eQuator.co.id – ”Kami mau bikin Najib (PM Malaysia Najib Razak,red) tumbang”. Kalimat itu terlontar dari mulut Daud bin Yaccob dengan setengah berbisik.
Lelaki 60-an tahun itu mengatakan, dua periode kepemimpinan sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kepadanya bahwa pemimpin 64 tahun tersebut gagal membuat rakyat lebih sejahtera. GST (goods and services tax) atau pajak barang dan jasa yang berlaku sejak April 2015 membuat rakyat menjerit.
Daud mengaku tak sabar hendak memberikan suaranya hari ini (9/5). Untuk siapa? ”Anda tahu Tun Mahathir? Dia pernah menjadi perdana menteri kami. Sekarang, saya ingin dia memimpin lagi,” katanya kepada Jawa Pos di kawasan KL Sentral Senin (7/5).
Bagi pria yang menjadikan peci sebagai aksesoris wajibnya itu, di sisi manapun Mahathir berada bukan masalah. Siapa saja yang berkoalisi dengan tokoh 92 tahun itu juga bukan masalah. Yang penting, dia memberikan suara untuk Mahathir.
Faktor Mahathir memang sangat mempengaruhi pilihan para pemilih Malaysia. Politikus senior yang kali ini maju sebagai kandidat dari Pulau Langkawi itu begitu disukai. Bukan hanya kalangan tua yang pernah merasakan kepemimpinannya, tapi juga generasi muda.
Mereka yang masih kanak-kanak ketika Mahathir meninggalkan kursi PM pada 2003 pun banyak yang bersimpati kepadanya. Rata-rata, mereka mengenal Mahathir dari sosial media.
Lepas dari siapa yang akan memenangkan pemilihan umum (pemilu) alias General Election 14 (GE14) atau Pilihan Raya Umum 14 (PRU 14), antusiasme warga tinggi. ”Jangan lupa besok mengundi ya,” kata Lim Kiang Eng, sopir Grab yang Jawa Pos tumpangi kemarin (8/5).
Pria 40 tahun itu kemudian mengatakan bahwa dia tidak akan menyia-nyiakan hari pemungutan suara. Dia juga yakin, penduduk Kuala Lumpur akan menggunakan hak pilih mereka.
Jika di KL minat warga untuk memberikan suara mereka tinggi, tidak demikian dengan beberapa warga Petaling Jaya. “Jika dulu kami bisa memilih di dekat tempat tinggal kami, sekarang tidak lagi. Ada aturan baru yang membuat kami harus memberikan suara di tempat yang bisa jadi jauh dari rumah,” kata Dobby Chew, project coordinator Suaram, saat ditemui Jawa Pos, di kantor pusatnya, di Jalan Sungai Jernih kemarin.
Dua kawan Dobby membenarkan hal tersebut. Kendati demikian, sebagai aktivis yang menginginkan Malaysia menjadi negara yang lebih baik, mereka bertekad menggunakan hak suara masing-masing. Setelah itu, mereka akan kembali bekerja.
”Lepas mengundi, kantor kami ini buka lagi. sebab, lepas mengundi itu biasanya kami sibuk menerima laporan tentang kesewenangan petugas atau polisi,” lanjut Dobby.
Hari ini, ibu kota Malaysia akan lebih sepi ketimbang hari-hari biasa. Apalagi, pada jam pemungutan suara mulai pukul 08.00 sampai pukul 17.00 waktu setempat. Sejak kemarin pun, kesepian sudah terasa.
Di Petaling Jaya, misalnya. Para tenant Pusat Perniagaan 8 Avenue dan Tropicana Merchant Square banyak yang tutup. Yang buka hanya hotel, rumah makan, kantor layanan hukum dan biro konsultasi. Tidak sampai 5 persen yang buka.
Bahkan, markas Parti Keadilan Rakyat (PKR) di Jalan Tropicana juga tutup. ”Kami tutup lah. Semua balik kampung. Mengundi,” kata Anthony, petugas keamanan di kantor yang marak dihiasi bendera PKR tersebut.
Dia sendiri akan tetap berjaga di sana. Sebab, dia adalah pendatang yang tak punya hak suara. Kantor yang pada bagian depannya memajang foto Anwar Ibrahim itu, menurut dia, baru akan buka lagi pada Kamis besok (10/5).
Senin, Jawa Pos juga sempat mendatangi kantor utama Partai Islam se-Malaysia alias PAS di Jalan Raja Laut. Kantor yang megah dan semarak dengan bendera-bendera berwarna hijau itu juga tidak buka. Ada tulisan yang berbunyi, ”Pejabat cuti 7/5 – 10/5. Dibuka semula (buka lagi) 11/5”.
Namun, hari itu, masih banyak kantor dan pertokoan yang buka seperti biasa. Khususnya, di kawasan Chow Kit, tempat markas PAS berada. Senin, suasananya masih jauh lebih ramai ketimbang kemarin.
PRU 14 memang istimewa. Wajar jika gaungnya berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Syafii Anwar, dosen asal Indonesia yang mengajar di Universiti Utara Malaysia (UUM) Kedah, mengatakan bahwa kali ini kampanye nyaris tidak diwarnai arak-arakan. Setidaknya, itu yang tergambar di Kedah.
”PRU 13 pada 2013 lalu saya juga sudah ada di sini (Kedah). Saat itu, ramai arak-arakan BN di sini,” katanya melalui sambungan telepon.
Kini, zaman sudah berganti. Kampanye bisa menjadi jauh lebih efektif jika disampaikan di dunia maya. Tepatnya, sosial media. Satu isu dilempar, puluhan bahkan ratusan netizen akan menyahut.
Maka, tidak heran jika media-media Malaysia menyebut gaya kampanye PRU 14 kali ini sebagai kampanye WhatsApp. Di Malaysia, WhatsApp menjadi media kedua yang paling banyak digunakan untuk kampanye setelah Facebook.
Publik Malaysia bisa saja adem ayem di dunia nyata. Mereka pelit bicara politik. Tapi, di dunia maya, PRU 14 menjadi topik panas. Netizen ramai membahas percaturan politik, indikasi kecurangan bahkan prediksi pemenang.
Sama ramainya dengan jalanan Kuala Lumpur yang berhias atribut berbagai partai. Biru muda dan merah, biru tua dengan gambar timbangan, hijau dengan bulatan putih di tengah atau bendera merah bertulisan Pakatan Harapan.
Panasnya perdebatan dan perbincangan tentang PRU 14 itu juga menjadi indikasi tingginya minat generasi muda Malaysia terhadap politik. Itu seolah menegaskan jajak pendapat sejumlah lembaga survei yang menyebut generasi muda Malaysia tidak peduli pada PRU 14.
Ilham Centre, lembaga survei politik Kuala Lumpur, menyatakan bahwa sebagian besar pemilih sudah tahu apa yang hendak mereka pilih. ”Mereka hanya tinggal menunggu hari H,” ungkap Hisommudin Bakar.
Bisa jadi prediksi Ilham Centre itu benar. Seorang pegawai di kawasan Bukit Gasing mengatakan bahwa dia grogi menjelang 9 Mei. Tapi, bukan karena dia takut salah pilih.
”Lebih pada perasaan bahwa kita sudah sedekat ini dengan perubahan. Akankah perubahan itu terjadi atau tidak, besok (hari ini) penentuannya. That’s why I’m nervous,” kata perempuan paro baya tersebut.
TAK BERPENGARUH
BESAR BAGI INDONESIA
Dari Indonesia, pengamat luar negeri sekaligus dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Padjajaran (Unpad), Teuku Rezasyah, mengatakan pemilu Malaysia tahun ini terasa sangat tegang. “Dan resikonya sangat besar. Siapapun yang terpilih (sebagai perdana menteri, Red),’’ katanya saat dihubungi kemarin (8/5).
Rezasyah mengatakan pemilu yang berlangsung hari ini (9/5) adalah pemilihan parlemen. Setelah itu para anggota parlemen akan memilih perdana menteri. Apakah nanti yang menang adalah incumbent Najib Tun Abdul Razak ataukah ’’si penantang’’ Tun Mahatir Mohamad, menurut dia sama-sama ada resikonya.
Jika nanti yang terpilih menjadi perdana menteri adalah Najib, maka skandal 1Malaysia Development Berhad akan terus memanas. Sebab, menurut Rezasyah, sampai saat ini kasus tersebut belum tuntas. Dan bisa mencuat kembali jika Najib duduk kembali sebagai perdana menteri.
Selain itu, jika Najib menang, maka dia harus membayar hutang dukungan dari etnis Tiongkok dan etnis India yang ada di Malaysia. Sebab ada indikasi suara anggota parlemen dari dua etnis tersebut mengalir untuk Najib.
Adanya ’’saham’’ dukungan dari etnis Tiongkok dan etnis India tersebut, membuat Najib harus mengakomodir mereka. Apakah itu menunjuk sebagai menteri, menteri senior, atau posisi strategis lainnya.
“Kalau mintanya wakil perdana menteri mungkin terlalu tinggi,’’ jelas Rezasyah.
Selanjutnya, ketika nanti yang terpilih adalah Mahathir, menurut dia, ada kendala soal usia. Saat ini usia Mahathir sudah mencapai 92 tahun. Sehingga kalau memimpin pemerintahan, pasti ada kendala-kendala terkait kesehatannya. Dia khawatir kalau Mahatir terpilih sebagai perdana menteri, ia hanya jadi pemimpin tansisional saja.
Rezasyah mencoba mengurai alasan Mahathir maju kembali menjadi kandidat perdana menteri, meskipun usainya tidak jauh dari seabad. Diantaranya adalah merasa kecewa karena dia nilai Malaysia saat ini morat-marit.
“Sebagai seorang negarawan, Mahathir merasa terpanggil untuk maju kembali,’’ jelasnya.
Menurut dia, Mahathir merupakan anak ideologis dari Tun Abdul Razak, orangtua dari Najib. “Sedangkan Najib dinilai sebagai anak biologis dari Tun Abdul Razak,’’ katanya.
Mahathir merasa kecewa karena jiwa kenegarawanan Tun Abdul Razak tidak mengalir ke Najib. Adanya dugaan skandal atau korupsi yang mendera Najib memperdalam rasa kecewa itu. Mahathir menilai, secara manajemen, Najib tidak mampu mengelola masa depan Malaysia.
Sementara untuk dalam negeri Indonesia, Rezasyah menilai tidak ada hubungan atau keterkaitan langsung. Baginya pemilihan parlemen hingga nanti perdana menteri di Malaysia adalah kegiatan politik dalam negeri rutin negeri jiran itu. Siapapun yang terpilih nanti, konsentrasi utamanya adalah menata kondisi dalam negeri Malaysia. (Jawa Pos/JPG)