eQuator.co.id – Bisa dibayangkan ketika hingar-bingar kehidupan modern yang lebih mengutamakan pekerjaan berdasi, tidak ada orang-orang seperti Tayib. Sementara untuk hidup kesehariannya sendiri si penggali liang lahat itu harus pandai-pandai mengais rezeki.
Ambrosius Junius – Pontianak
Dengan tubuhnya yang kurus dan kulit hitam dibakar mentari, Tayib tetap setia dengan cangkul dan penggali. Usianya sudah 55 tahun, dan 23 tahun dihabiskannya untuk menggali liang lahat di Pemakaman Muslim Jalan Tabrani Achmad, Pontianak Barat.
Kata ayah tiga anak ini, rejeki dari perkerjaannya bergantung kepada orang yang meninggal. Walaupun selalu mendoakan orang panjang usia dalam setiap shalatnya, keberadaan Thayeb si penggali kubur itu selalu dibutuhkan.
“Satu hari kadang bisa sampai tiga kali menggali kubur. Tapi itu tak menentu, kadang tiga hari lagi baru ada,” ungkap Tayib kepada Rakyat Kalbar yang mengunjungi rumahnya Jalan Tebu, Komp. Dwi Ratna Indah II, Pontianak Barat, Selasa (22/11).
Kediamannya tidak jauh dari pemakaman itu. Ia memulai kerja sebagai penggali kubur sejak 1993, yang saat itu secara kebetulan ada orang yang memintanya untuk membantu menggali liang lahat. “Sebelumnya tukang bangunan kemudian saya berhenti, lalulah saya keterusan menekuni perkerjaan ini,” tuturnya dengan senyum.
Satu risiko yang selalu dipikulnya, penggali kubur itu harus selalu siap dipanggil jika ada orang yang dipanggil oleh Allah yang Maha Kuasa. Jadi, katanya, harus siap dalam keadaan apapun ketika ada orang meninggal dan di manapun dia berada.
Terlebih, tanah di Kota Pontianak yang rendah, basah, liat, dengan kondisi areal pemakaman yang berair. Itu risiko lain lain dari prosesi pemakaman dan demi keselamatan harus ekstra hati-hati. Bisa saja tanah yang sudah digali akan longsor bahkan ambruk jika teknis penggalian dan tumpukan tanah tidak ditata dengan baik.
“Tidak peduli hujan, panas, harus menggali. Apalagi saat musim hujan seperti ini lubang yang kita gali biasanya tergenang air, dan itu harus ditimba terus. Belum lagi kendala yang lain seperti saat menggali ada kayu atau akar,” jelasnya.
Untuk menggali liang lahat ukuran 2×1 meter dengan kedalaman hamper dua meter pada tanah basah dan berair, butuh waktu kurang lebih satu jam. Tapi itu tadi, kalau sampai tanah runtuh menutupi lubang kembali, betapa sedihnya sang penggali dan keluarga yang ditimpa musibah.
Jasa menggali kuburan dibayar oleh pihak pengelola makam. Selain itu setelah prosesi pemakaman selesai kadang ada pihak keluarga yang meninggal menghargai jasanya, baik itu berupa uang maupun barang.
“Satu lobang itu digali dua orang, dan saling bergantian upahnya dibagi rata.
Kalau dari keluarga yang biasanya dikasi baju, ada juga uang. Lumayanlah, apa pun bentuknya itu rejeki,” kata Thayib yang ikhlas dan pasrah menerima apapun pemberian orang yang juga dalam duka.
Sebagai seorang penggali kubur, kakek dua cucu ini memiliki kepuasan tersendiri terhadap pekerjaannya. Kepuasan batin membantu orang yang sudah meninggal. Itu sangat berbeda ketika membantu acara pernikahan dan sejenisnya. Ini kegembiraan, jika ada keperluan bisa ditinggalkan.
“Orang meninggal ini kan harus segera ditangani istilahnya harus disegerakan. Selain itu kita juga meringankan perkerjaan keluarga yang ditinggalkan,” tuturnya.
Untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya, Tayib pada 1996 mendapatkan perkerjaan tambahan sebagai penjaga malam di sebuah perusahaan milik pemerintah daerah.
“Malamnya saya jaga mulai dari jam 10 pulangnya jam enam pagi. Itu tidak peduli tanggal merah atau hari besar tetap jaga,” ungkapnya.
Dengan penghasilan tambahan itulah dia bisa menyekolahkan anak pertamanya hingga ke perguruan tinggi. Tidak hanya itu anak keduanya lulusan SMA sudah berkerja juga, sedangkan anaknya yang bungsu masih duduk dibangku SMA.
“Anak pertama saya laki-laki, dia sarjana yang diwisudakan tiga tahun lalu dan sekarang berkeja di instansi pemerintah,” ungkapnya.
Tak kehabisan akal untuk menafkahi keluarganya, kakek yang punya cucu kembar perempuan ini mendapat berkah dari hasil keringatnya menggali kubur. Uang yang disisihkan dan dikumpulkannya digunakan untuk menyewa lahan pertanian.
“Hasil yang saya dapatkan itu diputarkan lagi, sewa sawah milik orang dan ditanam padi, kalau ada waktu luang saya ke sawah,” pungkasnya. (*)