banyak juga kuda putih. Tapi sudah tidak ada lagi pohon. Gersang. Kerontang. Ruwet. Macet.

Tentu saya tidak naik kuda putih. Saya naik mobil. Dari hotel ke pinggir sungai itu. Perlu waktu 1 jam. Melewati monumen Pakistan. Gedung-gedung tua yang mestinya indah. Mahkamah tinggi. Museum-museum. Stasiun kereta. Pasar.

Jalan menuju sungai itu kini padat. Segala macam kendaraan ada: truk, bus, tuk-tuk, gerobak kuda, gerobak keledai, sepeda motor dan orang menyeberang. Semua  berebut menimbulkan debu. Dan mengisapnya.

Akhirnya tibalah saya di pinggir sungai itu.

Ada jembatan besar melintas di atasnya. Banyak kerbau berkeliaran di pinggir sungai. Banyak juga onta parkir bersama anak-anak mereka.

Lebih banyak lagi anak-anak manusia. Yang berlarian. Dengan pakaian kotor. Kelihatannya mereka sudah satu minggu tidak mandi. Padahal ada pompa air tangan di situ. Saya mencobanya. Airnya keluar. Besar. Jernih. Tapi mereka hanya menggunakannya untuk membersihkan lumpur di kaki.

“Kok mereka tidak sekolah?” tanya saya. Kebetulan ada wartawan Lahore yang lagi di situ.

“Mereka miskin. Tidak punya biaya,” jawab si wartawan.

Saya ditawari menyeberang sungai. Dengan perahu kecil. Lebarnya sama dengan sungai Musi di Palembang. Di dekat jembatan Ampera.

“Kaisar Mongol pernah menyeberang di sini,” ujar wartawan itu.

Kabar baiknya: tidak ada rumah-rumah liar yang menjarah pinggiran sungai ini. Hanya saja sangat gersang. Ditambah pemandangan lalu-lintas ruwet di atas jembatan.

Berita buruknya: tidak ada yang tahu di mana tepatnya lokasi Nehru mengibarkan bendera itu. Tidak ada tanda apa-apa di situ.

Bahkan begitu sulit saya menjelaskan mengapa saya perlu ke pinggir sungai itu.

“Nehru? Mengibarkan bendera India? Di Lahore?,” begitu umumnya jawaban orang yang saya tanya.

Orang Lahore rupanya sudah benar-benar melupakan sejarah itu. Hubungannya dengan India, yang diingat, tinggal hubungan permusuhan.

Saya sampai ke gedung kebudayaan Lahore: Al Hambra. Untuk mencari jejak lokasi ini. Bertanya ke para budayawan di situ. Mereka juga sudah melupakannya.

Kebencian rupanya lebih mudah membekas dari persahabatan.

Itulah sejarah bumi manusia. (dis)