Biasanya ketika lampu rusak langsung dibuang begitu saja. Di tangan Fazri, lampu-lampu rusak bisa kembali menyala. Ia hanya membutuhkan waktu tiga menit untuk membuat lampu bisa menyala kembali.
ALI ROJAI, Mataram
eQuator.co.id – Di kamar ini aku dilahirkan. Di bale bambu buah tangan bapakku. Penggalan lirik lagu Iwan Fals dengan judul Pondok Gede menemani Fazri, si “dokter spesialis” memperbaiki lampu-lampu di Ruko Simpang Lima Kota Tua Ampenan, Kamis (6/12). Suara lagu terdengar jernih dari speaker aktif miliknya yang diletakkan ditangga.
Tangannya terus bekerja. Memegang tang, obeng untuk membuka lampu-lampu pesanan pelanggan yang minta diperbaiki. Setelah dibuka, ia melihat isi dalam bagian lampu untuk memastikan apakah masih berfungsi atau tidak. “Kalau tidak dibuka, kita tidak tahu rusaknya di mana,” kata Fazri.
Fazri menyebut dirinya dokter lampu. Di depan rukonya terpasang spanduk dengan tulisan “Dokter Lampu” menerima reparasi lampu bergaransi. Baginya, tidak ada lampu yang tidak bisa diperbaiki di kliniknya ini.
Ruko ukuran 2×4 meter dijejali dengan jenis lampu dari berbagi merek dan daya. Lampu-lampu itu tidak tertata rapi atau memiliki kotak layaknya lampu baru. Lampu-lampu ini merupakan lampu bekas yang dibelinya dari pemulung. Kemudian dicuci dan diperbaiki agar kembali normal seperti semula. “Kita ada garansi dua bulan,” singkatnya.
Di tangan pria asal Jember ini, lampu rusak ini bisa menyala kembali. Bahkan dalam waktu tiga menit ia bisa menyulap lampu yang rusak total bisa hidup kembali berkat ilmu dimilikinya. Fazri melihat lampu-lampu rusak seperti emas. Bisa diperbaiki dan dijual dengan harga cukup murah. Tidak murahan karena kualitas seperti baru.
Usaha yang dilakoninya sejak 2017 cukup menjanjikan. Dalam satu hari ia bisa memperbaiki sampai 70 lampu. Biaya memperbaiki pun bervariasi. Tergantung besar kecilnya daya lampu itu. Untuk 5 watt dipatok harga Rp 5 ribu, sedangkan 10 watt ke atas dipatok Rp 15 ribu. Sementara untuk 20 watt ke atas ia tarik Rp 20 ribu per lampu. “Dari pada beli baru yang 20 watt bisa sampai Rp 100 ribu,” sebutnya.
Biasanya kata dia, orang yang datang memperbaiki lampu tidak hanya membawa satu buah lampu, namun tujuh bahkan sampai sepuluh buah lampu. “Ini saja banyak barang yang belum diambil,” kata Fazri sambil menunjukkan pesanan lampu yang diperbaikinya.
Dalam usahanya ia menggandeng pemulung untuk kerja sama mencari lampu-lampu bekas. Satu buah lampu ia hargakan Rp 500 di pemulung. “Kalau jual di pengepul mereka rugi karena sistemnya per kilo. Apalagi satu kilo hanya dihargakan Rp 2 ribu,” terangnya.
Memberdayakan pemulung membuat dirinya tidak akan kehabisan stok lampu bekas. Bahkan lantaran banyaknya lampu yang dibawa pemulung ia juga kirim ke Jawa. “Kalau di Jawa lampu bekas seperti emas,” akunya.
Kini, omzet Fazri mencapai Rp 30 juta per bulan. Hal ini tidak lepas karena belum ada saingan yang membuka usaha seperti dirinya. Ilmu memperbaiki ilmu didapatkan Fazri sejak duduk dibangku SMK di jurusan elektro. Setelah lulus, ia terus mendalami ilmu elektro hingga membuka usaha. “Dulu saya buka di Jawa,” sebutnya.
Namun kata dia, karena banyaknya saingan ia memilih hijrah ke Mataram. Di Mataram usaha yang dijalaninya cukup ramai. Pundi-pundi keuntungan ia raih dan terus melebarkan sayapnya dengan menggandeng pemulung dari Lombok Timur, Lobar, dan daerah lainnya. “Lampu-lampu rusak ini sebagian besar dari Lotim,” tuturnya.
Meski terbilang sukses, Fazri enggan menularkan ilmunya ke orang meskipun ada imbalan. Ia takut jika ilmunya ditularkan akan terus menyebar ke yang lain. Sehingga berdampak pada usahanya. Memiliki saingan yang akhirnya tidak berkembang.
Fazri menceritakan, dulu salah seorang dosen perguruan tinggi (PT) meminta lima mahasiswanya untuk praktik kerja lapangan (PKL) di tempatnya. Dosen itu meminta agar mahasiswanya ini harus bisa memperbaiki lampu. Dosen pun siap memberikan upah kepada dirinya per mahasiswa Rp 5 juta. Jadi total yang akan diberikan untuk lima mahasiswa sebesar Rp 25 juta. Namun setelah berpikir panjang, ia menolak. Ia takut jika mahasiswa ini nanti akan menularkan ilmunya ke yang lain. “Saya tidak mau gara-gara Rp 25 juta kita kehilangan pelanggan,” terangnya. (*/Lombok Pos)