eQuator.co.id – Pontianak-RK. Akibat melorotnya harga komoditi sawit, sejumlah produk ikut melorot termasuk penjualan kendaraan bermotor. Setelah karet, komoditas sawit mempengaruhi daya beli masyarakat Kalbar.
“Kalau kita lihat pertumbuhan ekonomi masyarakat saat ini yang masih bergantung pada komoditas sawit, karet dan wiraswasta, maka turunnya harga komoditi tersebut jelas berpengaruh pada market share kita,” ungkap Julius Armando, Manager Marketing PT Astra Honda Motor (AHM), kemarin.
Seperti komoditi karet, kata Julius, di tahun sebelumnya harga komoditas ini cenderung stabil. Namun terjadi penurunan pada sawit, sehingga hal ini dinilai cukup dirasakan oleh AHM, khususnya untuk market di kabupaten.
“Kalau di kota market share kita untuk sepeda motor tidak berpengaruh. Sebab rata-rata masyarakat kota lebih kepada perdagangan. Kalau di daerah mereka yang bergelut sebagai petani sawit, sehingga ketika harga komoditi ini turun, penjualan kita mengalami penurunan,” terangnya.
Bahkan, lanjut Julius, di wilayah Kalimantan, Kalbar yang paling rendah dari sisi market share. Lantaran provinsi ini masih bergantung pada sawit. Sedangkan untuk wilayah Kalimantan lainnya seperti Kalsel, Kaltara, yang mayoritas ekonomi masyarakat bergantung pada batu bara.
“Sehingga cenderung market kita minus untuk sepeda motor,” ucapnya.
Meskipun demikian, kata Julius, untuk kinerja pencapaian target sendiri pihaknya terus melakukan peningkatan. Terlebih dengan hadirnya dua produk terbaru.
“Target tentu kita harus naik tetap tidak boleh turun. Kalau dilihat dari persaingan kompetitor kita juga optimis terlebih dengan kehadiran dua produk baru yang kita yakini akan meningkat,” tegasnya.
Terkait perekonomian, Badan Pusat Statistik (BPS) Kalbar mencatat berdasarkan besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku triwulan II-2019 mencapai Rp50 599,48 miliar dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp32 936,39 miliar.
Ekonomi Kalimantan Barat triwulan II-2019 tumbuh 5,08 persen (y-on-y). Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh hampir semua lapangan usaha, dengan pertumbuhan tertinggi dicapai lapangan usaha pertambangan dan penggalian yang tumbuh 7,86 persen. Dari sisi pengeluaran,pertumbuhan tertinggi dicapai oleh komponen pengeluaran ekspor barang dan jasa yang tumbuh sebesar 12,55 persen.
Ekonomi Kalbar triwulan II-2019 tumbuh sebesar negatif 2,46 persen (q-to-q). Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi pada pertambangan dan penggalian sebesar 15,07 persen. Sedangkan dari sisi pengeluaran dicapai oleh Komponen Pengeluaran LNPRT yang meningkat signifikan sebesar 5,51 persen.
Kalbar di triwulan II-2019 (c-to-c) tumbuh 5,09 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh lapangan usaha Lapangan Usaha Informasi dan Komunikasi sebesar 9,58 persen. Sementara dari sisi pengeluaran terutama didorong oleh Komponen Pengeluaran LNPRT yang tumbuh sebesar 10,91 persen.
Struktur ekonomi di provisni ini pada triwulan II-2019 didominasi oleh pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 19,12 persen, industri pengolahan 16,53 persen, perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan motor 14,85 persen dan konstruksi 11,19 persen.
Dari Ibu Kota, pemerintah bersama pelaku industri terus berupaya mencari terobosan strategis untuk mendongkrak harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional. Beberapa upaya yang ditempuh adalah melalui program hilirisasi industri kelapa sawit dan kebijakan mandatori biodiesel di dalam negeri.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto berkomitmen menjadikan industri hilir pengolahan minyak sawit sebagai sektor prioritas nasional. Sepanjang 2018, ekspor minyak sawit didominasi produk hilir yang rasio volumenya 81 persen jika dibandingkan dengan ekspor bahan baku (19 persen). Tren itu terus melonjak selama lima tahun terakhir sehingga mampu memberikan kontribusi signifikan pada perolehan devisa.
’’Penggunaan CPO terus meningkat, untuk energi sekitar 15–20 persen. Sisanya untuk produk hilir seperti pangan dan nonpangan. Kita sudah buatkan roadmap-nya dalam pengembangan industri nasional,” ujar Airlangga.
Apalagi, pasar di dalam negeri sedang berkembang pesat karena konsumsi produk pangan kian tumbuh. Selain itu, ada inisiatif kebijakan pemerintah tentang mandatori biodiesel PSO (public service obligation) dan non-PSO sejak 2016.
Airlangga menambahkan bahwa pihaknya terus mengawal kebijakan mandatori biodiesel 20 persen (B20), yang akan ditingkatkan menjadi B30 pada awal 2020. Kemudian, diharapkan pada 2021–2022, komposisi penggunaan bahan bakar nabati ditingkatkan menjadi B50-B100.
’’Kita perlu berbangga bahwa kebijakan mandatori biodiesel berkomposisi di atas 20 persen adalah yang kali pertama di dunia dengan hasil implementasi di lapangan yang relatif baik dan lancar,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Mukti Sardjono menjelaskan bahwa untuk memperbaiki kinerja sawit pada masa mendatang, pihaknya mendukung program bauran CPO untuk kebutuhan energi yang dicanangkan pemerintah lewat B20 dan B30. Kebijakan tersebut dinilai bisa memberikan dampak positif pada harga minyak kelapa sawit.
’’Untuk memperbaiki kinerja sawit, kami dukung konsumsi lewat program CPO untuk energi. Selain itu, kami mendorong ekspor ke negara tradisional yang harus dipertahankan karena volumenya besar. Untuk nontradisional seperti Afrika dan Timur Tengah, itu pasar-pasar potensial yang bisa kita garap. Salah satu upaya mendorongnya lewat perjanjian bilateral,’’ ujar Mukti.
Laporan: Nova Sari, Jawa Pos/JPG
Editor: Mohamad iQBaL