eQuator.co.id – Setiap tahun, biasanya di bulan November, saya selalu tak sabar merasakan pengalaman yang satu ini…
Tidak terasa, sembilan tahun berturut-turut sudah kami (DBL Indonesia dan Jawa Pos Group) mengirimkan student athlete basket pilihan ke luar negeri. Sejak 2008, kami telah mengirimkan tim All-Star ke Australia, lalu ke Amerika Serikat.
Setiap tahun, mereka dipilih dari puluhan ribu pemain dari hampir seluruh provinsi di Indonesia. Dari Aceh sampai Papua. Melewati proses kompetisi SMA yang tegas dan konsisten regulasinya. Kemudian melewati proses seleksi camp yang juga keras dan konsisten penerapannya.
Dari puluhan ribu, mengerucut jadi tak sampai 300, kemudian berujung 24 pemain (12 putra, 12 putri) yang terpilih masuk tim All-Star tersebut. Siapa pun yang terpilih itu, mereka telah menjalani proses dan perjuangan panjang.
Banyak anak-anak itu yang kini telah tumbuh dewasa. Ada yang jadi superstar basket dan masuk tim nasional, berperan memberikan medali bagi Indonesia di SEA Games terakhir. Ada yang melanjutkan studi ke luar negeri. Ada yang menjadi pengusaha. Ada pula yang mencoba berbuat untuk daerahnya dengan terjun ke dunia politik.
Setiap tahun, timnya tidak pernah sama. Ada pemain yang sukses terpilih dua kali berturut-turut, tapi tidak pernah ada dua tim yang sama persis.
Saat perjalanan di luar negeri pun pengalamannya beda-beda. Walau garis besarnya sama. Mereka harus merasakan kehidupan sehari-hari yang ”normal” di negeri orang, merasakan masuk sekolah di negeri orang, mendapatkan ilmu basket dengan materi latihan atau bertanding, dan –tentu saja– paket bersenang-senang.
Tahun 2016 ini, tim tersebut berada di Amerika –San Francisco dan Sacramento di Negara Bagian California– pada 6–13 November lalu. Mereka nonton dua kali pertandingan NBA, sempat mendapat materi latihan dari mantan bintang NBA, juga sempat dinobatkan ikut serta di tengah lapangan NBA untuk menghibur penonton.
Plus, mereka juga mengunjungi fasilitas NASA, belajar di museum kereta api, belajar bercocok tanam, dan lain sebagainya.
Saya hanya sempat bertemu mereka beberapa hari di Sacramento, kota tempat saya menuntaskan kuliah dulu. Dan sempat ikut makan-makan perpisahan di sebuah restoran Vietnam, milik keluarga teman saya waktu kuliah dulu. Teman-teman dari manajemen klub NBA Sacramento Kings ikut hadir, begitu pula mantan pemain NBA Kenny Thomas.
Kenapa restoran itu dipilih? Saya menyampaikan bahwa itu semacam bentuk loyalitas dan balas budi. Waktu saya kuliah dulu adalah masa krisis moneter Asia, dan di restoran ini dulu saya sering diberi jatah gratis. Karena itu, setiap tahun saya selalu mengajak tim makan ke sini. Bahwa pertemanan dan persaudaraan itu, kalau tulus, bisa sangat panjang.
Di restoran itu pula saya menyampaikan pesan yang selalu sama setiap tahun. Bahwa setelah perjalanan ini semua anak kembali ke daerah masing-masing dan akan menjalani hidup yang bisa berbeda-beda. Tapi suatu saat kelak bisa menjadi bersama lagi, entah dalam tim basket di jenjang lebih tinggi, atau sebagai mitra bisnis, atau persahabatan yang berlangsung seumur hidup.
Saya menyampaikan, dulu saya beruntung pernah dapat beasiswa SMA di Amerika, dan itu membantu menjadikan saya seperti sekarang. Memberi saya inspirasi untuk ikut berbuat bagi anak muda lain di Indonesia. Syukur alhamdulillah, saya mampu konsisten melakukannya sampai hari ini. Semoga bisa terus begini.
Kemudian saya bilang ke mereka, saya tidak punya ekspektasi tinggi dari mereka. Silakan menjalani hidup sesuai hati dan ”panggilan” masing-masing. Tapi, kalau kelak mereka sukses, andai satu orang saja bisa melakukan hal yang sama dengan yang saya lakukan, itu akan menjadi ”alat inspirasi berantai”.
Kalau 24 anak itu kelak masing-masing bisa menginspirasi masing-masing 24 orang, lalu berlanjut lagi kelipatan demi kelipatan, maka entah kebaikan apa yang kelak bisa dihasilkan.
Tentu saja, saya juga menyampaikan bahwa mereka mungkin tidak 100 persen paham apa yang saya maksud. Segala perjalanan ini, segala pengalaman ini, mungkin baru akan mereka rasakan manfaatnya sepuluh tahun lagi.
Tapi itu tidak apa-apa. Saya juga bukan orang yang muluk-muluk. Tidak pernah punya harapan terlalu tinggi terhadap apa pun, tidak pernah mengharapkan keajaiban. Karena semua harus dikerjakan, bukan sekadar didoakan.
Komitmen adalah apa yang kita lakukan, bukan hanya apa yang kita janjikan. Benar nggak?
Setelah makan malam itu, saya kembali menyaksikan sesuatu yang hampir setiap tahun terjadi. Anak-anak itu seperti tidak mau pulang. Saling berpelukan, bahkan sampai ada yang menangis haru.
Walau hampir setiap tahun melihat itu, tetap saja saya merinding melihatnya. Ada perasaan hangat di dada.
Kalau kita berhasil membuat orang tertawa, berarti kita membuat mereka senang. Kalau kita berhasil membuat mereka menangis haru, tandanya kita telah berhasil menyentuh lubuk hatinya yang paling dalam. Apalagi kalau kita melakukannya lewat perbuatan, bukan sekadar omongan.
Dari situ saya merasa yakin. Kelak, entah 1 atau 5 atau 10 atau 20 tahun lagi, mereka akan melakukan hal yang sama untuk orang lain… (*)