Garuda Sriwijaya

Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Citilink menggugat Sriwijaya ke pengadilan. Soal kerjasama mereka yang kandas. Tanggal 19 Oktober nanti akan mulai disidangkan.

Saya bisa memahami langkah anak usaha Garuda Indonesia  itu. Juga tidak bisa memahaminya.

Dengan menggugat, Citilink setidaknya selamat. Secara prosedur. “Kami sudah mengambil langkah hukum” —kalimat seperti itu penting bagi perusahaan plat merah.

“Sudah mengambil langkah hukum” adalah kata pamungkas. Untuk menghadapi pemeriksaan BPK. Atau pemeriksaan-pemeriksaan lainnya. Apakah langkah hukum itu yang terbaik bagi perusahaan itu soal lain.

Orang bisnis biasanya menjauhi langkah hukum. Repotnya bukan main. Hasilnya belum tentu baik. Bisa sama-sama jadi abu.

Tapi bagi perusahaan seperti Citilink hasil bukan yang terpenting. Prosedur lebih penting.

Itulah bagian yang saya bisa memahami. Dan itulah bagian yang sangat saya benci. Juga dibenci oleh semua enterpreneur.

Tapi bagi eksekutif perusahaan seperti Citilink keselamatan diri mereka lebih penting dari keselamatan perusahaan. Misalkan hasil di pengadilan itu nanti Citilink kalah. Eksekutifnya tetap selamat. Prosedur sudah diambil. Kalah adalah konsekuensi saja dari sebuah prosedur.

Bahwa akibat kekalahan itu Citilink —secara perusahaan— harus rugi itu soal lain. Toh ketika kerugian itu harus dibayar, eksekutifnya sudah tidak duduk di sana lagi. Tidak ikut merasakan kerugian itu.

Di perusahaan swasta beda. Ketika menghadapi hal yang sama para pihak pilih berunding habis-habisan. Kalau perlu saling mengalah.

Kecuali yang terjadi di Surabaya. Antara dua pengusaha besar Tionghoa. Yang sampai hati memasukkan partnernya ke tahanan.

Tapi Citilink akhirnya juga mencabut gugatan. Meski itu lebih atas perintah induk perusahaannya: Garuda Indonesia. Dan Garuda atas arahan atasannya lagi.

Manajemen Citilink lebih selamat lagi. Ketika menggugat ia selamat. Ketika mencabut gugatan ia juga selamat.

Dalam urusan ini Citilink kelihatannya memang hanya pelaksana. Kerjasamanya dengan Sriwijaya pun tampaknya bukan inisiatif Citilink.

Awalnya kan sangat jelas: Sriwijaya punya utang ke anak perusahaan Garuda: GMF. Utang dagang biasa: Sriwijaya memperbaiki semua pesawatnya di GMF.

Biaya pemeliharaan itu ada yang belum dibayar. Termasuk juga biaya perawatan pesawat milik NAM Air —anak usaha Sriwijaya.

Kian lama tunggakan itu kian besar. Terakhir, konon mencapai Rp 1,6 triliun.

Tagihan besar seperti itu bikin serba salah. Terutama bagi manajemen GMF.

Apalagi kalau Sriwijaya-nya punya banyak koneksi. Yang bisa menekan GMF.

Pilihan GMF serba sulit: tidak mau lagi memperbaiki pesawat Sriwijaya? Tagihannya tidak akan dibayar. Dengan alasan: penghasilannya berkurang. Gara-gara pesawatnya tidak bisa terbang.

Peraturan di penerbangan sangat ketat. Pesawat yang mestinya diperbaiki tidak boleh dioperasikan.

Kalau GMF terus memperbaiki? Tagihannya kian besar. Hasil operasi belum tentu untuk membayar biaya pemeliharaan. Bisa-bisa untuk membayar utang yang lain.

Ada ‘hukum’ di bidang bisnis itu begini: siapa yang lebih keras menagih ialah yang dibayar lebih dulu. Perusahaan BUMN biasanya paling kurang keras melakukan penagihan.

Kadang juru tagihnya malas. Atau kurang terampil. Kadang ada yang terutang budi —atau utang lainnya. Kadang justru dilarang menagih keras-keras.

Di swasta, tagihan adalah urusan hidup mati. Itu yang juga selalu saya ajarkan. Termasuk kepada pebisnis pemula. Yang biasanya sangat lemah dalam urusan keberanian menagih.

Akhirnya tagihan kian besar. Kian takut pula menagih. Takut kehilangan pelanggan. Juga takut yang ditagih marah.

Banyak pemula yang tidak merasa: uang itu adalah uangnya. Yang ada di tangan orang lain. Yang harus diambil.

Kalau memang segan menagih lebih baik diikhlaskan. Jadi sedekah. Lalu berhentilah berbisnis. Jadilah lembaga sosial.

Tagihan yang tidak tertagih itu menjadi laba di akhir tahun. Tapi itu laba yang bentuknya hanya angka. Bukan uang.

Laba itu dikenakan pajak. Jadi, kalau tagihannya Rp 1,6 triliun, GMF harus membayar pajak laba 30 persennya.

Hanya pemula yang tidak sadar itu. Tapi GMF bukan pemula.

Mengapa sampai punya tagihan sebesar itu. Mengapa tidak tegas ketika tagihannya baru Rp 40 miliar atau Rp 100 miliar?

Mengapa pula langkah berikutnya justru kerjasama? Tentu saya tahu maksudnya: agar manajemen Sriwijaya bisa diambil alih.

Motif pengambil alihan itu bisa dua:

a). Sekedar mengamankan uang.

b). Ada keinginan menguasai (mencaplok).

Kalau motifnya mengamankan uang berarti harus ada keyakinan: bahwa Sriwijaya masih bisa menghasilkan uang yang melebihi biaya operasi.

Kelebihan itulah yang akan dipakai membayar tagihan. Lama-lama utang itu bisa lunas.

Kalau motifnya menguasai tentu lain lagi. Tapi untuk apa?

Yang jelas Sriwijaya setuju kerjasama itu. Manajemen Sriwijaya diserahkan ke Garuda.

Orang-orang Garuda ditempatkan di Sriwijaya. Bahkan sampai tingkat direktur utama.

Sampai di sini kelihatannya  Sriwijaya sudah pasrah. Mungkin juga ditekan oleh banyak pihak. Yang sama-sama punya tagihan ke Sriwijaya. Yang nilainya juga ratusan miliar.

Misalnya Pertamina. Konon Sriwijaya punya utang bahan bakar sampai Rp 800 miliar. Padahal Pertamina bukan perusahaan pemula. Meski direksinya selalu pemula.

Ke Angkasa Pura juga punya tagihan besar —sewa bandara. Ke Bank BNI juga punya tagihan besar: kredit bank.

Mereka tentu senang kalau manajemen Sriwijaya di tangan Garuda. Ada harapan tagihan itu bisa dibayar —pelan-pelan.

Garuda pun kelihatan asyik mengelola Sriwijaya. Lewat anak usahanya: Citilink.

Dalam langkah sehari-harinya kemudian terasa: Sriwijaya sudah seperti menjadi grup Garuda. Sudah seperti anak perusahaan Garuda.

Logo Garuda pun sudah dipasang di Sriwijaya. Mungkin untuk meningkatkan kepercayaan. Agar Sriwijaya kian disenangi. Hasilnya kian banyak. Utangnya kian cepat lunas.

Mulailah ada yang mempersoalkan: KPPU. Pengawas persaingan usaha itu menilai Garuda melanggar. Dianggap melakukan monopoli —menguasai lebih 50 persen pangsa pasar.

Tentu ada yang mengadukannya. Siapa? Di perantauan begini membuat saya tidak segera tahu siapa.

Garuda beralasan angka itu salah. Sriwijaya bukanlah grupnya.

KPPU menganggap Sriwijaya sudah grup Garuda. Buktinya, banyak pejabat Garuda yang merangkap menjadi pejabat Sriwijaya.

Rupanya Garuda lupa memberhentikan orang-orangnya yang ditugaskan ke Sriwijaya. Atau karena asyik tadi. Pun mungkin tidak menyangka terkena aturan itu.

Yang saya juga tidak tahu adalah ini: mengapa tiba-tiba Dewan Komisaris Sriwijaya memberhentikan direksi yang berasal dari Garuda.

Mereka adalah Direktur Utama Sriwijaya Air Joseph Adrian Saul, Direktur Human Capital Harkandri M Dahler, dan Direktur Komersial Joseph K Tendean.

Siapa Dewan Komisaris itu? Mereka adalah orang-orangnya pemegang saham. Tentu orangnya Chandra Lie, pemilik Sriwijaya. Tokoh bisnis dari Bangka. Chandra adalah raja timah swasta di sana.

Kejadian komisaris memecat direksi seperti itu sangat sering terjadi. Terutama di bidang kerjasama dunia usaha.

Pemilik tidak puas dengan manajemen —yang di tangan orang lain. Manajemen juga tidak puas dengan pemilik. Penyebab tidak puasnya saya tidak tahu.

Biasanya soal uang. Soal pembukuan. Juga soal gengsi.

Konflik pun menjadi terbuka. Meski masih satu arah. Baru ketidakpuasan pihak Garuda yang tersiar. Pemilik Sriwijaya lebih banyak diam —tapi keras.

Itu yang membuat Citilink menggugat ke pengadilan —25 September lalu. Sriwijaya dianggap melanggar perjanjian. Terutama pasal ini: direksi harus ditetapkan dari orang yang diseleksi pihak Garuda.

Tapi tanggal 6 September lalu tiba-tiba saja komisaris Sriwijaya mengeluarkan surat. Isinya: memberhentikan Direktur Utama dan dua direktur lainnya.

Lalu mengangkat direktur utama baru. Di luar pengetahuan Garuda.

Garuda memanggil pemegang saham Sriwijaya. Yang masih sepenuhnya di tangan keluarga Chandra Lie. Yang dipanggil tidak mau datang.

Akibat konflik ini GMF tidak mau lagi memelihara pesawat Sriwijaya. Dari 30 pesawat tinggal 12 yang layak terbang. Itu pun akan berkurang lagi.

Sriwijaya terancam sanksi pemerintah: tidak boleh terbang. Dua direksi Sriwijaya pun mengundurkan diri. Tidak mau ikut bertanggung jawab atas kondisi pesawat yang tidak layak terbang.

Urusan ini pun berkembang. Dari urusan bisnis ke urusan politik. Seolah pindah menjadi urusan pemerintah.

Yang disebut terakhir itu pun turun tangan. Alasannya: kalau Sriwijaya sampai berhenti operasi dianggap menambah buruk iklim ekonomi Indonesia.

Garuda pun memerintahkan Citilink untuk mencabut gugatan. GMF juga diperintahkan untuk kembali memelihara pesawat Sriwijaya.

Sriwijaya-Garuda rujuk kembali. Kerja sama diteruskan. Tapi banyak yang masih belum jelas.

Apakah direksi yang dicopot akan dikembalikan? Apakah tagihan tidak kian besar?

Begitu banyak pertanyaan yang masih sulit terjawab. Urusan bisnis biasa ini pun menjadi urusan pertanyaan. (DIS)