eQuator.co.id – Guru adalah kunci pembuka bagi cakrawala pendidikan bagi murid-muridnya. Dalam UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik.
Guru senantiasa dihadapkan pada peningkatan kualitas pribadi dan sosialnya, sehingga dilahirkan peserta didik yang berbudi luhur, memiliki karakteristik sosial dan profesional. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan guru dengan karakteristik sebagai berikut, yaitu 1) guru hendaknya pandai, mempunyai wawasan luas, 2) guru harus selalu meningkatkan keilmuannya, 3) guru menyakini bahwa apa yang disampaikan itu benar dan bermanfaat, 4) guru hendaknya berpikir obyektif dalam menghadapi masalah, 5) guru hendaknya mempunyai dedikasi, motivasi, dan loyalitas, 6) guru harus bertanggung jawab terhadap kualitas dan kepribadiaan moral, 7) guru harus mampu mengubah sikap siswa yang berwatak manusiawi, 8) guru harus menjauhkan diri dari segala bentuk pamrih dan pujian, 9) guru harus mampu mengaktualisasikan materi yang disampaikannya, dan 10) guru hendaknya banyak inisiatif sesuai perkembangan jaman (Thoifuri, 2007).
Menjadi guru yang baik perlu membekali diri dan tidak pernah berhenti belajar, belajar dan belajar. Guru harus menjadi manusia pembelajar (Harefa, 2000). Manusia pembelajar adalah setiap orang (manusia) yang bersedia menerima tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting, yakni: pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial seperti: Siapakah aku ini?; Dari mana aku datang?; Kemanakah aku akan pergi?; Apa yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?; Kepada siapa aku percaya?; dan kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan sesuatu yang “bukan dirinya” (http://pembelajar.com/manusia-pembelajar, 17 Juni 2009).
“Menulis!”. Jawaban sebagian orang yang ditemui, “sulit itu, perlu waktu. Bingung harus mulai dari mana. Tidak ada ide, sehingga tidak tahu harus menulis apa”. Beberapa guru PNS golongan IVA terganjal menuju IVB, karena syaratnya harus membuat karya ilmiah. Pengalaman di atas sama dengan pengalaman June (Rose dan Nicoll, 2002). June yang berasal dari keluarga penulis. Kedua orang tuanya mencari nafkah dari menulis, ibunya adalah seorang penulis novel dan ayahnya adalah seorang dosen. Kakak laki-lakinya adalah seorang wartawan koran dan membanggakan kemampuan menulis di mana-mana saja, kapan saja di pesawat terbang, di tempat telepon umum, tak peduli betapa mendesak deadline-nya. Selama hidup June merasa terintimidasi oleh warisan penulisan ini.
Dari semua atribut keinginan agar guru berkualitas, profesional dan dapat membelajarkan siswanya, ada banyak hal yang harus dan terus-menerus dilakukan oleh guru adalah terus belajar. Bagaimana belajar itu? Salah satunya adalah guru harus menulis, karena dengan menulis maka guru telah membaca. Memang membaca, materi yang diserap oleh otak adalah 20 persen, tapi kalau meneruskannya dengan menulis, maka yang diingat dapat menjadi 90 persen, karena menulis berarti telah melakukan aktifitas membaca, mendengar, melihat, mengatakan, mengerjakan sekaligus (Rose dan Nicoll, 2002). Agar guru menjadi profesional dengan ciri-ciri guru kaya maka diperlukan 1M yaitu menulis dan 8 T yaitu 8 tahap proses membuat tulisan.
Apakah Arti Menulis?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), bahwa menulis memiliki empat pengertian, yaitu 1) membuat huruf (angka dan sebagainya) dengan pena (pensil, kapur dan sebagainya), 2) melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan, 3) menggambar atau melukis, 4) membatik pada kain.
Menurut Rudatan (2006), bahwa untuk menjadi penulis diperlukan daya tahan (adversity quotion) tinggi, yang berada pada level quitters pasti cepat menyerah sebagai penulis, paling tidak adalah pada level champers, dan alangkah baiknya adalah pada level climbers, sehingga tidak pernah berhenti menghasilkan tulisan. Jadi, menulis ialah kerja mental yang membutuhkan stamina yang kuat dan diperlukan daya tahan yang tinggi.
DePorter dan Hernacki (2003) menyatakan bahwa menulis adalah aktivitas seluruh otak yang menggunakan belahan otak kanan (emosional) dan belahan otak kiri (logika). Belahan otak kanan harus didahulukan. Belahan otak kanan adalah tempat munculnya gagasan-gagasan baru, gairah dan emosi. Sedangkan, otak kiri mengatur semangat, emosi dan spontanitas.
Bagaiamana Memulai Tulisan?
Disadari atau tidak disadari, kita adalah penulis. Kebiasaan ngerumpi tidak berbeda sama sekali dengan menulis. Menulis sifatnya berbicara yang bersifat pasif. DePorter dan Hernacki (2003), bahwa untuk memulai suatu tulisan, yaitu pengelompokkan (clustering) dan menulis cepat (fastwriting).
Pengelompokkan ialah suatu cara memilah pemikiran-pemikiran yang saling berkaitan dan menuangkannya di atas kertas secepatnya, tanpa memertimbangkan kebenaran atau nilainya. Untuk mengatasi hambatan-hambatan masalah lembaran kosong, menulis cepat memberikan kemajuan nyata dan langsung.
Menulis cepat dapat dilakukan melalui langkah berikut, yaitu pilihlah suatu topik, gunakan timer untuk jangka waktu tertentu, memulailah menulis secara kontinu walaupun tidak tahu apa yang harus ditulis, teruskan hingga waktu habis dan itulah saatnya berhenti. Saat menulis hindari hal berikut yaitu pengumpulan gagasan, pengaturan kalimat, pemeriksaan tata bahasa, pengulangan kembali, dan mencoret atau menghapus sesuatu.
Untuk mendapatkan ide untuk memulai menulis ada satu cara yaitu membaca koran atau majalah atau tabloit, mendengarkan radio, atau menonton berita di televisi. Besar atau kecilnya ide tidaklah menjadi masalah. Begitu ide muncul, langsung tulis. Jika tidak membawa catatan, ingat baik-baik dan katakan pada diri sendiri beberapa kali mengenai ide itu agar tidak lupa. Setelah jadi sebuah tulisan, baik atau buruk tulisan itu, jangan hiraukan, teruslah menulis. Jika terus dilakukan, lama kelamaan secara otomatis bawah sadar akan memunculkan ide-ide laian yang tidak akan pernah habis (Rudatan, 2006).
Rudatan juga menulis cara lain untuk memancing ide yaitu kata Ipoleksosbud. Itu adalah ide yang besar isinya. Ipoleksosbud singkatan dari kata ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Masalah-masalah aktual, misalnya pemerintah, hukum, kriminal, pendidikan, ketenagakerjaan, kewanitaan, mode atau kecantikan, dunia dapur dan masak memasak, serta tentang anak dan remaja. Ide lain juga dapat bersumber dari peringatan hari-hari besar dalam bulan dalam kalender masehi.
Tahap-tahap Menulis
Proses penulisan ini efektif untuk semua bentuk tulisan disampaikan DePorter dan Hernacki (2003) yaitu persiapan, draf kasar, berbagi, memperbaiki, penyuntingan, penulisan kembali dan evaluasi. Tahap persiapan berupa mengelompokkan dan menulis cepat. Pada tahap ini, telah dibangun suatu fondasi untuk topik yang berdasarkan pada pengetahuan, gagasan, dan pengalaman.
Tahap kedua, penyusunan draf kasar dengan menelusuri dan mengembangkan gagasan-gagasan anda. Pusatkan pada isi dari pada tanda baca, tata bahasa, atau ejaan.
Tahap ketiga, berbagi. Ini adalah tahap yang sangat penting. Menurut instruktur menulis, Michael Carr dalam DePorter dan Hernacki (2003) menyebutkan bahwa berbagi adalah bagian yang paling sering diabaikan. Berbagi dilakukan dengan cara meminta seorang rekan membaca draf tulisan dan diminta kepadanya untuk memberikan umpan balik.
Tahap keempat, memperbaiki (revisi). Dari umpan balik akan didapat tanggapan dari rekan setelah membaca draf tulisan Anda. Umpan balik dapat berupa masukan yang baik dan bagian mana yang perlu diperbaiki. Perlu diingat, bahwa anda adalah penulis, berarti anda membuat keputusan terakhir untuk mengambil atau mengabaikan umpan balik tersebut.
Tahap kelima, penyuntingan (editing). Tahap inilah yang paling berperan adalah otak kiri. Aktivitas yang terjadi pada tahap ini adalah memperbaiki semua kesalahan ejaan, tata bahasa dan tanda baca. Pastikan semua transisi berjalan mulus, penggunaan kata kerjanya tepat dan kalimat-kalimatnya lengkap.
Tahap keenam, yaitu penulisan kembali. Tulis kembali tulisan anda, masukkan isi yang baru dan perubahan-perubahan penyuntingan.
Tahap ketujuh, yaitu evaluasi. Untuk memastikan bahwa anda telah menyelesaikan apa yang anda rencanakan dan apa yang anda sampaikan. Walaupun ini merupakan proses yang terus berlangsung, tahap ini menandai akhir pemeriksaan.
Tahap kedelapan, yaitu melakukan publikasi tulisan. Trik yang dipakai pakai langkah ini adalah kirim saja tulisan anda. Ingat, tugas kita membuat tulisan dan mengirim, sedangkan masalah penerbitan hal itu urusan media massanya atau media cetaknya. Jangan menunggu dimuat baru anda membuat tulisan baru. Anda harus disiplin membuat tulisan setiap tiga hari sekali dan jangan lupa mengirim ke media massa atau tabloid atau majalah.
Media cetak berjumlah lebih dari 500 yang dengan senang hati mau membayar hononararium untuk tulisan-tulisan anda yang dimuat (Rudatan, 2005). Dalam konteks Kalimantan Barat, diantaranya, Pontianak Post, Rakyat Kalbar dan Kapuas Post, Tribun Pontianak. Sedangkan untuk media massa tingkat nasional antara lain Media Indonesia, Kompas, Republika, Suara Pembaruan, dan Koran Tempo.
Manfaat Menulis bagi Guru
Jika menulis sudah menjadi suatu kebiasaan, anda akan merasakan manfaat yang begitu dasyat. Apalagi kalau sudah pernah diterbitkan di koran atau majalah. Manfaat dari menulis yang bisa diperoleh oleh semua orang termasuk guru adalah terjadi peningkatan percaya diri, terasa koneksitas antara organ mulut dengan otak sebagai sumber kata-kata. Konsonan makin hari kian baik. Sehingga vokal dalam mengungkapkan ide dan gagasan serta pembelajaran di kelas makin berkualitas, dikenal, dan tentu penghasilan tambahan.
Seorang guru memang telah memiliki rasa percaya diri, tapi kalau telah mahir menulis dan menulis lagi, rasa percaya diri itu akan makin tinggi dan juga makin santun. Koneksitas antara otak yang memerintah untuk mengatakan vokal dengan mulut (beserta lidahnya) mengatur konsonan. Dengan demikian, proses pembelajaran juga makin berkulitas. Dampak lain lagi, tulisan yang dimuat di surat kabar menjadi juru bicara untuk mengenalkan kita sebagai penulis sehingga orang lain menjadi tahu siapa dan bagaimana kita.
Terakhir, apabila tulisan dimuat di koran atau majalah, tentu koran atau majalah memberikan insentif yang bagi kita sendiri itu adalah penghasilan tambahan. Tetapi, manfaat terakhir ini bukanlah tujuan dari kita menulis, karena tujuan sesungguhnya dari kita menulis adalah terjadi pengembangan diri seorang guru yang diharapkan berdampak pada proses pembelajaran di kelas dan interaksi kita dengan murid, rekan kerja atau masyarakat luas. Serta diharapkan dapat meningkatkan kualitas manusia Indonesia.
Penutup
Menulis merupakan kerja mental yang dilakukan secara sengaja untuk mencurahkan ide atau gagasan dalam bentuk tulisan. Menulis juga adalah aktivitas seluruh otak yang menggunakan belahan otak kanan (emosional) dan belahan otak kiri (logika). Jika guru melakukannya terus menerus, proses pendampingan terhadap anak didiknya di kelas semakin berkualitas.
Kita perlu bahwa setiap dari diri kita adalah penulis. Hal ini dapat dirasakan dari kebiasaan kita berbicara satu dengan lain (ngerumpi) dalam interaksi kehidupan sehari-hari. Jika ingin menjadi guru yang kaya dengan ide-ide atau gagasan, membelajarkan murid menjadi menyenangkan, maka guru memerlukan 1M dan 8T. Mulailah menulis, lalu menulis, dan menulis lagi tanpa berhenti. Mudah-mudahan!.
*Humas, Guru SMP dan SMA Asisi Pontianak
*Tulisan ini pernah dikirim dalam Lomba Penulisan Artikel Bagi Guru Se-Kalimantan Barat dengan penyelenggara LP3 SDM Kalbar pada bulan Nopember 200.