“Saya tadi pakai teks, takut menangis karena terharu,” ujar Luhut Panjaitan usai memberikan sambutan kemarin. Itu memang acara ulang tahunnya. Yang ke-76.
Ia terharu karena yang mengadakan acara itu orang lain. Teman baiknya: Peter F. Gontha. Peter Anda sudah tahu: pendiri RCTI, pengusaha, mantan bos Bimantara, komisaris Garuda, dan Duta Besar di Polandia.
“Saya tidak boleh ikut membiayai acara ini,” kata Luhut. Peter hanya merendah. “Yang membiayai acara ini bukan saya. Tapi buku yang akan kita luncurkan ini,” ujar Peter. “Satu buku untung USD 4. Saya bisa dapat USD 120.000,” kelakar Peter.
Ulang tahun kemarin memang ditandai dengan peluncuran buku. Tentang Luhut Binsar Pandjaitan. Tebal. 400 halaman. Penerbitnya Gramedia. Judulnya: Luhut Binsar Pandjaitan, Menurut Kita-Kita.
Isinya kumpulan pendapat dan pengalaman orang yang mengenal Luhut. Sebanyak 96 orang. Sebagian besar, 70 orang, Peter sendiri yang melakukan wawancara. Lalu menuliskannya. Termasuk saya.
Sebenarnya saya memilih menulis sendiri saja. Tinggal diberi tahu tentang apa dan seberapa panjang. “Tidak boleh,” kata Peter.
Dengan diwawancarai, maka saya tidak bisa menuliskan apa yang saya inginkan. Saya harus menjawab apa yang diinginkan Peter. Maka beberapa kali saya gelagapan menghadapi pertanyaan ”tembak langsung” dari Peter.
Saya pikir itu betul. Kalau masing-masing orang boleh menulis sendiri-sendiri akan banyak yang tumpang tindih. Juga akan terlalu ngelantur. Dari sudut itu buku ini menjadi menarik untuk dibaca.
Saya belum membacanya: saya harus menulis naskah ini begitu acara selesai kemarin petang. Saya baru melirik di halaman berapa pendapat saya tentang Luhut dimuat: 93.
Di ballroom gedung Sopo Del Tower, Kuningan Jakarta itu banyak tokoh hadir: Presiden SBY, Wapres Jusuf Kalla, Ketua MPR Bambang Susatyo, Menhan Prabowo Subianto, pengusaha Aburizal Bakrie, Chairul Tanjung, beberapa menteri, dan yang menarik perhatian adalah ini: Kaesang Pangarep. Beserta istri. Yang dua hari lalu jadi ketua umum PSI yang baru.
“Pak Luhut itu bukan pembantu presiden. Ia pembantu para menteri,” ujar Deddy Corbuzier saat diminta naik panggung. Podcaster itu termasuk salah satu dari 96 orang. Ia memang pernah beberapa kali mewawancarai Luhut di podcast-nya. Maksudnya: banyak pekerjaan menteri lain ditangani Luhut.
Presiden SBY tidak kaget melihat peran Luhut seperti itu. “Pak Luhut itu man of ideas sekaligus man of action,” kata SBY. “Satu lagi. Pak Luhut itu orang yang mementingkan solusi,” tambahnya. Maka tidak heran kalau ia mendapat banyak tugas.
Prabowo dapat giliran berbicara saat Luhut masih di panggung. “Kami ini,” katanya sambil mendekat ke Luhut, “pasukan tempur”.
Karena harus bertempur maka terbentuklah jiwa jagoan. “Sebagai sesama jagoan kami ini sebenarnya tidak boleh berdekatan. Bisa…,” ujar Prabowo.
“Saya ini mendalami juga karakter binatang. Kuda, misalnya. Dua kuda jantan yang hebat tidak boleh berdekatan. Pasti berantem. Padahal tidak ada masalah persaingan karir,” katanya.
Prabowo tidak menutupi saat-saatnya tidak cocok dengan Luhut. “Kami ini seperti Tom & Jerry,” kata Prabowo. “Tapi pada saat yang menentukan semuanya kami lupakan demi bangsa dan negara,” tambahnya.
Luhut adalah senior Prabowo di akademi militer. “Jadi, kalau saya jadi begini yang salah adalah senior saya. Seniorlah yang membentuk juniornya. Termasuk Pak Luhut dan Pak Sintong ini,” katanya setengah bergurau.
Jenderal Sintong Pandjaitan memang hadir. Usianya 86 tahun. Jalannya masih tegak. Suaranya masih tegas. Pikirannya masih jernih.
Sintong mengungkapkan nasib Luhut yang selalu kurang baik di masa dinas kemiliterannya. Ia selalu tersingkir. Tersisihkan. Padahal ia lulusan terbaik. Sangat cerdas. Prestasinya juga selalu menonjol. Jabatan komandan tertinggi yang pernah diberikan kepada Luhut adalah Komandan Korem. Di Madiun. Setelah itu jabatannya selalu tidak penting. Pun setelah menjadi perwira tinggi. Bahkan pernah dilempar sebagai duta besar.
Sampai sekarang itu masih menjadi misteri: mengapa begitu. Jangan-jangan karena ada kuda jantan lain di sana.
Editing buku ini dilakukan oleh wartawan senior Mahpudi. Ia wartawan Surabaya Post di Bandung. Ia berhenti ketika koran sore itu tidak terbit lagi. Lalu menjadi penulis buku. Sudah lebih 40 buku ia terbitkan. Umumnya buku biografi. Yang paling terkenal adalah: Soeharto, Untold Story. Tahun 2012. Juga biografi Gubernur Jabar Ridwan Kamil. “Biografi hampir semua bupati wali kota di Jabar sudah saya tulis,” katanya.
Ia ikut pameran buku di Frankfurt, Jerman. Lalu mampir Polandia. Bertemu Peter. Ia menawari Peter untuk menulis biografi Peter. Setuju. Buku sudah jadi. Tapi Peter belum mau menerbitkannya. “Malah saya diajak menulis buku Pak Luhut ini,” katanya. “Uniknya, saya belum pernah bertemu Pak Luhut. Sampai hari ini,” tambahnya.
Saya tentu menyalami Kaesang. Lalu ia memperkenalkan saya ke istrinya: “Ini bapaknya teman baik saya,” katanya. (*)