eQuator.co.id – Saya tidak pilih-pilih taksi. Kali ini dapat taksi bising. Suara mesinnya keras. Suara tit tit tit-nya tidak kunjung berhenti.
Oh… Sopirnya gemuk sekali. Tidak bisa memasang sabuk pengaman. Lingkaran perutnya terlalu besar.
Saat taksi sudah hampir keluar Bandara Cengkareng saya tidak tahan bising itu. Tit tit tit itu.
Saya raihlah sabuk pengaman di dekat jendela itu. Dari arah tempat duduk belakang.
“Tolong badannya maju dikit,” pinta saya ke sopir itu.
Sabuk pengaman itu saya susupkan di belakang punggungnya. Lalu saya tancapkan gespernya ke lubang pasangannya. Bising tit tit tit pun hilang.
“Apakah selalu tidak pasang sabuk pengaman seperti tadi? tanya saya.
“Iya pak. Tidak cukup,” jawabnya.
“Apakah penumpang tidak mengeluh bising?” tanya saya.
“Tidak ada pak,” jawabnya.
Nama sopir Mansyur.
Umur: 49 tahun.
Asal: Rangkasbitung, Banten.
Berat badan: yang sekarang atau dulu?
“Sekarang berat badan saya 120 kg pak,” jawabnya.
“Dulu berapa?” “Seratus empat puluh enam kilogram pak,” jawabnya.
Selama enam bulan terakhir berat badan Mansyur turun 26 kg.
Hebat sekali.
“Yang hebat istri saya pak,” katanya.
Sang istri-lah yang terus merayunya. Agar mau ke dokter.
Istrinya juga asli Rangkasbitung. Penjaga toko di mall dekat Taman Anggrek lakarta. Anak dua. Laki-perempuan. Semua sekolah di Rangkasbitung.
Sang istri sampai berhenti bekerja. Menemani suaminya. Yang juga berhenti bekerja. Sebagai sopir taksi Express.
Mereka pulang ke Rangkasbitung. Sang suaml sudah tidak berdaya.
Jangankan nyopir taksi. Duduk pun sudah tidak bisa. Hanya berbaring. Itu pun telentang. Tidak bisa lagi miring.
Itulah yang tergambar. Saat berat badannya mencapai 146 kg. Dengan tinggi badan hanya 160-an centimeter.
Dokter Rangkasbitung-lah yang hebat. Mampu membuat Mansyur insaf.
“Kata-kata dokter yang mana yang membuat Pak Mansyur takut,” tanya saya.
“Kalau berat badan tidak turun jantung akan terbungkus lemak. Lalu tidak bisa memompa darah. Lalu kamu mati.”
Sejak itu Mansyur mengakhiri kebiasaan makannya.
Saya puji habis Pak Mansyur. Yang bisa insaf seperti itu.
Saya selalu menegur anak buah yang kegemukan. Ketika masih punya anak buah. Setiap ketemu lagi saya tegur lagi. Dengan kalimat-kalimat humor.
Misalnya, orang gemuk itu sakti. Misalnya Kyai Semar. Humor itu tidak pernah berhenti sampai berat badannya turun.
Lalu saya memuji mereka yang berhasil menurunkannya. Kadang memberikan hadiah.
Misalnya saat saya jadi Dirut PLN. Manajer yang prestasinya tinggi sering saya kumpulkan.
Saya minta mereka bercerita di depan manajer lainnya. Tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sampai berhasil. Menjadi orang yang berprestasi.
Di antara manajer yang prestasinya tinggi itu ada dua yang badannya gemuk.
Saya kemukakan kesedihan saya kelak: kalau saja mereka tidak bisa mencapai jabatan tinggi. Karena sakit. Akibat kegemukannya.
Maka di forum tersebut saya tantang dua manajer itu: kalau bisa menurunkan berat badan mencapai perbandIngan ideal dengan tinggi badannya akan saya beri hadiah. Masing-masing sebesar Rp 50 juta. Dari uang pribadi.
Tiga bulan kemudian saya kalah: kecopetan Rp 50 juta.
Lima tahun kemudian saya dapat kabar: manajer itu diangkat menjadi direktur utama PLN. Sekarang ini.
“Apakah Pak Mansyur masih punya rencana menurunkan berat badan lagi?” tanya saya.
“Masih pak. Terus,” jawab Pak Mansyur.
“Targetnya turun menjadi berapa?”
“Menjadi 90 pak.”
“Akan tercapai kapan?” tanya saya.
“Setahun lagi pak.”
Hebat sekali tekad Pak Mansyur. Kesadarannya begitu tinggi. la hanya tamatan SMP. Di Rangkasbitung sana.
Saya minta nomor HP pak Mansyur. Saya simpan. Setahun lagi akan saya telepon beliau. Saya menjanjikan hadiah untuk beliau. Dalam hati saya.
Saya pun berharap Pak Mansyur tidak membaca DI’s Way edisi hari ini. Agar janji saya itu tidak bocor padanya.
“Tahukah Pak Mansyur? Apa yang menyebabkan Pak Mansyur kegemukan sampai 146 kg?” tanya saya.
“Tahu pak,” jawabnya.
“Apa?”
“Mie instan pak,” katanya.
Pak Mansyur lantas menyebut merk mie instan itu. Yang secara konsisten ia makan sejak muda dulu.
“Sejak sebelum kawin pak,” katanya.
“Sudah seperti kecanduan.”
Sehari Pak Mansyur makan mie instan tiga kali: pagi, siang, malam. Setiap kali makan dua bungkus. Tidak makan nasi. Tidak juga yang lain.
”Kalau belum makan mie instan belum lega,” katanya.
Sejak bekerja “prestasi” Pak Mansyur meningkat. Makan mie instannya empat kali sehari: pagi, siang, sore, malam. Dua bungkus setiap episode. Dengan satu telur.
Pak Mansyur juga orang yang konsisten: hanya mau mie instan merk itu. Dan hanya yang rasa soto. Dan harus hanya yang berkuah.
Prestasinyapun nyata: berat badannya mencapal 146 kg.
Awalnya karena suka nongkrong di warung.
Awalnya karena mie instan murah.
Awalnya karena mie instan sedap.
Awalnya karena mie instan simple.
Untunglah. Pak Mansyur bisa seperti bunyi lagu: Kau yang memulai. Kau yang mengakhiri.(Dahlan Iskan)