Foto Jurnalistik Tak Boleh Dimanipulasi

Dari Bengkel Foto JPG (1)

PEWARTA FOTO JPG. Foto bareng peserta bengkel foto JPG di Redaksi Jawa Pos, Gedung Graha Pena Surabaya, Jawa Timur, pekan lalu. PESERTA BENGKEL for RAKYAT KALBAR

Jaringan media terbesar di Indonesia, Jawa Pos Group (JPG), tak pernah berhenti meningkatkan kualitas anak grupnya se-Indonesia. Setelah pelatihan redaktur beberapa waktu lalu, giliran pewarta foto yang digembleng.

Ocsya Ade CP, Pontianak

Dari ratusan media se-Nusantara di JPG, 28 fotografer mengikuti bengkel foto yang digelar JPGnewsroom di ruangan Redaksi Jawa Pos, Gedung Graha Pena Surabaya, Jawa Timur, sejak 28 Maret hingga 1 April 2016. Salah satunya saya, perwakilan dari Harian Rakyat Kalbar.

Materi pertama datang dari fotografer senior JPG Beky Subechi. Beky langsung mengoreksi foto-foto yang diupload ke JPGnewsroom. Menurutnya, ada tiga hal yang perlu diperhatikan terkait foto jurnalistik.

“Teks foto yang meliputi kelengkapan, akurasi, dan tata bahasa. Kemudian teknis yang meliputi angle, point of interest, fokus, serta update foto. Misal kejadian foto kapan dan dimuat kapan. Ini perlu menjadi perhatian,” tegasnya, Kamis (28/3).

Seorang pewarta foto, lanjut Beky, dalam kerja jurnalistiknya dibatasi rambu-rambu dan aturan hukum seperti UU Pokok Pers No. 40/1999 dan KUHP pasal 161. Plus kode etik jurnalistik.

Sejak diresmikan 17 Agustus 2015, lebih dari 250.000 karya foto telah diupload ke JPGnewsroom. Dari ratusan anak group, Beky memaparkan lima besar media teraktif mengirim foto ke JPG: Riau Pos, Kaltim Post, Fajar, Batam Pos, dan Rakyat Kalbar.

“Saya berharap dengan pelatihan ini bisa membuat teman-teman lebih baik dalam berkarya,” pintanya.

Fotografer senior JPG lainnya, Yuyung Abdi, melanjutkan. Ia lebih berbicara bagaimana cara mengoptimalkan kamera dan perlengkapan yang digunakan. Bagi dia, matinya seorang fotografer ketika tidak lagi berkarya, bukan karena kematian jasadnya. Sebab, banyak fotografer meninggal tapi karyanya tetap dikenang.

So, membuat karya fenomenal adalah salah satu tujuan. Motret jelek, motret lagi. Jelek lagi, tetap motret lagi sampai bosan orang yang mengatakan jelek. Artinya, tetap semangat menghasilkan foto fenomenal,” pesan Yuyung.

Ia juga menunjukkan hasil-hasil jepretan setiap merk kamera. Masing-masing brand mempunyai kelebihan dan kelemahan tersendiri. Bukan kamera yang menentukan hasil foto, tapi people behind that camera alias fotografernya.

Tak hanya dua fotografer senior itu, Freelance Photographer dan Educator Edy Purnomo pun memberikan materi membedah photo story dan foto jurnalistik, dari gagasan menjadi kenyataan. “Seorang fotografer sejati jangan takut membunuh foto terbaiknya,” tutur Edy.

Tak lupa Fotografer JPG Anggar Bondan memberikan materi soal editing, filling, dan alur kerja peliputan foto. Ia mewanti agar tidak dilakukan penambahan atau penghapusan.

“Artinya, tidak ada penyesataan tampilan dengan manipulasi keseimbangan tonal dan warna untuk menyamarkan elemen dari suatu gambar atau untuk mengubah konteks. Itu yang harus dipahami dalam editing foto jurnalistik,” tegasnya. Bengkel foto ditutup dengan praktik membuat photo story kemolekan Kawah Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur. (*/bersambung)