Gereja Bar

Oleh: Dahlan Iskan

RESTORAN. Di ruang makan Stadion Liverpool sebelum memasuki stadion. DISWAY PHOTO

eQuator.co.id – Sudah jam 11.30. Satu jam lagi pertandingan dimulai. Saya pun masuk pintu C —yang tiketnya seharga Rp 6 juta itu. Tiket saya diperiksa. Ok.

Saya diminta naik lift ke lantai 2. Di lobi lantai 2 saya diarahkan ke belok kiri. Sesuai dengan kode di karcis. Di situ saya dipasangi gelang hijau. Bertuliskan hari pertandingan dan tim yang bertanding.

“Meja No 23,” tulis wanita muda di konter lobi itu.

Ternyata saya ini belum masuk stadion. Harus masuk ruang makan dulu.

Ruang makan itu ditata persis seperti restoran. Tiap meja diisi 4 kursi. Saya di meja 23. Bersama satu keluarga dari Liverpool: bapak-istri-anak yang masih kecil.

Makanannya disajikan prasmanan. Ada steak, burger, sandwich, kentang, dan banyak lagi. Minumannya lengkap: wine, bir, minuman ringan, teh, dan kopi.

Saya sudah terlanjur kenyang dengan toast berkeju tadi. Belakangan saya menyesal kok tidak mencicipi sama sekali makanan itu. Kan harus tahu kualitas rasanya. Tapi bayangan saya jelas: tidak mungkin ada yang bisa mengalahkan toast berkeju di bar gereja itu.

“Saya tidak makan. Bolehkah saya langsung ke dalam stadion?” tanya saya.

“Pintunya baru dibuka setengah jam lagi,” jawab petugas resto.

Tapi saya tetap tidak akan makan dan minum. Akhirnya saya boleh langsung ke stadion. Saya harus ke lantai 4. Tempat duduk saya di level 2. Di barisan ke dua. Enak sekali. Menghadap ke tempat pemain keluar ke lapangan. Saya bisa melihat kedua pelatih.

Sebelah kanan saya orang Mesir. Pengacara. Tidak henti hentinya merekam video. Saya bantu ia merekam video dirinya —sekedar alasan agar saya juga bisa dibantu mereka video.

Kanan saya satu keluarga dari Liverpool. Rumahnya 25 km di selatan stadion.

Tempat duduk di stadion sepak bola Inggris beda: sangat dekat ke lapangan. Barisan penonton paling depan paling hanya tiga meter dari lapangan.

Stadion di sana memang khusus hanya untuk sepak bola. Tidak harus ada trek yang melingkar itu. Yang biasanya untuk lomba lari itu.

Selebihnya Anda sudah tahu: kapasitas stadion ini 50 ribu tempat duduk. Dulunya mau pindah. Dianggap kurang besar. Pemda Liverpool sudah setuju menyediakan lokasi.

Tapi akhirnya pilih membangun tambahan saja. Biayanya cukup Rp 2 triliun. Daripada membangun stadion baru yang  Rp 5 triliun.

Liverpool di mata saya adalah hasil sukses dari sebuah sakit hati. Jangan lupa: banyak orang sukses dengan dorongan sakit hati seperti itu.

Misalnya akibat konflik —dengan teman, keluarga, atau pun partner. Pun karena pernah dihina. Sakit hati itu dipakai sebagai dorongan untuk mengalahkan mantan rivalnya.

Pun di Liverpool. Di Kecamatan Everton ini. Sebelum ada klub Liverpool di kecamatan ini sudah ada klub Everton. Yang didirikan tahun 1888.

Klub Everton menyewa lapangan ke John Houlding. Sewa menyewa itu berakhir dengan sengketa.

Everton tidak mau lagi pakai lapangan John. Membangun stadion sendiri.

John pun sakit hati. Mendirikan Liverpool FC. Di tahun 1892. Juga membangun stadion sendiri. Masih di Kecamatan Everton. Hanya berjarak sekitar 1 km dari stadion Everton.

Liverpool lebih sukses. Tapi klub Everton masih tetap jaya.

Itulah persaingan abadi. Pun setelah pemilik dua klub itu berganti.

Sakit hati rupanya bisa diregenerasi. Kalau Liverpool lagi bertanding lawan Everton masih terbawa —sakit hati yang sudah berumur 127 tahun itu. (DIS)