Indonesia Mulai Loby AS

BI Waspadai Dampak ke Rupiah

eQuator.co.idJAKARTA – RK. Mata pemerintah dan pelaku usaha kini tertuju pada sengitnya perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Apalagi, keduanya merupakan mitra dagang utama Indonesia. Risiko ancaman maupun peluang pun terus dimitigasi.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, perang dagang memang terjadi antara AS dan Tiongkok. Namun, bisa saja melebar hingga terkena Indonesia. Sebab, Presiden AS Donald Trump sudah menyatakan akan mereview fasilitas The Generalized System of Preferences (GSP) atau Sistem Preferensi Umum yang diberikan kepada negara-negara mitra dagang, termasuk diantaranya 124 produk asal Indonesia.

Jika fasilitas GSP untuk Indonesia diubah, maka produk ekspor asal Indonesia berpotensi terkena tariff bea masuk lebih tinggi ke AS. Akibatnya, daya saing produk bisa melemah. Karena itu, Indonesia pun mengambil langkah cepat dengan melakukan loby agar fasilitas untuk Indonesia tidak diubah.

Enggar menyebut, pihaknya sudah menjalin komunikasi dengan pihak AS. Rencananya, pertemuan bilateral Indonesia – AS akan digelar dalam waktu dekat. “Kita lagi menunggu, mari kita duduk bersama,” ujarnya usai rapat di Kantor Kemenko Perekonomian tadi malam (8/7).

Pemerintah memang terus menyiapkan langkah antisipasi terhadap dampak perang dagang ini. Karena itu, kemarin sore hingga tadi malam, Menko Perekonomian Darmin Nasution menggelar rapat koordinasi mendadak. Tema yang dibahas adalah perang dagang.

Dalam rapat kemarin, hadir Menkeu Sri Mulyani Indrawati,  Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan,  Menteri ESDM Ignasius Jonan,  Menteri BUMN Rini Soemarno,  Menlu Retno Marsudi,  Menpar Arief Yahya,  Mendag Enggartiasto Lukita, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong.

Rencananya, hasil rapat kemarin akan disampaikan dan dibahas dalam sidang cabinet yang rencananya dilakukan di Istana Bogor hari ini. Karena itu, para pejabat yang hadir pun belum bersedia buka suara.

Darmin Nasution menyebut, masing-masing Kementerian telah diminta untuk menyampaikan kepentingan dan keterkaitan masing-masing terhadap potensi dampak dari perang dagang yang dikobarkan AS. “Mohon maaf, substansi rapat belum bisa saya sampaikan. Nunggu sidang cabinet besok (hari ini, Red),” katanya singkat.

Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan yang kemarin mendampingi Enggar menambahkan, jika AS benar-benar mereview GSP untuk Indonesia, maka bisa berdampak kurang baik. Sebab, sekitar 10 persen produk ekspor Indonesia ke AS masuk dalam GSP tersebut. “Yang jelas akan berdampak ke kita.  Produk kita jadi kurang kompetitif karena harganya kan naik,” ujarnya.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter juga terus memonitor perkembangan perang dagang AS – Tiongkok. Terutama, terhadap dampak ikutan ancaman penurunan ekspor Indonesia ke AS. “Kami sedang kaji dulu dampak ke perekonomian (terkait) kebijakan perdagangan AS kepada 124 produk Indonesia,” kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo.

Di sisi lain, neraca perdagangan Indonesia masih terbelit deficit. Bulan Mei 2018 lalu, neraca dagang defisit sebesar USD 1,52 miliar. Hal itu disebabkan nilai impor lebih tinggi, yakni sebesar USD 17,64 miliar dibanding nilai ekspor yang hanya sebesar USD 16,12 miliar.

Defisitnya neraca dagang ini membuat rupiah mudah goyah jika banyak dana asing keluar. Tahun ini secara keseluruhan BI memperkirakan neraca dagang masih deficit. Namun pada rilis neraca dagang Bulan Juni, BI memperkirakan Indonesia mencatatkan surplus dagang sebesar USD 0,9 miliar. Secara kuartalan, surplus tersebut melambat dibanding surplus neraca dagang pada kuartal I lalu yang sebesar USD 2,4 miliar.

Menurut Dody, rupiah pada pekan lalu telah terdampak sentiment perang dagang ini. “Perkembangan di global sangat-sangat kuat menekan emerging currencies (mata uang negara berkembang, Red) termasuk rupiah,” sambungnya.

Data kurs tengah Bank Indonesia (BI) menunjukkan rupiah telah berada di level Rp 14.409 per USD. Sementara di pasar spot rupiah sempat menyentuh level Rp 14.412, meski kemudian kembali menguat hingga level Rp 14.343 per USD. Rupiah telah melemah 6,4 persen sejak awal tahun.

BI akan tetap menjaga stabilitas ekonomi dengan beberapa jurus. Yakni, melakukan kombinasi dari intervensi ganda di pasar surat utang dan valas, penetapan suku bunga BI 7 days reverse repo rate (BI-7DRRR) dan menjaga gradual depresiasi nilai tukar agar sesuai fundamentalnya. Sejauh ini BI telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 100 basis poin untuk menahan laju depresiasi rupiah. Namun menurut Dody, faktor eksternal berpengaruh banyak pada volatilitasnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengungkapkan BI masih terus masuk ke pasar ketika diperlukan. Sebab, rupiah saat ini belum mencerminkan level fundamentalnya. “Di atas Rp 13.900 itu saya rasa bukan level fundamental,” katanya.

Kepala Riset Strategi Nilai Tukar dan Pasar Global FXTM Jameel Ahmad mengatakan, pasar diperkirakan masih akan berhati-hati menghadapi sentiment perang dagang. Pasar menunggu apakah Tiongkok langsung membalas perang dagang ini dengan proteksionisme atau mengadakan negosiasi dengan AS. “Sebagian besar mata uang negara berkembang sedang berjuang karena dampak dari market yang sedang berhati-hati ini,” ujarnya. Pelaku pasar tengah menurunkan selera risiko dan diperkirakan masih akan mengamati sentiment perang dagang ini dalam sepekan ke depan.

Sementara itu, menyikapi perang dagang yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Tiongkok, pelaku usaha menganggap Indonesia bisa mengambil posisi yang diuntungkan jika bisa memaksimalkan peluang. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat membeberkan bahwa dengan semakin ketat masuknya barang AS ke Tiongkok, Indonesia bisa mempelajari produksi komoditas-komoditas tersebut untuk kemudian mencari celah masuk ke pasar Tiongkok. Demikian pula dengan komoditas Tiongkok yang semakin sulit menembus pasar AS.

”Toh tarif yang dikenakan pada kita lebih rendah. Dan juga ini kesempatan kita untuk memberi insentif pengusaha AS maupun Tiongkok yang ada di sini, supaya mereka tetap mau investasi di Indonesia,” ujar Ade, saat dihubungi kemarin (8/7).

Ade menyebutkan bahwa anggapan AS sedang memberi ancaman dagang kepada Indonesia kurang tepat. Menurut Ade, dua negara yang bersitegang tersebut secara perdagangan dibandingkan negara berkembang seperti Indonesia, bukan lawan yang seimbang. Apa yang tengah dilakukan AS saat ini adalah mereview produk-produk Indonesia yang masuk ke dalam GSP (Generalized System of Preferences). ”AS sedang mereview GSP dari negara-negara berkembang. Mana yang sudah ada perbaikan, tidak perlu lagi diberikan GSP,” tambah Ade.

Bicara soal GSP, meskipun selama ini AS merupakan pasar terbesar industri tekstil Indonesia, Ade menegaskan bahwa produk tekstil tidak masuk dalam review GSP yang dilakukan AS. ”Tekstil sudah bebas GSP sejak 15 tahun lalu. Jadi adanya review tersebut tidak akan berpengaruh di kita,” urai Ade.

Berdasarkan data API, pada tahun 2017 lalu AS masih menjadi pasar tekstil terbesar Indonesia dengan total sekitar USD 4,6 milyar. Sementara total ekspor dari Tiongkok tercatat sebesar USD 1 milyar. ”Sejauh ini hubungan perdagangan dengan kedua negara (AS dan Tiongkok, red) masih fine. Bahkan seperti yang sudah dibilang, kita ada dalam posisi advantage kalau mampu dan siap,” pungkas Ade.

Sementara itu, senada dengan yang disampaikan Ade, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Sutrisno juga menyebutkan bahwa Indonesia bisa memanfaatkan peluang dari adanya perang dagang yang dilakukan oleh AS dan Tiongkok. Benny pun mengaku bahwa pihaknya tengah mempelajari peluang yang bisa dimaksimalkan oleh Indonesia. ”Bagi eksportir kita harus  mencari komoditi apa yang dari Tiongkok di kenakan tambahan bea masuk ke AS? Kita perbesar produksi dengan mencari pembeli dari AS untuk barang tersebut,” ujar Benny.

Selain itu, Benny menganggap posisi  perdagangan Indonesia dengan kedua negara baik AS maupun Tiongkok cukup diuntungkan dengan adanya sejumlah perjanjian yang disepakati selama ini. ”Kita dengan Tiongkok mempunyai perjanjian Comprehensive Economi Partnership Agreement (CEPA) jadi tidak ada masalah hambatan apapun. Sedangkan dengan AS kita sedang menyelesaikan perjanjian Dagang dan Investasi (Trade Investment),” bebernya.

Di lain pihak, Pengamat Perdagangan Internasional dari Universitas Indonesia Fithra Faisal mengungkapkan bahwa perang dagang dua raksasa ekonomi yakni Amerika Serikat dan Tiongkok dipicu oleh Amerika Serikat yang merasa tak puas oleh defisit dagang yang makin melebar. ”Trump mendapat aspirasi dari pelaku industri Amerika khususnya logam dan baja yang mengeluhkan tak bisa bersaing dengan produk Tiongkok karena harganya terlalu murah,” ujar Fithra.

Menyikapi hal tersebut, Trump berupaya memproteksi pasar dalam negerinya dengan meningkatkan tarif sejumlah produk Tiongkok yang masuk ke AS. Tiongkok yang merasa produknya ”diganggu”, lanjut Fithra, melakukan retaliasi dengan membalas menaikkan bea masuk sejumlah produk AS yang masuk ke Tiongkok. ”Aksi perang dagang yang dilakukan dua negara main driver global growth, dampaknya bisa saja meluas. Negara lain yang menjadi bagian dari rantai produksi bisa saja terimbas,” beber Fithra.

Lantas apakah hal tersebut menjadi ancaman bagi Indonesia? Fithra mengungkapkan bahwa ada potensi namun kecil dan diprediksi tidak dalam waktu dekat. Tidak menjadi ancaman, karena selama ini Indonesia bukan menjadi partner terbesar bagi AS maupun Tiongkok. ”Jika dibilang peluang kita untuk mengisi. Mungkin bisa, tapi tentu Amerika akan mencari subtitusi yang lebih dekat misalnya Amerika Latin,” bebernya.

Sementara di Asia Tenggara sendiri persaingan ekspor untuk mengisi pasar AS maupun Tiongkok sangat ketat. Fithra sendiri menganggap bahwa Indonesia masih tergolong kalah bersaing jika dibandingkan dengan Malaysia maupun Thailand. ”Negara-negara Asia Tenggara tersebut juga sudah mulai mencari peluang,” tambah Fithra.

Yang lebih dikhawatirkan dari dampak perang dagang AS dan Tiongkok adalah mengenai finansial atau nilai tukar Rupiah yang diprediksi berpotensi makin melemah. Sebab, Tiongkok saat ini juga berencana mengevaluasi kepemilikannya atas surat utang AS (treasury bonds) tentu berpotensi menimbulkan kegoncangan di pasar obligasi.

”Kalau surat utang AS dievaluasi dan kemudian ada keguncangan di pasar obligasi, itu akan meningkatkan prospek suku bunga internasional. Biasanya itu juga akan terefleksi pada pelemahan Rupiah,” tambahnya.

Menurut Fithra, untuk strategi jangka menengah pemerintah harus mulai memetakan pasar-pasar ekspor baru, non-tradisional sebagai alternatif kerjasama perdagangan. ”Di Afrika kita punya Nigeria, Angola, Senegal, Afrika Selatan. Juga di Timur Tengah yang sebenarnya non-tradisional dan belum tersentuh selama ini,” bebernya. Selain itu, penguatan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) juga perlu dilakukan.

Sedangkan strategi jangka panjang, lanjut Fithra, adalah melalui penguatan sektor industri. ”Penguatan industri dan segala infrastrukturnya harus ada di dalam dimensi jangka panjang. Artinya supaya kita punya fundamental industri yang baik, daya saing ekspor yang baik, dan kerjasama dagang internasional yang kuat,” pungkasnya. (Jawa Pos/JPG)