Hotspot Kian Berkurang, 576 Pelaku Pembakar Lahan Diproses

ilustrasi.net

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Berdasarkan pantauan Satelit Modis, Rabu (31/8) pukul 07.00, terdapat 156 hotspot yang tersebar di 21 provinsi di seluruh Indonesia. Di Kalbar sendiri pada waktu pemantauan yang sama, terdapat 48 hostpot. Selain hujan, juga adanya keseriusan pemerintah  dalam mencegah dan mengatasi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, hotspot berasal dari pembakaran jerami pascapanen padi di sawah.

“Namun tidak memberikan dampak lingkungan yang berarti,” ujarnya, Kamis (1/9).

Sebagian besar hotspot, kata dia, berasal dari pembukaan kebun di Kabupaten Sanggau. Hotspot juga ditemukan di Kabupaten Landak, Kubu Raya dan Sambas.

“Secara umum kondisi masih cukup baik,” ucapnya.

Karhutla yang sebelumnya sempat terjadi dibeberapa titik di Kalbar kini telah berhasil dipadamkan. Sementara ini, pantauan satelit maupun patroli udara memang menunjukkan tidak ada yang terbakar. Hanya saja, asap tipis masih mengepul dari lokasi-lokasi yang terbakar sebelumnya. Menurunnya tingkat hotspot ini menyebabkan kualitas udara di Kalbar pada tingkat cukup baik.

Meski demikian, Tim Satgas Terpadu dari TNI, Polri, BNPB, BPBD, Manggala Agni, Damkar swasta, Masyarakat Peduli Api dan relawan terus melakukan pencegahan dan penanganan Karhutla di Kalbar. Pendinginan daerah bekas terbakar terus dilakukan. Asap tipis yang keluar dari lahan gambut tetap ditangani dengan menyemprot air hingga kedalaman tertentu di lahan gambut. Patroli diintensifkan dengan menggunakan motor trail masuk permukiman, pekarangan, hutan dan perkebunan.

Sembilan dari 14 kabupaten/kota di Kalbar telah menetapkan siaga darurat Karhutla, yaitu Kabupaten Kubu Raya, Mempawah, Landak, Bengkayang, Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu. Dalam hal ini, BNPB juga mengerahkan dua heli water bombing dan satu pesawat hujan.

Soal penindakan hukum, sejauh ini sebanyak 576 orang pelaku pembuka lahan dengan cara membakar telah ditangkap oleh aparat TNI dari Kodim dan diserahkan kepada kepolisian. Sebanyak 576 orang pelaku pembakaran ini terdiri dari tujuh orang ditangkap oleh Kodim 576/Mpw, 30 orang oleh Kodim 1205/Skw, tujuh orang oleh Kodim 1203/Ktp, 386 orang oleh Kodim 1204/Sgu, 48 orang oleh Kodim 1205/Stg, 68 orang oleh Kodim 1206/Psb dan 35 orang oleh Kodim 1207/Bs.

“Mereka ada yang hanya dikenakan wajib lapor, ada yang membuat pernyataan, dan ada yang ditahan,” kata Sutopo.

Meski banyak yang sudah diberi tindakan preemtif, preventif dan penegakan hukum, tetap saja penyakit tahunan ini terjadi. Menurut Sutopo kendala di lapangan adalah masih ada sebagian masyarakat yang membuka lahan pertanian dengan cara membakar. Selain itu, ketika sudah terjadi Karhutla, terbatasnya air untuk water bombing dan pemadaman di darat serta jauhnya sumber air dengan lokasi kebakaran menjadi kendala berarti.

Sementara itu berdasarkan pantauan Sensor Modis oleh Stasiun BMKG Supadio Pontianak sejak Rabu (31/8) pada pukul 07.00 hingga Kamis (01/09) pukul 05.00 WIB, hanya terdapat 19 sebaran hotspot di Kalbar. Dengan rincian, Kabupaten Sambas terdapat dua hotspot, Kabupaten Mempawah satu hotspot, Kabupaten Ketapang lima hotspot, Kabupaten Sekadau dua hotspot dan Kabupaten Kubu Raya sembilan hotspot.

“Namun untuk hari ini dan beberapa hari kedepan, beberapa Kabupaten dan Kota di Kalbar berpotensi hujan sedang dan lebat,” kata Sutikno, Prakirawan Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak, Kamis siang.

Turun Temurun dan Kearifan Lokal

Terpisah, Praktisi Adat Dayak sekaligus Pengurus Dewan Adat Dayak Nasional Paulus Florus mengingatkan kepada semua pihak tidak melakukan kriminalisasi para peladang di dalam menangani Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla). Pasalnya, peladang membakar ladang untuk ditanami padi selalu mengacu kepada kearifan lokal.

“Buka ladang dengan sistem bakar sudah dilakukan turun-temurun dan menjadi kearifan lokal,” kata Paulus Florus di Pontianak, Kamis (1/9) pagi.

Paulus juga menanggapi penangkapan warga oleh jajaran Polri dan TNI, karena buka ladang dengan sistem bakar selama musim kemarau 2016. Langkah penegakan hukum dilakukan Polri dan TNI, mengacu kepada instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Instruksi keras Presiden Jokowi, agar menghadapi musim kemarau 2016 tidak meluas yang menimbulkan kabut asap pekat, merembes hingga ke negara tetangga yang berimplikasi dinamisnya situasi politik luar negeri sebagaimana pengalaman 2015.

Paulus mengatakan, ia tidak menyalahkan TNI dan Polri yang telah melaksanakan intruksi Presiden dengan baik. Tapi menurutnya, ada sistem kearifan lokal yang mesti dihargai di saat belum ditemukan teknologi aplikatif yang murah dan mudah, tentang sistem buka lahan di luar cara dibakar.

“Untuk tidak terjadi praktik kriminalisasi terhadap petani peladang, peran Kepala Daerah seperti Gubernur, Bupati dan Wali Kota untuk bersinergi dengan TNI dan Polri. Dalam mewujudkan sinergitas, dibutuhkan sebuah Pos Komando aplikatif tempat berdiskusi dan evaluasi harian Pemerintah Daerah dengan pimpinan TNI dan Polri,” paparnya.

Sehingga, lanjut dia, dari hasil diskusi Pimpinan Daerah dengan TNI dan Polri, muncul sebuah aksi mengikat di lapangan dalam menangani Karhutla. Sehingga tidak terjadi praktik kriminalisasi terhadap petani tradisional yang sudah turun-temurun membuka ladang dengan sistem bakar.

“Kuncinya para peladang mesti dibina dalam membuka ladang dengan sistem bakar,” ujar Paulus.

Ia mencontohkan seperti membangun sekat bakar, agar api tidak meluas. Perlu pula diterapkan aturan internal berupa membakar ladang dengan sistem bergilir, agar asapnya tidak meluas.

“Ini hanya bisa terjadi kalau Kepala Daerah yang dimotori Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terus aktif berkomunikasi dengan Polri dan TNI,” tegasnya.

Paulus Florus menegaskan, petani tradisional terutama masyarakat Dayak, selalu melakukan aktivitas pertanian di lahan kering, yakni Persulit Merah Kuning (PMK). Munculnya kebakaran hebat setiap musim kemarau dalam 20 tahun terakhir, menurutnya karena terjadi pemanfaatan lahan gambut secara masif untuk aktivitas ekonomi nonkonservasi. “Faktanya di Kalimantan, orang Dayak tidak bermukim di lahan gambut,” demikian Paulus.

Laporan: Ocsya Ade CP

Editor: Arman Hairiadi