eQuator.co.id – Pontianak-RK. Guru mengabdi demi mencerdaskan masyarakat, terutama generasi penerus bangsa. Wajar saja jika peran pahlawan tanpa tanda jasa itu vital. Sayang, saking pentingnya keberadaan guru, mereka rentan dimanfaatkan demi kepentingan pribadi orang-orang tertentu yang berkecimpung di politik.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kalbar, Prof. Dr. H. Samion H. AR menyatakan, pengurus organisasi yang dia pimpin tersebut dilarang berpolitik praktis. “Makanya, saya berharap teman-teman yang membawa nama PGRI diklarifikasi. Kalau untuk pribadi, itu tak apa, karena semua orang kan jelas punya hak pilih dan dipilih,” ujarnya kepada Rakyat Kalbar, Rabu (29/3).
Organisasinya tidak bisa membatasi hak-hak asasi manusia. Menurut dia, toh PGRI selalu berada di tengah alias netral. Artinya akan mendukung siapa saja yang berniat maju sebagai kepala daerah.
“Dukungan, secara pribadi, masing-masing (anggota) kepada calon yang betul-betul berjuang untuk kepentingan pendidikan,” tutur Samion.
Dalam hal ini, tentu saja, setiap calon pemimpin baru harus membuktikan diri dengan track record yang telah dicapainya selama ini. Jangan sampai, ketika hendak mencalonkan diri, barulah menyatakan akan membela kepentingan dan hak-hak guru.
“Saya kira kawan-kawan PGRI jangan sampai terjebak, itu yang penting. Tapi, saya tekankan sekali lagi, PGRI itu netral,” tegasnya.
Imbuh dia, “Kalau oknum anggota saya kira itu hak masing-masing. Yang jadi masalah kan jangan sampai mereka membawa-bawa nama organisasi, karena sudah jelas dalam peraturan organisai itu PGRI tidak berpolitik praktis”.
Setakat ini, jumlah anggota PGRI di Kalbar mencapai lebih kurang 50 ribu guru yang terdata dari 14 kabupaten/kota. Jika ada pengurus PGRI yang terbukti berpolitik praktis, pengurus tersebut akan diproses sesuai ketentuan organisasi.
“Itu risiko dia. Kita kan ada rapat pleno untuk membahas jika terdapat pengurus PGRI yang ikut mengurus partai. Dia harus milih salah satu, mau jadi pengurus partai atau PGRI,” papar Samion. Untuk saat ini, ia menambahkan, belum ada laporan anggota PGRI Kalbar yang terlibat dalam politik praktis.
Kepada mereka yang berambisi menjadi kepala daerah, Samion meminta berkomitmen untuk memajukan dunia pendidikan Kalbar. “Asal dia komitmen dan dibuktikan dengan track record yang bagus, dia pasti didukung oleh guru secara perorangan,” pungkasnya.
Senada, pakar pendidikan Kalbar, Dr. H. Martono. Ia menyatakan sudah jelas ada regulasi yang mengatur bahwa pegawai negeri sipil atau sekarang disebut aparatur sipil negara tidak boleh berpolitik praktis.
“Ada itu dalam perundang-undangan. Nomor 53 tahun 2010 bahwa semua pegawai negeri tidak diperkenankan untuk ikut andil di kegiatan politik praktis, termasuk diantaranya guru”, tutur Dekan Fakultas Ilmu Keguruan (FKIP) Universitas Tanjungpura itu, di kantornya, Jalan Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Rabu (29/3).
Hal ini, tentu saja, menjadi tugas KPU dan Bawaslu dalam memantau dan mencegahnya. Guru tetap memiliki hak politik untuk memilih tapi bukan berarti bebas untuk ikut berkampanye dan turut dalam aktivitas politik praktis lainnya.
Bila ditemukan di lapangan ada guru atau PNS/ASN yang ikut berpolitik, hal itu bisa saja diperkarakan. Bila ada pihak yang melapor.
Terkait tingkat Golput yang cukup tinggi dalam Pilkada, Martono bahkan menyarankan para guru tidak melakukan penyuluhan tanpa ada kerja sama dengan KPU. Dosen di fakultasnya sendiri juga tidak diperkenankan melakukan kegiatan politik dalam bentuk apapun.
“Sekalipun itu hanya untuk sosialisasi atau penyuluhan pemilihan,” jelasnya.
Meski ada kekhawatiran guru digunakan sebagai alat politik, ia meyakini bahwa kolega tenaga pengajarnya di mana saja mengerti soal kemungkinan mereka dipolitisir. “Guru paling tidak harus netral, tetap memilih. Dan semoga yang dipilih mampu memberikan program yang baik untuk dunia pendidikan,” harapnya.
Sependapat, tenaga pengajar bahasa Inggris di SMAN 1 Sungai Raya, Kubu Raya, Jumadi. Pria yang juga merangkap sebagai Tata Usaha (TU) itu menuturkan, jikalau menjadi simpatisan dalam artian memiliki hak pilih memang tidak menjadi masalah. Akan tetapi jika sampai menjadi tim sukses dan berkampanye tentu tidak diperbolehkan.
Meski begitu, menurut dia, terkadang para politisi sangat pintar dalam mengolah situasi untuk memanfaatkan guru demi kepentingan mereka. Ada saat ketika guru diundang ke sebuah acara yang bertemakan pendidikan seperti simposium atau workshop dan sebagainya. Namun, ternyata, ketika acara itu berlangsung, ada kampanye tersembunyi yang dilakukan oleh penyelenggara.
“Oknum-oknum ini memang tahu betul bahwa selain jumlah guru banyak, massanya juga banyak. Apalagi guru SMA yang muridnya sudah memiliki hak pilih untuk pertama kalinya,” beber Jumadi.
Ia merasa saat ini belum ada tindakan penyuluhan agar guru mampu bersikap netral. Atau upaya antisipasi aksi mempolitisir guru yang dilakukan pihak tertentu.
“Coba pihak yang terkait seperti KPU sekali-kali mengumpulkan guru-guru yang ada untuk memberikan kiat-kiat menghadapi adanya tindakan politisir terhadap kami,” pintanya.
PGRI di wilayah Kalbar saja jumlahnya sudah puluhan ribu anggota. Itu memang sangat rentan untuk dimanfaatkan para pelaku politik.
“Tapi guru itu cerdas kok. Meskipun ada tindakan politisir dari oknum tertentu, mereka tidak akan semudah itu langsung terpengaruh. Apalagi di SMA, semua gurunya kan sarjana yang punya intelegensi,” jelas Jumadi.
Terkait murid SMA yang sudah duduk di bangku kelas tiga atau sudah berumur 17 tahun, yang akan menjadi calon pemilih pertama dalam Pilkada, lanjut dia, sudah mendapat sosialisasi dari KPU setempat. Tujuannya mengurangi angka golput.
Di semua SMA, selain di SMAN 1 Sungai Raya sendiri, Jumadi meyakini dalam rangka pengenalan hak pilih, pihak sekolah telah menerapkannya. “Dalam bentuk pemilihan ketua OSIS yang serupa dengan Pilkada,” terangnya.
Mekanismenya antara lain kampanye di kelas, pembuatan baliho, sampai penggunaan kotak suara yang dipinjam dari KPUD Kubu Raya. “Yah mereka kan memilih OSIS untuk mereka sendiri, dan mereka senang. Ada gambar masing-masing calon OSIS serta visi misinya. Secara gak langsung ini jadi simulasi lah, biar nanti pas pilkada mereka tidak kaget dengan mekanismenya,” papar Jumadi.
Ia menambahkan, “Kita sebagai guru dan abdi masyarakat di dunia pendidikan sudah paham betul lah terkait kapasitas dan independensi dalam berpolitik. Kami khususnya tenaga pengajar di SMA Negeri 1 Sungai Raya pasti mengantisipasi adanya tindakan politisir dari oknum tertentu”.
MINTA PEMIMPIN YANG
TAKUT DENGAN TUHAN
Pilkada sendiri tentu saja akan berpengaruh terhadap pelajar SMA yang kini duduk di bangku kelas tiga dan sudah memilik hak pilih pertama. Murid di SMA Negeri 1 Sungai Raya memang kebanyakan sudah mengetahui tentang adanya pilkada dan hak mereka untuk memilih.
Namun ada juga yang masih belum mengetahuinya. Seperti Tioma Tambunan. Murid kelas tiga jurusan IPA itu tidak mengetahui adanya Pilkada maupun hak pilih yang ia miliki.
“Baru tau tadi pas ditanya (wartawan), kayaknya perlu ada sosialisasi tentang pemilihan,” tuturnya.
Berbeda dengan Velyn Clarithya Sianipar. Gadis yang juga duduk di bangku kelas tiga jurusan IPA ini mengaku sudah mengetahui tentang hak pilih di pilkada dan mekanisme pemilihannya.
“Itu kan hak pilih kita yang sudah diatur undang-undang karena umur kita sudah 17 tahun. Jangan sampai hak pilih kita tuh diambil orang lain,” tegas dia.
Rekannya, Tiur Mauli Octana Saragi, juga mengungkapkan harus ikut memilih supaya bisa menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin. “Jadi bisa tahu pemimpin di masa depan kita itu siapa,” terangnya.
Pelajar lainnya, Paulina Agustina Mokoni menambahkan, sudah mengetahui tentang hak pilihnya sebagai warga negara. “Kita harus ikut memilih supaya suara kita tidak disalahgunakan,” tegasnya.
Mereka berempat mengungkapkan hal senada mengenai kriteria pemimpin yang akan dipilih. Yaitu jujur, takut akan Tuhan.
“Kalau dia (calon) takut Tuhan, kan pasti jujur tuh, bertanggung jawab, melayani dengan hati yang tulus sesuai pekerjaannya,” lebih kurang begitu pendapat mereka.
Laporan: Rizka Nanda, IGK Yudha Dharma
Editor: Mohamad iQbaL