Hanya Pesawat dan Kapal Laut yang Belum Pernah Dibikin

Getap, “Kampung Jepang” di Mataram Ciptakan Berbagai Inovasi dari Besi

ALAT PENGASAP IKAN. Risty, salah seorang pandai besi membuat alat pengasapan ikan dari drum bekas di lingkungan Getap, Kota Mataram, kemarin (11/4). Ivan/Lombok Pos
ALAT PENGASAP IKAN. Risty, salah seorang pandai besi membuat alat pengasapan ikan dari drum bekas di lingkungan Getap, Kota Mataram, kemarin (11/4). Ivan/Lombok Pos

Selama berabad-abad Getap melahirkan alat pertanian, transportasi, sampai senjata tempur. Tapi, tak satu pun yang pernah dipatenkan.

LALU MOHAMMAD ZAENUDIN, Mataram

eQuator.co.id – KAMPUNG itu bernama Getap. Bukan Getape, eh maaf Getafe, klub sepak bola di Spanyol. Di situ tak ada lapangan sepak bola. Dan, itu bukan masalah serius bagi warga setempat.

Sebab, sehari-hari hampir semua sibuk bergelut dengan besi. Mulai pagi hingga sore. Bahkan sampai larut malam.

Dari kampung yang terletak di Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, tersebut, dari dekade ke dekade, berbagai karya inovasi dari besi pun dilahirkan. Tak heran kalau kemudian Getap dijuluki “Kampung Jepang”. Merujuk pada daya kreasi yang jadi ciri khas warga Negeri Matahari Terbit tersebut.

“Hanya pesawat dan kapal laut yang belum pernah kami buat,” kata Muhammad Aiko Zulhimam kepada Lombok Post (Jawa Pos Group).

Aiko adalah satu di antara sekian banyak inovator yang ada di Getap. Hanya dengan modal kemauan keras dan keberanian mencoba, dia dan warga Getap yang lain bisa menciptakan banyak karya. “Kreativitas warga Getap ini bermula sejak pemerintahan Anak Agung (Gede Ngurah dari Kerajaan Karangasem),” kisah Aiko.

Sejarah mencatat, Pulau Lombok, tempat Mataram berada, dulu pernah menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Karangasem dari Bali. Sekitar abad ke-17. Persisnya pada 1740.

“Mereka pun membuat tata letak dan wilayah-wilayah bagian dari Kerajaan Karangasem di Lombok. Salah satunya dengan menjadikan Getap sebagai pusat pengolahan besi,” tutur alumnus IAIN Mataram tersebut.

Dan, itu bertahan hingga kini. Tanpa ada yang benar-benar menonjol yang menjadi tokoh di balik lahirnya Getap sebagai wilayah kerajian pengolahan besi. Sampai akhirnya, terjadi congah atau pemberontakan dari masyarakat suku Sasak yang menjadi penduduk asli Lombok. Meletuslah pertempuran sengit melawan pasukan Karangasem di mana-mana. Meski demikian, Getap tetap menjadi pusat pandai besi. “Bahkan, sampai akhirnya Jepang masuk dan memulai penjajahannya di Lombok,” jelasnya.

Abdul Muin, ayah Aiko, menambahkan, Jepang melihat potensi Getap menjadi pusat untuk memperkuat cengkeraman pengaruhnya. Pemerintahan kolonial Jepang kemudian banyak meminta masyarakat Getap membuat berbagai jenis alat pertanian. Guna mendukung penguatan dan peningkatan logistik pemerintahannya. “Termasuk pembuatan alat bajak sawah bergerigi dari besi,” tuturnya.

Sebelumnya, masyarakat menggunakan kayu untuk membajak sawah. Tetapi, pemerintahan kolonial Jepang meminta masyarakat Getap merancang sebuah alat yang lebih kukuh dari besi untuk membajak sawah. “Adalah Papuk (kakek, Red) Samsudin yang akhirnya berhasil menciptakan alat bajak sawah itu,” tutur Muin.

Sayang, meski sudah dipatenkan sebagai hasil karya Papuk Samsudin, anak cucunya di kemudian hari tak bisa menunjukkan bukti hak cipta itu. Mereka hanya mewarisi cerita secara turun-temurun.

Pemerintah kolonial Jepang juga memobilisasi warga Getap membuat roda cikar atau cidomo. Kereta kuda yang masih bertahan sampai kini di Mataram.

Dalam kurun waktu beratus-ratus tahun sejak masa kerajaan Anak Agung, sudah tak terhitung berbagai peralatan yang telah lahir dari tangan-tangan terampil di Getap. Bentuknya pun beragam. Mulai alat pertanian, alat-alat dapur, alat transportasi, hingga senjata tempur.

Dari masa ke masa, Getap terus menjawab segala kebutuhan yang diinginkan masyarakat dari bahan baku besi. “Termasuk alat penggelondong emas. Bahkan, sekelas perusahaan (tambang emas) seperti Newmont pernah memesan alat di sini,” timpal Aiko.

Ya, semua hal yang pernah dibuat dari besi, sepertinya, pernah dibuat di Getap. Kecuali, sebagaimana yang dibilang Aiko tadi, pesawat dan kapal laut. Itu pun untuk sekelas tangga pesawat sudah pernah pula dibikin di Getap. “Namanya H. Awardi, orang yang pernah buat tangga pesawat di sini,” tuturnya.

Getap terletak hanya sekitar 5 kilometer dari pusat pemerintahan Kota Mataram. Bisa dibilang masih jadi bagian dari jantung ibu kota NTB tersebut. Sebab, Cakranegara, kecamatan tempat Getap berada, menjadi pusat ekonomi Mataram.

Warga penduduk asli Getap, konon, masih memiliki pertalian dari Kerajaan Majapahit. Saat beberapa masyarakat Majapahit bermigrasi ke berbagai penjuru negeri, ada yang bergerak ke arah Buleleng, Bali.

Lalu, mereka memilih kembali menyeberang hingga tiba di wilayah Getap. “Nenek Moyang kami namanya Arya Pudak,” ujar Aiko.

Berbagai karya atau inovasi yang lahir di Getap tidak didasarkan pada proses perhitungan matematika atau eksakta yang rumit. Mereka lebih suka menalar saja alatnya seperti apa. Kemudian mulai bekerja. “Kalau keliru buat bagiannya, ya ganti lagi. Begitu berulang-ulang sampai akhirnya ketemu bentuk yang pas,” tuturnya.

Aiko mencontohkan karya terbarunya berupa insinerator ramah lingkungan. Idenya bermula ketika dia merokok di belakang kipas angin selepas makan siang. “Saya kok tiba-tiba tertarik melihat asap rokok yang tertarik oleh kipas angin itu,” ujarnya.

Kebetulan, sebelumnya Balitbang Kota Mataram baru saja menantang warga Getap untuk membuat alat yang bisa menangkap sisa pembakaran sampah. “Tapi, pikiran saya kembali buntu. Sebab, kalau asap itu sudah berhasil ditangkap, berikutnya mau diapain? Saya bingung,” ungkap sarjana strata satu lulusan IKIP Mataram itu.

Di waktu lain, Aiko kembali asyik merokok di dekat akuarium miliknya. Entah bagaimana, asap rokoknya terlihat merayap di permukaan air. Matanya lantas tercenung menatap sistem filter air di akuarium.

“Untungnya balitbang mau mem-back up proyek saya itu. Basic pengetahuan saya ekonomi. Saya tidak mengerti hitung-hitungan teknik,” katanya.

Jadilah, dalam pembuatan insinerator itu, Aiko beberapa kali membuat bagian dengan ukuran yang salah. Alhasil, dia sampai mengulang 3–4 kali. Memotong pelat berkali-kali. Begadang siang malam untuk menalar seperti apa bentuk komponen lainnya agar insinerator itu bisa bekerja seperti yang tergambar dalam imajinasinya.

Ada sekitar Rp30 juta yang dikeluarkan Balitbang untuk mendukung riset Aiko itu. “Syukurnya, mereka mau sabar dan percaya saya bisa menyelesaikan ini. Dan hasilnya, insinerator ramah lingkungan itu berhasil saya buat,” ujarnya.

Daya kreasi di Getap tak mengenal batas usia. Anak-anak SMA di sana, misalnya. Getap pernah membuat miniatur masjid hidrolik. Kubahnya bisa buka tutup. Menaranya pun bisa naik turun jika ada kabel yang harus dilewati. Misalnya, saat diarak pawai dalam takbiran.

Di pojok “Kampung Jepang” yang lain, ada Zuhdi, seniman pembuat senjata tajam turun-temurun. Kepada Lombok Post (Jawa Pos Group), dia memperlihatkan kreasi terbarunya yang terbuat dari baja putih. Tampak mengkilap meski diterpa cahaya remang-remang.

Papuk Zuhdi menamakannya “Allahu Rabbi”. Dinamakan begitu karena di tubuh pedang terdapat ukiran indah bertulisan Allahu Rabbi, Wamuhammadun Nabiyyi. “Pedang ini belum jadi,” kata Papuk Zuhdi.

Sayang, dari berbagai kreasi yang pernah dibuat masyarakat Getap, tak ada satu pun yang pernah berniat mematenkan karyanya. Itu terjadi karena mereka berprinsip Getap adalah laboratorium besar.

Tempat semua hal bisa dicoba untuk dibuat. Tapi, saat hasilnya memuaskan, bukan untuk diri sendiri. “Termasuk saya saat membuat insinerator yang bebas asap itu, tidak pernah berniat mematenkannya,” tegas Aiko.

Menurut dia, dirinya bersama warga Getap lainnya bisa inovatif karena darah “kreativitas” itu mengalir dari para leluhur. Yang telah mengabdikan dirinya bersama lempeng-lempeng besi sejak dahulu kala.

Jadilah sedari kecil anak-anak Getap sangat akrab dengan suara desing besi bertalu-talu yang dipukul. “Melihat bagaimana para orang tua membuat berbagai karya dari besi, itu yang akhirnya mendidik kami untuk lebih kreatif mengolah berbagai besi,” ujarnya.

Prinsip dasar kreativitas mereka adalah bagaimana membuat alat yang bisa bermanfaat bagi banyak orang. “Asal yang meminta siap dana dan bersabar dalam proses, kami siap berkutat secara kreatif. Tanpa batas,” tandas Aiko. (*/ Lombok Post)