eQuator.co.id – Dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Penerimaan Negara (APBN) 2019, pemerintah hanya merevisi asumsi makro nilai tukar dari Rp14.500 menjadi Rp15.000. Asumsi diubah lantaran proyek Dana Moneter Dunia dan Bank Dunia memprediksi pelemahan nilai tukar masih bakal berlanjut hingga tahun depan. Bahkan, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan nilai tukar bahkan bisa menembus Rp15.200 hingga akhir tahun. Walhasil berbagai rentetan tersebut bisa menaikkan laju inflasi yang saat ini 3,49 persen menjadi 3,6 persen.
Anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Ecky Awal Mucharam mengatakan, pemerintah tak bisa serta merta mengajukan revisi kurs nilai tukar rupiah begitu saja. Menurutnya, perlu ada diskusi mendalam lantaran komponen nilai tukar banyak mempengaruhi jeroan dalam APBN seperti belanja kementerian, subsidi, hingga suku bunga. “Apalagi kalau ngomongin pertumbuhan, selisih 0,2 persen itu kan besar sekali,” ujar Ecky. (Tempo.co, 17/10)
Sentimen mengenai perang dagang masih membuat sejumlah mata uang negara berkembang, termasuk rupiah mengalami tekanan terhadap dolar AS. Setelah AS memberlakukan tarif impor untuk barang Tiongkok senilai USD 200 miliar, Tiongkok pun membalas dengan memberlakukan tarif impor juga untuk barang AS senilai USD 60 miliar.
Perang dagang tersebut kemungkinan akan terus berlanjut menyusul munculnya pernyataan Presiden AS Donald trump untuk segera mengusulkan pengenaan tarif fase ketiga, jika China melakukan pembalasan. Pelemahan yang tajam ini antara lain dipicu oleh faktor eksternal, terutama akibat pelemahan mata uang (devaluasi) yuan terhadap dolar AS yang dilakukan Cina.
Kebijakan devaluasi itu terutama ditujukan untuk meningkatkan daya saing produk ekspor Cina sebagai respons dari kebijakan pengenaan tarif impor produk-produk asal Cina oleh Amerika Serikat. Praktis, akibat pelemahan yuan, seluruh mata uang negara berkembang turut terdepresiasi. Inilah perang dagang kapitalisme penyebab melejitnya dolar, dan bukti bahwa mata uang kertas rentan mengalami devaluasi. Apakah ini menjadi pertanda Indonesia akan bangkrut dan menjadi korban dari permainan kapitalis?
Politik ekonomi kapitalisme menetapkan uang kertas (fiat money) sebagai alat tukar dan menjadikan dollar sebagai acuan. Padahal, ada selisih nilai didalam mata uang kertas (fiat money) antara nilai instrinsik dan nilai nominalnya, maka pastilah ada pihak yang akan diuntungkan. Amerika menikmati pendapatan yang luar biasa besar dari penciptaan mata uang dollar dengan hanya mengandalkan seignorage (selisih biaya cetak atau biaya produksi dengan nilai yang tertera di mata uang).
Selama kurang lebih 13 abad kejayaan Islam di bawah Khilafah, seluruh aspek kehidupan menerapkan syariat Islam. Salah satunya dalam sistem ekonomi Islam, selain Baitulmal, negara juga menetapkan mata uang emas dan perak. Hal ini dikarenakan mata uang tersebut satu-satunya mata uang yang stabil dan tidak bisa mengalami devaluasi. Namun mata uang tersebut ditinggalkan, karena politik ekonomi kapitalisme untuk menguasai perekonomian dunia.
Islam mengatur sistem ekonomi negara. Adanya Baitulmal yang khas dalam negara Islam, ini menunjukkan bukti konkret bahwa Islam tak sebatas mengatur urusan ibadah dan akhlak. Sebagai sebuah lembaga keuangan negara, pemasukan Baitulmal berasal dari zakat, ghanimah, fai’, jizyah dan kharaj, ‘usyur (cukai) dari orang-orang kaya, harta warisan yang tidak ada pewarisnya, harta waqaf, perusahaan, perdagangan dan perkebunan negara, tebusan tawanan perang, dan (dalam keadaan tertentu) utang negara.
Hanya saja pemikiran kapitalis dalam sistem kapitalisme ini adalah menjadikan manfaat dan keuntungan sebagai asas dalam penetapan suatu kebijakan. Mereka mulai melirik zakat, agar mekanisme pasar terus bergerak. Dimana kaum duafa tetap bisa ikut berpartisipasi di dalam pasar, yaitu menjadi konsumen. Zakat membiayai konsumsi primer duafa. Ketika seluruh duafa sudah dapat memenuhi konsumsi primernya, zakat digunakan untuk alokasi sektor produksi maupun untuk membangun infrastruktur.
Hal tersebut merupakan pemikiran yang rusak. Diambil yang bermanfaat saja, tapi meninggalkan Islam secara keseluruhan. Tentu saja hal tersebut bertentangan dengan aturan yang sudah ditetapkan Allah SWT (hukum syara’). Karena zakat hanya diperuntukkan untuk delapan ashnaf (orang-orang yang berhak menerima zakat). Bahkan untuk sektor produksi maupun membangun infrastruktur itu sudah melanggar ketentuan syara’. Harusnya dalam membangun ekonomi, negara harus dilandaskan pada akidah bukan manfaat dan Islam harus diterapkan totalitas dalam bentuk sistem negara.
Walhasil, sudah saatnya kita membuang sistem kapitalisme yang nyatanya hanya menyengsarakan dan membodohi umat. Seharusnya kita menerapkan aturan dan sistem Islam yang diturunkan Allah SWT, sesuai dengan metode kenabian yang kita kenal. Wallahu’alam bi ash-shawab
* Kepala SDIT Insantama Pontianak