Ratusan orang mengantar Intan ke tempat peristirahatan terakhir. Serasa turut merasakan kesedihan, langit pun ikut menangis sepanjang pemakaman.
DWI RESTU-NOVITA INDRIANI, Samarinda
eQuator.co.id – AIR dari langit turun begitu derasnya di kompleks pemakaman Kristen Phutak, Loa Duri, Kutai Kartanegara. Seorang petugas makam berkali-kali membendung air yang mulai masuk ke liang lahat. Lubang makam yang disiapkan untuk jenazah Intan Olivia Br Marbun, korban bom gereja.
Selasa (15/11) pukul 14.00 Wita, iring-iring pembawa jenazah tiba. Di sepanjang jalan dari rumah duka menuju pemakaman, petugas berseragam lengkap berdiri setiap 200 meter. Semakin dekat kuburan, semakin banyak anggota Detasemen B Pelopor Polda Kaltim.
Langit belum berhenti menangis ketika peti mati cokelat diturunkan dari ambulans. Isak tangis keluarga mengiringi Intan ke liang lahat. Diana Susan Br Sinaga, ibu Intan, menuruni anak tangga di tanah licin. Perempuan yang sedang mengandung anak keduanya itu bersandar di bahu suaminya, Anggiat Manuppak Banjarnahor. Anggiat tak melepas genggaman tangan istrinya sembari sekuat tenaga menahan air mata.
“Selamat jalan, anakku. Selamat jalan, Nak,” lirih Diana.
Pembacaan doa dipimpin pendeta Simamora. Bocah malang korban bom molotov di Gereja Oikumene, Sengkotek, Loa Janan Ilir, pada 13 November itu akhirnya diantar para kerabat ke tempat peristirahatan terakhir. Ketika peti diturunkan, Diana makin tak kuasa melihat anaknya pergi.
“Saya bangga. Saya tidak pernah menyesal Intan lahir dari rahim saya,” ungkapnya di antara tetesan air mata. Baginya dan keluarga, Intan adalah anak kebanggaan. Putri kecilnya benar-benar anak Tuhan yang diberkati.
Sepanjang pemakaman, Diana mengaku selalu memikirkan Intan yang aktif dan lincah dengan suara panggilan mungilnya. Pikiran yang membuat selera makannya lenyap sama sekali. Makanan dan buah yang diberikan kerabat tak dihiraukan. Wajahnya kian pucat.
“Makan, ya, Kak. Nanti tambah sakit,” ucap seorang perempuan berselendang kain khas kedaerahan kepadanya.
Proses pemakaman selesai. Langit masih terus terisak-isak mengirimkan air yang membuat sebagian Kota Samarinda terendam. Anggiat dan Diana kembali ke kediamannya.
Senti Sinaga, adik Diana yang ditemui Kaltim Post, bercerita tentang kondisi kakaknya. Sejak dinyatakan meninggal dunia, Diana masih tidak percaya bahwa Intan sudah tiada. Menirukan ucapan kakaknya, pihak keluarga sangat terkejut.
“Saya tidak terima. Cukup Intanku yang begini. Jangan ada anak lain yang merasakan kesakitan seperti dia,” tutur Senti menirukan kalimat kakak perempuannya.
Kesedihan luar biasa juga dirasakan nenek Intan. Senti mengatakan, saat mengetahui Intan menjadi korban bom molotov, dia bersama ibu dan dua kakaknya langsung menuju Samarinda. Baru setengah perjalanan, mereka mendengar kabar kepergian Intan.
“Dari bandara sampai di Samarinda, ibu saya tidak berhenti menangis karena sangat kehilangan Intan. Kami benar-benar berharap kejadian ini adalah yang pertama dan terakhir,” tukas adik bungsu Diana itu.
Dalam pemakaman Intan kemarin, hadir Pangdam VI/Mularwaman Mayjen TNI Johny L Tobing dan Kapolda Kaltim Irjen Pol Safaruddin. (fel/k11/JPG)