eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Indonesia harus berjuang ekstrakeras di tengah ketidakpastian global saat ini. Tingginya eskalasi perang dagang makin membuat perekonomian global melambat. Beberapa negara, termasuk Indonesia, sudah mengalaminya.
Dalam laporannya, Bank Dunia bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan hanya 4,9 persen. Angka tersebut jauh di bawah target pemerintah 5,3 persen. Perlambatan pertumbuhan itu juga diperkirakan Bank Dunia terus berlanjut hingga mencapai 4,6 persen pada 2022. Bank Dunia pun mengingatkan bahwa ada potensi dana asing yang keluar (capital outflow).
Selama ini Indonesia dikenal sebagai negara berkembang yang layak investasi dengan predikat investment grade dari berbagai lembaga pemeringkat. Indonesia juga sering mengandalkan dana asing untuk membiayai defisit transaksi berjalan. Risiko keluarnya dana asing tentu akan buruk bagi Indonesia.
’’Kami bakal waspada melihat perkembangan tersebut. Kami akan perbaiki policy untuk menyampaikan bahwa kondisi perekonomian Indonesia masih tumbuh di atas 5 persen,’’ tutur Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati di gedung DPR kemarin (6/9).
Optimisme itu bakal dijaga dengan pemberian insentif fiskal yang diharapkan dapat mendorong investor asing masuk ke Indonesia. Sebab, saat ini Indonesia kurang mendapatkan limpahan relokasi investasi dari perang dagang. Buktinya, Bank Dunia mengungkapkan bahwa 33 perusahaan asing lebih tertarik masuk ke negara-negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam ketimbang Indonesia.
Dari sisi pasar modal, dinamika ekonomi terus menjadi sentimen negatif bagi pergerakan pasar di dalam negeri. Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee menyatakan bahwa beberapa hal masih menjadi ancaman bagi pasar domestik. Hans menambahkan bahwa tarif yang berlaku sejak 1 September, baik oleh AS maupun Tiongkok, akan memengaruhi ekonomi secara jangka panjang.
’’Rencana tarif impor kendaraan dan spare part kendaraan yang dibuat di AS dan diekspor ke Tiongkok diperkirakan menurunkan aktivitas ekspor dan impor dengan signifikan dan menaikkan angka penganggur di AS,’’ jelasnya.
Sementara itu, cadangan devisa hingga akhir Agustus kembali meningkat. Jumlahnya mencapai USD 126,4 miliar atau meningkat jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya USD 125,9 miliar. Peningkatan cadangan devisa pada Agustus 2019 terutama dipengaruhi penerimaan devisa migas dan valas lainnya.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) Destry Damayanti menjelaskan, kenaikan cadangan devisa itu bersumber dari capital inflow dan musim pembayaran bunga utang luar negeri. ’’Namun, aliran modal asing yang masuk pada Agustus ini tidak terlalu besar karena tingginya volatilitas di pasar keuangan,’’ ujar Destry di Jakarta kemarin.
Di bagian lain, anggaran subsidi energi berubah seiring dengan perubahan asumsi makro RAPBN 2020. Anggaran subsidi yang semula Rp 137,5 triliun turun Rp 12,6 triliun menjadi Rp 124,9 triliun. Jika diperinci, anggaran subsidi BBM turun Rp 115,6 miliar; LPG Rp 2,6 triliun; dan listrik Rp 7,4 triliun. Selain itu, masih ada kekurangan wajib bayar subsidi energi Rp 2,5 triliun dari pemerintah pada tahun lalu yang harus dilunasi nanti.
Sri Mulyani menyebutkan, perubahan itu juga dipengaruhi pergerakan harga minyak dunia. ’’Kemudian, ada penajaman sasaran pelanggan golongan 900 VA untuk subsidi listrik,’’ ungkapnya setelah rapat bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR kemarin. (Jawa Pos/JPG)