Masih ada transportasi jadul (jaman dulu) yang bertahan di tengah mudahnya kredit kendaraan pribadi, dan upaya pemerintah menyelenggarakan pelayanan publik berupa transportasi massal. Badai bagi para penarik opelet ini ditambah dengan serbuan moda transportasi online. Para sopir opelet pun mencari solusi dari pemerintah.
IGK Yudha Dharma, Sungai Raya
eQuator.co.id – Terminal Nipah Kuning, Sungai Raya, Jalan Adi Sucipto, Kubu Raya, terlihat sepi, Jumat (24/3). Sesekali beberapa kendaraan umum keluar dari terminal dengan membawa hanya tiga sampai empat penumpang.
Seorang supir opelet yang sudah beruban terlihat sedang memperbaiki mesin. Tangannya berlumuran oli mencoba meraih baut yang terdapat di bagian dalam mesin. Ia menoleh ketika mendengar Rakyat Kalbar menyapanya.
Namun, ketika ditanya perihal kehidupannya sebagai supir oplet, bapak itu tersenyum. Dengan halus ia menolak untuk menjawab pertanyaan itu, seraya menjelaskan bahwa pendapatan dari narik opelet kini semakin menurun.
“Coba tanya ke orang-orang yang ada di depan, di situ juga banyak supir,” tuturnya sambil menunjuk ke arah warung makan yang ada di terminal.
Di warung tersebut beberapa supir terlihat sedang bersantai, ada yang bercengkerama, ada pula yang bermain catur. Maruli saat itu duduk di meja yang tepat berada di dekat jendela warung. Ia tengah menghisap sebatang tembakau yang telah dikemas dan dibakar. Secangkir kopi menemaninya.
Ia mengaku tinggal di Jalan Arteri Supadio. Berkeluarga, dikaruniai dua orang anak yang masih Balita. Sudah 17 tahun, sejak 2001, Maruli setia menyupiri opeletnya yang berwarna oranye setiap hari. Rute yang dia tempuh Sungai Raya menuju Sungai Durian, Kubu Raya, untuk mengantarkan penumpang.
Ketika didatangi, sekitar pukul 13.00, ia tengah istirahat setelah memarkirkan opeletnya di belakang antrean opelet yang berjejer rapi. Beberapa penumpang di opelet terdepan sudah duduk manis menunggu sang supir menyatakan siap berangkat.
Maruli mengaku baru mendapatkan enam puluh ribu rupiah dari berkeliling mencari penumpang. Ia bertutur, prospek angkutan umum seperti opelet ini nihil. Tak punya masa depan.
“Buktinya udah beberapa trayek yang sekarang tidak lagi dilewati opelet,” ujarnya.
Trayek-trayek yang dimaksud Maruli sudah tutup karena sepinya jumlah penumpang seperti rute jalan Arteri Supadio, Alas Kusuma, dan Rasau Jaya. “Untuk Kabupaten Kubu Raya nih ya, belom yang di Pontianak,” ungkap dia.
Kalau di Kota Pontianak, pria berusia 40 tahun ini menyebut rute-rute seperti di jalan Pancasila, Merdeka, Nipah Kuning-Flamboyan, juga sudah mati. Sejumlah supir di terminal Nipah Kuning tersebut memang masih mencoba bertahan. Sebab, mereka tak punya banyak pilihan untuk mengalihkan mata pencaharian.
“Sekarang macam seumuran kite nih, mau kerje ape agek lah? Kerje bangunan udah tak mampu tenagenye, kerje di perusahaan udah melebihi batas umur. Belom lagi pendidikan kite rendah,” beber Maruli.
Bahkan, ia tak bisa memberikan rata-rata jumlah penumpang yang dilayaninya setiap hari. Pasalanya, kini tak pernah pasti.
“Paling kite bise sebot jumlah pendapatan jak. Sehari tuh kotornye bise dapat seratus hingga seratus lima puluh ribu. Itu belom disetor ke pemilik kendaraan, jumlah setorannye bisa lima sampe enam puluh ribu,” terangnya.
Karena kecilnya keuntungan ini, jumlah opelet akhirnya berkurang. Mungkin karena beberapa supir tak lagi mau membawa opeletnya keliling. Maruli menyebut beberapa rute lagi. Opelet jurusan Soedarso-Sungai Durian yang dulu jumlahnya 130 kendaraan, kini hanya tersisa 50 saja. Rute lainnya seperti Soedarso-Kapuas Indah, dulunya berjumlah 121 kendaraan, kini mungkin tak sampai 50.
Dulu, sebelum kredit motor gampang, pendapatan bersihnya bisa mencapai lima ratus ribu rupiah. Padahal kala itu ongkos naik opelet masih sekitar seribu sampai seribu lima ratus perak saja. Kalau sekarang, ongkos penumpang empat ribu rupiah tapi justru semakin kecil pendapatannya.
“Ongkosnya mahal, pendapatannya kecil. Kenak dulu ongkos murah, pendapatannya besak. Bingung saye,” kata Maruli.
Menurut dia, hal ini terpengaruh beberapa hal. Yang pertama, bisa jadi karena semakin banyak jumlah kendaraan pribadi. Dua, banyak pabrik yang bangkrut dan tutup sehingga banyak buruh yang di-PHK dan tidak lagi beraktivitas. Belum lagi anak sekolah yang sudah diperbolehkan membawa kendaraan sendiri.
“Kalau dulu masih banyak anak sekolah yang naik opelet, kalau sekarang udah makin jarang dah,” tambahnya. Meskipun semakin sepi peminat, ia menyatakan tidak pernah dalam sehari sampai tidak ada penumpang yang naik.
Maruli dan kawan-kawannya sesama supir angkutan umum merasa sangat perlu perhatian dari pemerintah terkait transportasi massal ini. Kata dia, perhatian itu bisa dalam bentuk solusi. Contohnya memaksimalkan pemberdayaan transportasi umum oleh masyarakat. Kemudian, pemeliharaan kendaraan karena banyak juga jumlah opelet yang kini sudah tak layak pakai.
Di sisi lain, pemerintah daerah sendiri terlihat berniat memaksimalkan sektor pariwisata sebagai pendapatan daerah. Beberapa wisatawan domestik yang mengunjungi Pontianak dan sekitarnya menilai, susah untuk berpergian kemana-mana karena minimnya jumlah angkutan umum. Seperti Zaenal yang berasal dari jakarta.
Pria berusia 37 tahun itu terlihat rapi sambil menjinjing tas laptop. Gaya orang kantoran lah pokoknya.
“Saya kebetulan lagi ada proyek di Samsat Pontianak. Susah banget dapetin angkot (angkutan kota) di sini. Saya naik angkot karena emang belum punya kendaraan sendiri, tapi bener susah banget dapet angkot di sini,” keluhnya.
Mendengar kisah Rakyat Kalbar soal Zaenal ini, Maruli menyebut kehadiran bis pariwisata di dalam kota sebenarnya memperkecil pendapatan mereka. Belum lagi bis sekolah yang diadakan pemerintah untuk melayani anak sekolah, tentu saja itu juga merebut penumpang oplet.
“Ape ndak membunuh angkutan yang kecil-kecil kayak kamek gini?” tanya dia.
Angkutan milik pemerintah itu jelas bukan sesuatu yang positif dalam perspektif Maruli dan kawan-kawannya. Mereka berkeinginan agar pemerintah mengumpulkan seluruh supir angkutan umum yang ada, untuk merundingkan solusi yang terbaik untuk semuanya.
Pengadaan angkutan massal dari pemerintah, lanjut dia, seharusnya bisa dilakukan dengan memberdayakan para supir-supir opelet. Untuk bekerja atau menyupiri angkutan pemerintah tersebut. Sehingga mereka tidak merasa terabaikan dan juga tak perlu saling berebut penumpang.
“Semoge opelet nih tak sampek tutop usie. Banyak juga yang sudah mulai tue di sini dan pasti bingung akan mencari duit dengan cara apa lagi,” ungkapnya sambil menepuk pundak salah seorang lelaki yang sudah beruban.
Bapak tua itu juga berkomentar, “Jangan pula nanti di sini tutup lalu angkutan baru yang masuk. Same jak bual”. Imbuh dia, saat ini mereka masih bertumpu kepada anak sekolah, orang-orang tua yang memang tidak bisa naik motor. Yang sebagian masih menggunakan jasa mereka.
Maruli pun menyatakan, bus-bus besar dari luar kota seharusnya tidak bisa masuk kota. Aturan itu banyak yang melanggar. Dijelaskannya, bus tersebut tidaklah perlu masuk ke kota, cukup sampai terminal saja. Nah, dari situ, opelet bisa mengangkut penumpang dari terminal dimana bus itu seharusnya berhenti.
Belum lagi, setakat ini terdengar santer kabar akan masuknya perusahaan transportasi online, Gojek, ke Kalbar. Maruli dan kawan-kawan penarik opelet hanya bisa pasrah.
“Bingung gak, maok melarang pun ndak bise,” ucapnya.
Tapi, dia menyarankan pemerintah berkoordinasi dengan para sopir angkutan umum. Supaya, apabila Gojek diijinkan masuk Kalbar nanti, tak ada pro dan kontra yang menimbulkan konflik.
“Supir-supir ini semuanya udah lapar. Gare-gare empat ribu rupiah jak bise ribot, apekan agek kalok lahan pekerjaan mereke direbot. Bise bahaye,” tambah Maruli.
Pemerintah pun, masih dikatakannya, seharusnya memperhatikan terminal yang sudah sepi. Sebab, banyak opelet yang akhirnya membuat terminal bayangan dengan ngetem di pinggiran jalan raya yang terkadang membuat macet.
Hal itu diakui salah seorang petugas terminal, Jafar. Pria 56 tahun tersebut berujar bahwa opelet yang mencari penumpang di pinggir-pinggir jalan sambil berjalan pelan-pelan disebabkan sepinya penumpang di terminal.
“Banyak supir yang mau cepat dapat penumpang, jadi ndak mau ngetem di terminal lagi, jadinya di pinggir jalan sampai bikin macet,” kata Jafar. (*)