Gunakan Krokot, Mahasiswa UNY Ciptakan Krim Wajah Antiaging

Tangkal Radikal Bebas Gara-gara Polusi dan Terpaan Sinar Matahari

INOVATIF: Kiri ke kanan: Silviana Nugraheni, Ratna Puji Rahayu, Aulawi Nulad Utami, dan Ranum Wanudya Yunas. Inzet: Krokot alias Portulaca Oleracea L. Radar Jogja Photo

Gulma yang satu ini ternyata kaya antioksidan. Bahkan bisa dimanfaatkan sebagai obat herbal antiinflamasi. Tanaman ini biasanya tumbuh liar. Orang Jawa menyebutnya krokot.

SEVTIA EKA NOVARITA, Sleman

eQuator.co.id – PORTULACA Oleracea L. Itulah nama latin krokot. Tumbuh di daerah berpasir maupun tanah liat. Krokot mampu beradaptasi meski di lahan kurang air sekalipun. Penasaran dengan krokot yang hampir tak ada yang memanfaatkannya, empat mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini pun berinisiatif menelitinya.

Mereka adalah Silviana Nugraheni, Ranum Wanudya Yunas, Ratna Puji Rahayu, dan Aulawi Nulad Utami. Hasil penelitian mereka cukup mencengangkan. Krokot ternyata bisa menjadi bahan kosmetik herbal.

Krokot mengandung saponin, tanin, alkaloid, flavanoid, dan terpenoid. Kelima unsur itu tak hanya kaya  antioksidan. Khususnya untuk kesehatan kulit wajah. Tapi juga bermanfaat sebagai antibakteri dan antiinflamasi. Krokot juga mengandung antioksidan tinggi seperti vitamin A dan C, serta Alpha tocopherol dan Beta caroten. Unsur-unsur yang berguna sebagai bahan kosmetik. Berwujud krim.

Mengetahui kandungan alami krokot, keempat mahasiswi itu pun makin semangat. Apalagi dewasa ini kosmetik dengan bahan alam atau green cosmetic kian digandrungi masyarakat. Khususnya kaum Hawa.

Antioksidan dalam tumbuhan krokot sanat bermanfaat bagi tubuh manusia. Di antaranya, untuk peremajaan kulit, penangkal radikal bebas, pencegah kanker, mengurangi jerawat, hingga meningkatkan kolagen, dan antiaging. Sehingga kulit menjadi cerah dan ternutrisi.

Dengan harga yang terjangkau dibandingkan produk antiaging lainnya, kosmetik herbal berbahan ekstrak krokot belum tersedia di pasaran. “Ini potensial untuk dikembangkan sebagai produk dengan tanaman khas Indonesia,” ujar Silviana kepada Radar Jogja kemarin (30/7).

Tak sulit bagi peneliti muda itu untuk menemukan bahan baku kosmetik alami itu. Mereka mendapat pasokan krokot dari ibu-ibu kelompok tani di Dusun Blendangan, Krikilan, Tegaltirto, Berbah, Sleman.

Di tangan mereka, krokot menjadi komoditas yang bernilai jual. Tentu saja setelah diekstrak menjadi kosmetik.

Cara pembuatannya cukup mudah dan sederhana. Hanya butuh waktu 2-3 jam. Namun, proses ekstraksinya yang cukup lama. Sekitar tiga hari.

Krokot dicuci bersih. Ditiriskan. Lalu di-blender. Kemudian direndam dengan etanol selama 24 jam. Wadah perendaman ditutup aluminium foil. Proses itu akan menghasilkan filtrat dan residu satu. Hasil residu satu kemudian disaring dan direndam lagi dengan etanol. Selama 24 jam lagi. Wadahnya ditutup aluminium foil lagi. Agar menghasilkan filtrat dan residu dua.

Selanjutnya, filtrat 1 dan 2 dicampur dan diuapkan menggunakan rotary evaporator. Hasilnya berupa ekstrak kental.

Pembuatan ekstrak krokot dibagi dua fase. Yaitu fase air dan fase minyak. Fase air membutuhkan setil alkohol, adeps lanae, parafin cair, dan asam stearat ditambah propil paraben 700. Sedangkan fase minyak,  metil paraben dilarutkan dalam air panas, lalu ditambahkan gliserin dan trietanolamin. Fase minyak dan fase air kemudian dicampur dan diaduk selama 3 menit. Lantas didiamkan selama 20 menit.

Kemudian diaduk lagi sambil ditambah esktrak etanol krokot. Selesai. Krim wajah siap digunakan. “Campuran virgin coconut oil (VCO) dalam krim itu membuat kulit terasa lembab dan ternutrisi,” katanya.

Agar menarik minat konsumen, krim ekstrak krokot dikemas praktis. Menggunakan pot kemasan 20 gram. Kemudian dikemas lagi dengan kotak kertas agar tampak lebih menarik. “Krim wajah ini baik digunakan bagi perempuan usia 20 tahun atau lebih,” kata Silviana. ” Produk itu mampu bertahan selama satu tahun jika disimpan di tempat dengan suhu ruangan yang baik,” sambungnya.

Tentang manfaatnya, Silviana meyakini, krim wajah buatannya mampu menangkal radikal bebas akibat polusi dan paparan sinar matahari. (Radar Jogja/JPG)