GE Way

Oleh : Dahlan Iskan

Ada buku baru. Judulnya: American Trap. Indonesia banyak disebut di situ. Penulisnya baru saja bebas dari penjara Amerika. Setelah dihukum selama 30 bulan. Dianggap terlibat kasus korupsi PLTU di Lampung. Di dekat pantai Tarahan.
Nama penulis itu: Frederic Pierucci. Saat ditangkap umurnya 49 tahun. Warga negara Prancis.
Frederic Pierucci
Jabatan saat itu: CEO salah satu anak perusahaan Alstom yang ada di Amerika. Di negara bagian Connecticut. Bidang utamanya pembuatan boiler untuk PLTU di seluruh dunia.
Hari itu Pierucci baru saja mendarat di bandara JFK New York. Tanggal 4 April 2014. Jam 08.00 malam.
Pierucci naik pesawat Cathay Pacific dari Singapura. Transit dulu di Hongkong. Total penerbangan 24 jam.
Begitu pesawat Boeing 777 itu mendekati garbarata, Pierucci mendengar pengumuman. Namanya disebut. Agar menghubungi pramugari di dekat pintu pesawat. Ia pikir ada barangnya yang tertinggal saat transit. Misalnya HP. Yang akan diberikan kembali kepadanya.
Begitu pintu pesawat dibuka terlihat tiga petugas FBI. Satu wanita, dua pria. Pierucci langsung diborgol. Dengan posisi tangan di belakang.
Ia langsung merasa: ini pasti terkait urusan di Indonesia.
Sejak dua bulan sebelumnya ia sudah mendengar selentingan itu. Saat ia di Singapura. Ia memang punya kantor di negara tetangga itu.
Tapi, tulisnya, posisinya aman. Manajer di bawahnya lah yang akan kena urusan. Maka ia tenang saja pergi ke Amerika. Untuk urusan tiga hari di Boston. Yang ternyata berakhir di sel sempit FBI. Dengan tangan terus diborgol. Dan badan diikatkan ke salah satu ikatan di dinding sel.
Semula Pierucci terus ngotot tidak bersalah. Tapi posisinya lemah. Ia berubah sikap: plead guilty.
FBI memang menemukan bukti: Alstom menyogok anggota DPR dan pejabat PLN. Untuk memenangkan proyek Rp 1,5 triliun (nilai sekarang).
FBI juga menemukan bukti lain: Alstom melakukan hal yang sama di Bahama, Mesir, Taiwan dan di Saudi Arabia.
Persaingan internasional memang keras. Lawan berat Alstom (Prancis) biasanya Siemen Jerman, Mitsubishi Jepang dan GE (General Electric) Amerika.
GE kalah di negara-negara itu. Secara tidak fair. GE tidak bisa melakukan sogok menyogok. UU di Amerika sangat keras. Perusahaan Amerika selalu mengeluhkan persaingan yang tidak fair itu.
Kongres Amerika lantas mengesankan UU Praktek Korupsi di Luar Negeri. Menurut UU itu, di negara mana pun korupsi itu bisa diperkarakan. Bila bersinggungan dengan kepentingan Amerika.
Lihatlah: yang menyogok orang Prancis. Yang disogok orang Indonesia. Tujuannya: mengalahkan pesaing. Termasuk perusahaan dari Amerika. GE.
Peristiwanya terjadi tahun 2004. Penangkapan Pierucci baru dilakukan tahun 2014. Begitu lama jaraknya.
Ternyata, tahun 2014 itu, menurut, Pierucci, GE lagi ingin membeli Alstom. Sulit. Prancis terlalu bangga dengan Alstom. Nasionalisme Prancis terusik. Alstom adalah kebanggaan nasional. Hebat dalam membuat lokomotif. Kereta api buatan Alstom sangat terkenal. Untuk pasar seluruh dunia.
Pierucci merasa penangkapannya itu bagian dari perang dagang. Mirip yang dialami Sabrina Meng Wanzhou. Eksekutif teras Huawei itu. Yang ditangkap di bandara Vancouver Kanada itu. Atas perintah Amerika itu.
Sabrina juga sudah mendengar desas-desus itu. Dia akan ditangkap. Kalau mendarat di Amerika. Karena itu dia lewat Kanada. Saat akan terbang ke Meksiko. Meski lewat Los Angeles sebenarnya lebih dekat. Sabrina tidak menyangka bisa ditangkap di Kanada.
Setelah Pierucci mengaku bersalah, pengusutan tidak berlanjut. Tidak dikembangkan sampai ke atasannya.
Bahkan kemudian terjadilah deal: Alstom setuju dibeli GE. Khusus untuk divisi boiler dan turbin dan transmisi. Dengan nilai pembelian sekitar Rp 200 triliun.
Alstom masih tetap hidup. Dengan berbagai bisnisnya. Terutama kereta apinya.
Bahkan kemudian memasuki bisnis baru: pembangkit listrik tenaga nuklir.
Maka bertambahlah perusahaan nuklir yang bertemu saya. Yang menjelaskan teknologi terbaru. Termasuk pengamanannya. Baik dari serangan tsunami seperti di Fukushima. Pun dari serangan teroris.
Misalkan ada pesawat sebesar Boeing 747. Ditabrakkan ke instalasi PLTN Alstom. Tidak akan ada masalah. Begitu penjelasan eksekutif mereka pada saya.
Bagaimana GE sendiri setelah membeli Alstom?
Menyesal.
Menyesal sekali.
Kinerja GE merosot drastis. Terutama tahun 2016, 2017 dan 2018. Jeblok. Nilai saham GE turun terus. Tahun 2017 turun separonya. Dan tahun lalu turun lagi. Separonya lagi.
Pun pemerintah Prancis tidak puas. Menjatuhkan denda ke GE: sekitar Rp 500 miliar. Awal tahun ini tadi.
Prancis menilai GE tidak memenuhi komitmen. Dalam  jual beli itu dijanjikan GE bisa menambah tenaga kerja lokal. Sebanyak 1.000 orang. Di tahun ketiga. Nyatanya, menurut Prancis, hanya bertambah 25 orang.
Dunia ternyata sudah berubah di tahun 2015. Itu di luar perhitungan GE. Permintaan akan turbin gas ternyata menurun drastis. Renewable energyternyata naik daun. Green energy lebih mendunia.
Padahal di bidang turbin-gas itulah keunggulan GE. Padahal dengan membeli Alstom pasar turbin-gas langsung bisa dikuasai.
Mestinya.
GE yang juga membuat turbin pesawat, peralatan medis, lokomotif dan apa saja, kaget. Tiba-tiba iklim bisnis berubah. Tahun 2017 digantilah CEO-nya. Dengan tokoh dari dalam. Namanya: John Flannery.
John Flannery
Tidak terselamatkan.
GE terus merosot.
Diganti lagi CEO-nya. Oktober tahun lalu. Dengan tokoh dari luar: Larry Culp. Lulusan Harvard.
Larry Culp
Inilah untuk pertama kalinya. GE minta tolong orang luar. Dalam sejarahnya yang 125 tahun.
Reputasi GE lagi dipertaruhkan di tangan Culp. Padahal selama ini GE adalah kiblat ilmu nyata di bidang manajemen. ‘Manajemen GE’ sudah menjadi jaminan. ‘GE Way’ adalah mantra.
Manajer mana pun yang pernah sekolah singkat di GE sangat bangga. GE memang membuka diri. Menjadi tempat magang manajer senior dari seluruh dunia. Lebih 20 orang PLN yang pernah mendapat pendidikan singkat di GE.
Apalagi GE selalu menempati urutan 10 besar dalam Fortune 500. Sering pula di urutan 6 atau 7.
Tiga tahun terakhir rankingnya merosot ke nomor 20-an.
Gajah besar itu lagi sakit. Tapi masih tetap besar. Apalagi kalau bisa sehat kembali.(Dahlan Iskan).