Hukuman Mati Tak Ganggu Hubungan Diplomatik

Ilustrasi NET

eQuator.co.idJAKARTA –RK. Pemerintah Indonesia akan meminta penjelasan kepada Arab Saudi terkait hukuman mati terhadap Zaini Misrin. Meskipun begitu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai perkara tersebut tidak akan menganggu hubungan diplomatik Indonesia-Arab Saudi.

Dia mencontohkan kemarahan Perancis saat ada warga negaranya, Serge Atlaoui, yang menjadi terpidana eksekusi mati dalam kasus narkoba. Serge menjadi terpidana mati karena menjalankan pabrik pembuatan ekstasi. ”Ya awalnya memang marah-marah tapi setelah itu difahami bahwa memang dia bersalah sesuai hukum kita,” ujar JK di kantor Wakil Presiden kemarin (20/3).

Pada Minggu (18/3) sekitar pukul jam 11 siang waktu Saudi Arabia, Zaini Misrin dihukum mati. Warga Bangkalan, Madura itu  mengaku dipaksa untuk mengakui melakukan pembunuhan setelah ditekan dan intimidasi dari  otoritas Saudi Arabia. Pada proses persidangan hingga dijatuhkan vonis hukuman mati, Zaini Misrin juga tidak mendapatkan penerjemah yang netral  dan imparsial.

Menurut keterangan dari pihak Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, otoritas Kerajaan Saudi Arabia sama sekali tidak memberitahu mengenai eksekusi ini. Tidak ada penyampaian mandatory consular notification kepada perwakilan Republik Indonesia sebelum eksekusi.

Lebih lanjut, JK menuturkan bahwa pemerintah sudah berupaya keras untuk mengupayakan bantuan hukum terhadap Zaini. Sudah ada puluhan kali pertemuan dengan pihak Arab Saudi. Bahkan, Presiden Jokowi pun sudah bertemu dengan Raja Salman untuk membahas perkara tersebut.

”Cuma hukum di sana berbeda dengan hukum kita. Itu hanya (kewenangan) keluarga yang maafin bukan raja (Salman). Jadi itu masalahnya, tapi sampai tingkat presiden itu membela warga yang di situ. Tapi ya itu jangan berbuat salah lah,” tegas JK.

Di Indonesia juga punya mekanisme hukuman mati. Di era Presiden Jokowi sudah tiga kali gelombang eksekusi mati untuk para pelaku narkoba. ”Jadi saling mengerti kalau anda berada di satu negara ya jangan melanggar hukum negara itu. Kita tentu sangat serius dan prihatin berduka cita atas hal itu. Namun tentunya kita juga memahami kalau orang berbuat salah maka berlaku hukum setempat,” ungkap dia.

Sementara itu, Anggota Jaringan Buruh Migran (JBM) Citra Hamidah mengatakan, sikap semena-mena yang dilakukan otoritas Arab Saudi terhadap TKI Indonesia disebabkan oleh tidak kuatnya kesepakatan yang dibangun. Untuk perjanjian memberikan notofikasi saja misalnya, itu hanya ada di Memorandum of Understanding (MoU).

Padahal, jika dilihat dari aspek hukum, MoU hanya kesepakatan yang tidak memiliki impikasi. Oleh karenanya, ke depan, Indonesia perlu meningkatkan kesepakatan menjadi Memorandum of Agremeent (MoA). “Kalau MoA ada teknisnya, seperti sanksi atau tuntutan jika salah satu pihak tidak menerapkan perjanjian,” ujarnya.

Dia mencontohkan, hal itu sudah berhasil dilakukan pemerintah Filipina dengan Arab Saudi. Menurut informasi yang diterimanya, pasca perubahan tersebut, Filipina bisa menekan kasus-kasus buruh migrant di Saudi. “Menaker (Menteri tenaga kerja) sebut pengen ikuti Filipina, tapi sampai sekarang belum ditindaklanjuti,” imbuhnya. (Jawa Pos/JPG)