-ads-
Home Features Inspirasi dari Kegigihan Siti Khotijah, Perempuan dengan Satu Ginjal

Inspirasi dari Kegigihan Siti Khotijah, Perempuan dengan Satu Ginjal

ang Pertama Divonis 10 Hari, Yang Kedua 5 Tahun

Siti Khotijah warga kecamatan Manyar gresik yang memiliki satu ginjal dan kini hidup normal. Tampak Siti sedang melihal beberapa hasil ronsen. (15/06/17) FOTO: Guslan Gumilang/Jawa Pos

Sejak kali pertama mendengar vonis dokter tentang sisa umurnya, Siti Khotijah menguatkan suami dan keluarga bahwa keajaiban itu ada. Rajin merawat kesehatan ginjal dengan senam, minum susu kambing etawa, dan berdisiplin soal makanan.

EKO HENDRI SAIFUL, Gresik

eQuator.co.id – Siti Khotijah hanya tersenyum. Sedikit kikuk dan bingung menghadapi pertanyaan tentang rahasia kesehatannya.

-ads-

”Semua ini karena Allah. Saya ini hanya perempuan biasa,” kata ibu tiga anak yang berusia 48 tahun tersebut.

”Perempuan biasa” itu memang begitu mensyukuri hidupnya yang telah mencapai 48 tahun sekarang. Dia bisa merawat usaha yang turut menopang kehidupan keluarga. Juga telah mengantarkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan tinggi dan memperoleh penghidupan yang layak.

Semua itu dia lakukan dengan hanya satu ginjal di tubuh. Semua itu dia jalani setelah dokter, berdasar rekam medis, memvonis umurnya hanya tersisa 10 hari. Pada 22 tahun yang lalu.

Sang suami, Heriyanto, serta kedua buah hatinya, Sri Novi Hariyanti dan Agung Setiawan, menyambut gembira kabar itu. Khotijah hamil lagi.

Hampir tiap hari mereka bergantian mengelus perut perempuan kelahiran Lamongan tersebut. Tak sabar menunggu kelahiran anggota keluarga baru.

Tapi, sejak awal Khotijah sudah merasa ada yang tidak enak dengan badannya. ”Saya kok ngerasa sakit banget di punggung bawah,” ungkap Khotijah ketika ditemui di kediamannya di Desa Roomo, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, pada Selasa (13/6).

Kegembiraan yang menyelimuti keluarganya membuat dia berusaha tak menggubris rasa sakit tersebut. Dianggapnya bawaan jabang bayi.

Tapi, kian hari rasa sakit itu kian tak tertahankan. Muncul kekhawatiran kelak mengganggu anak yang tengah dikandung.

Warga Desa Roomo itu akhirnya memberanikan diri untuk check up ke rumah sakit. Tapi, dokter mengganggap itu hanya keluhan biasa. Maklum, petugas medis belum bisa melakukan rontgen dengan alasan kehamilan. Pemeriksaan organ dalam baru dilakukan setelah kelahiran.

Si anak ketiga yang diberi nama Muhammad Khusnul akhirnya lahir dengan selamat. Tapi, rasa penasaran Khotijah terhadap rasa sakit di punggung bagian bawah semakin kuat.

Juga, yang dia takutkan pun terjadi. Pada pertengahan 1994 itu, berdasar rekam medis, satu ginjal Khotijah diketahui rusak parah. Sudah tak berfungsi.

Yang jauh lebih menghantam bak palu godam, dokter memberi tahu Heriyanto bahwa hidup istrinya tak lama. Tinggal sepuluh hari lagi.

”Kepada suami dan orang tua, saya tetap tersenyum (setelah mendengar vonis itu, Red). Saya yakin masih ada keajaiban dari Allah,” tutur Khotijah.

Khotijah dan suaminya pun bersepakat dengan dokter soal pelaksanaan operasi. RSUD Ibnu Sina, Gresik, tak mampu, Khotijah harus dirujuk ke Surabaya.

Hari-harinya lantas dilewati di RSUD dr Soetomo, Surabaya. Itulah hari-hari panjang nan sulit. Hari-hari penuh tangis bagi Khotijah. Bukan karena rasa sakit yang dialami. Melainkan karena ketidakrelaannya berpisah dengan ketiga buah hati.

Anak sulungnya masih duduk di bangku SD kala itu. Sementara itu, usia anak bungsu belum satu bulan. Bayi laki-laki itu pun terpaksa berpisah dengan ibunya dan diemong bergiliran oleh kakek-neneknya.

Tiga bulan lamanya Khotijah menjalani pengobatan di RSUD dr Soetomo. Operasi memang tak bisa langsung dilakukan. Bukan karena persoalan jadwal, melainkan Heriyanto masih berjuang mengumpulkan pinjaman untuk biaya pembedahan.

Karena harus bolak-balik Gresik-Surabaya, demi menghemat waktu, tenaga, serta biaya, Khotijah dan suami memutuskan untuk mengontrak rumah di Surabaya. Kondisi Khotijah pun labil. Hidupnya bergantung obat. Pada titik paling parah, dia pernah terbaring koma sebulan. Kesadaran hilang.

Suaminya yang saat itu bekerja di salah satu BUMN pun semakin khawatir. Satu-satunya jalan untuk bisa membantu Khotijah agar segera sehat adalah menjual aset-aset keluarga. Rumah mereka pun dilego.

”Kebutuhan operasi Rp 60 juta. Sementara harga jual rumah hanya Rp 40 juta,” kenang Khotijah.

Otomatis, masih ada beberapa aset lagi yang harus dijual. Selain kendaraan roda dua, truk yang jadi sarana usaha utama ikut dilego.

Bagi Heriyanto, yang terpenting istrinya segera sembuh. Karena itu pula, dia setia mendampingi Khotijah.

Tapi, gara-gara itu, dia dikeluarkan dari tempatnya bekerja. Sebelumnya, sudah tak terhitung surat teguran yang dia terima.

Heriyanto memang terpaksa sering absen dari kantor untuk mengurus istri. Sebab, pasangan suami istri itu tak punya banyak sanak keluarga. Juga tak mungkin merepotkan orang tua yang telah membantu mengasuh anak-anak mereka.

Ketika akhirnya uang sudah terkumpul, operasi juga masih terkendala. ”Saya sempat masuk ke ruang operasi. Mendadak dibatalkan karena alatnya katanya nggak siap,” tutur Khotijah, lalu tersenyum.

Pada kesempatan operasi yang kedua, dokter berfokus mengambil ginjal Khotijah yang telah rusak. Sejak itu pula Khotijah harus hidup dengan satu organ penyaring darah.

Itu pun masih ada tambahan. Kepada Heriyanto, dokter membisikkan pesan yang lagi-lagi mengguncang: Ginjal satu-satunya sang istri itu hanya bertahan lima tahun. Pria yang kini berwiraswasta sebagai penyuplai tangki air tersebut memilih untuk tak menceritakan pesan dari dokter itu kepada sang istri. Dia baru membongkarnya lima tahun silam.

Sebab, dia ingin Khotijah berkonsentrasi memulihkan diri. Merawat ginjalnya yang tinggal satu.

Khotijah menjawab harapan sang suami itu dengan berbagai cara. Mulai rutin senam, mengonsumsi susu kambing etawa, menjauhi makanan tertentu, hingga menghindari kelelahan yang berlebihan.

Kedisiplinan itu membawa hasil. Setahun setelah operasi, dia masih menjalani cuci darah. Tapi, perlahan dia mulai mengurangi frekuensi cuci darah hingga akhirnya tak melakukannya lagi.

Tahun demi tahun berlalu, Khotijah pun bisa beraktivitas normal seperti dulu lagi. Kontrol pun jarang. Keluhan bukan tak ada. Saat lelah sekali, kadang dia merasa nyeri.

”Cuma, tak separah dulu,” kata Khotijah.

Sebenarnya Khotijah sempat ditawari ginjal baru. Ada pendonor yang bersedia menyerahkan organnya. Namun, dia menolak. Pertimbangan keuangan menjadi alasan kuat.

Dia ingin menyisihkan uang demi melihat ketiga buah hatinya berpendidikan tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Bersama suami, dia pun bekerja keras demi itu lewat usaha katering dan suplai tangki air.

Lebih dari dua dekade setelah dia divonis hanya berumur sepuluh hari lagi, impiannya itu terkabul. Anak pertama menjabat manajer marketing di sebuah perusahaan properti. Putra kedua diterima di Akademi Pelayaran Jakarta, lalu si bungsu bekerja di salah satu dinas lingkup Pemkab Gresik.

Di mata si anak sulung, Sri Novi Haryati, Khotijah bukan hanya sosok yang gigih. Tapi juga pribadi yang berjiwa sosial tinggi.

Meski dihantam penyakit separah itu, diuji dengan harus memulai usaha dari nol lagi setelah suami kehilangan pekerjaan dan harta terkuras untuk penyembuhan, Khotijah tak pernah lupa bederma.

”Sejak beliau muda sampai sekarang, beliau selalu menyisakan harta untuk anak-anak yatim,” kata Novi.

Jadi, kalau ditanya apa rahasia di balik ”keajaiban” Khotijah yang sempat divonis bahwa umurnya tak lama lagi, Novi yakin itu tak lepas dari kekuatan doa.

”Mungkin karena beliau banyak didoakan anak-anak yatim,” katanya. (*/c11/ttg/jpg)

Exit mobile version