eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Kasus penganiayaan pelajar SMP oleh sejumlah siswi SMA, membuat Kota Pontianak sebagai Kota Layak Anak (KLA) go internasional dan nasional. Kedepan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise mengingatkan, dampak industri digital yang telah mempengaruhi perilaku anak-anak harus diminimalisir.
Yohana Yembise bertandang ke Kota Pontianak, Senin (15/4). Dia melakukan pertemuan bersama Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono dan beberapa pihak terkait kasus penganiayaan AU, pelajar SMP oleh beberapa siswi SMA. Akibatnya, kota yang dilintasi garis Khatulistiwa ini sempat menjadi tranding topic nomor satu di dunia.
Yohana Yembise mengaku telah bertemu dengan ketiga pelaku. Menurut dia, mereka sepertinya sudah membuat suatu cerita go international dan nasional. Dan ini mendapat perhatian khusus dari para menteri, pejabat-pejabat pemerintah, termasuk masyarakat dan media massa. “Ini dampak dari industri digital, medsos sangat mempengaruhi perilaku anak-anak. Akhirnya, perilaku mereka berubah, tidak seperti dulu,” ujar Yohana kepada awak media usai melakukan pertemuan tertutup di Ruangan VIP Kantor Wali Kota Pontianak.
Berdasarkan informasi yang didapati, kata Yohana, mereka mengaku bukan anak-anak nakal. Mereka hanya terpengaruh sesama teman, sehingga melakukan perbuatan itu. “Saya mengatakan kepada mereka bahwa saya adalah Mama Yo yang merangkul anak-anak tanpa diskriminasi, baik pelaku maupun korban,” ceritanya.
Yohana menegaskan, anak-anak harus dilindungi oleh negara, karena mereka masih mempunyai masa depan yang panjang. Pengadilan anak mempunyai kekhususan, tidak sama dengan pengadilan dewasa. “Sudah ada sistem peradilan pidana anak (SPPA) dan itu harus melalui diversi mediasi. Perlindungan anak juga sudah ada UU Nomor 35 Tahun 2014 Atas Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002,” paparnya.
Menurutnya, pakai UU yang sudah dibuat kementeriannya dan kementerian-kementerian terkait. “Saya harus merangkul mereka, karena saya menteri yang membuat kebijakan, saya membuat undang-undang,” tambahnya.
Selain itu, langkah selanjutnya adalah fokus Terhadap pencegahan. Tujuannya, supaya jangan sampai terjadi hal-hal ini di kemudian hari. “Saya tetap memberikan semangat kepada anak-anak ini, kalian punya masa depan, kalian harus berjanji kepada saya tidak akan melakukan hal-hal seperti ini dan fokus kembali belajar, sehingga bisa mengejar cita-cita,” paparnya.
Lanjut Yohana, bila mana dari mereka yang mau kuliah terus terhambat di tengah jalan karena masalah ini, dia meminta untuk melaporkan kepada dirinya, supaya bisa dilakukan koordinasi. Dia menegaskan, hak anak adalah mengenyam pendidikan, bermain dan hak-hak lain. “Hak-hak anak ada sekitar 25 yang harus dijaga,” pesan dia.
Sesuai UU SPPA, dia sudah mengingatkan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Pontianak, bahwa diperlakukan sesuai dengan UU Sistem Peradilan Anak, yakni diversi mediasi. “UU Perlindungan Anak itu kalau tidak salah hukumannya 3,6 tahun. Kalau di bawah dari 7 tahun berarti diversi mediasi. Ikuti Sistem Peradilan Anak, tidak bisa diganggu gugat, ini sudah UU. Kita usahakan pasti akan menuju diversi mediasi,” pungkasnya.
Sementara Kapolresta Pontianak Kombes M Anwar Nasir menyebutkan, perkembangan berkas perkara pengeroyokan terhadap AU sudah P21 (hasil penyidikan sudah lengkap) dari Kejari Pontianak. Setelah P21, berarti penyidik Polresta Pontianak siap-siap untuk tahap kedua. “Yakni penyerahan berkas perkara, anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dan barang bukti,” sebut Anwar.
Dia menyebutkan, tersangka tetap berjumlah tiga ABH. Sampai saat ini, pihak kepolisian masih menunggu Kejari Pontianak untuk menerima pelimpahan tahap II. “P21 kami sudah dapatkan siang ini (kemarin, red).
Dan tadi sudah dilakukan koordinasi dengan pak Kajari untuk persiapan tahap keduanya,” pungkasnya.
Terpisah, penggiat sosial, Dian Mardiana mengaku prihatin dengan viralnya kasus AU. Pelajar SMP, 14 tahun korban penganiayaan buntut dari perkelahian yang melibatkan tiga pelaku.
Menurutnya, dalam kasus itu, ada tiga pihak yang terlibat. Pertama korban, kedua pelaku dan ketiga saksi. Semuanya adalah anak dibawah umur. Yang akhirnya mereka semua menjadi korban pem-bullyian di media sosial.
Ia pun menyesalkan ada pihak-pihak tertentu yang menyebarkan informasi berlebihan, sehingga masalah tersebut menjadi heboh. “Kami pemerhati, merasa miris. Kasus ini begitu viral, akibat adanya pihak yang men-share informasi yang tidak benar. Yang kita sesalkan, adalah adanya pemberitaan online, tidak melakukan kroscek secara detil terkait kasus ini,” katanya, Senin (14/4).
Akhirnya, berita tersebut menjadi liar. Terus menggelinding. Bahkan menjadi tranding topic dunia. Dampaknya, anak-anak tersebut menjadi korban bully. “Saya mendengar ibu Meteri Perempuan dan Anak tadi mengatakan, pesoalan AU ini ribut karena pemberitaan media. Yang disayangkan lagi, para nitizen. Asal bicara. Bilang pelakunya disebut 12 orang. Padahal tidak,” katanya.
Faktanya, kata dia, kasus yang melibatkan anak-anak dibawah umur tersebut tak seheboh informasi di media sosial. Hanya pertengakaran antara remaja saja. “Namun masalah ini menjadi ramai, karena informasi yang beredar di media sosial berlebihan,” katanya.
Terlepas dari itu, tentu kata dia semua kejadian tersebut ada hikmahnya. Kenakalan remaja itu terjadi akibat pola asuh yang kurang tepat.
Kontrol orangtua kurang memperhatikan anak-anaknya. Sehingga anak-anaknya itu salah jalan dalam mencari jati dirinya. “Jadi, untuk kasus ini, tentu kita harus save anak-anak kita ini. Kita harus care. Sebagai kontrol sosial, jangan lagi mem-bully. Nirizen jangan terlalu reaktif. Penyelesaian kasus ini harus dilakukan secara bijak,” pesanya.
“Amanah undang-undang mengharuskan penyelesaian perkara anak dibawah umur mengedepankan mekanisme diversi. Sekarang masih ada dua kali peluang untuk diversi di Kejaksaan. Kedua orangtua harus bisa coling down. Demi masa depan anak-anak ini,” pungkasnya.
Laporan: Maulidi Murni, Abdul Halikurrahman
Editor: Yuni Kurniyanto