eQuator.co.id – Jakarta–RK. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mengakui jika upaya perubahan di bidang hukum pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla belum maksimal. Meski begitu, Wiranto menyatakan bahwa upaya pemerintah terus dilakukan, termasuk menggerakkan operasi pemberantasan pungli (OPP) sebagai bagian yang tak terpisahkan.
Hal tersebut disampaikan oleh Wiranto, menanggapi capaian dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, saat ditemui di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (19/10). Menurut Wiranto, pemerintah terus melakukan penegakan hukum secara intens. Ketentraman dan ketertiban di lingkungan masyarakat tergantung pada kepastian hukum. Karena itu, Pemerintah saat ini sudah merancang reformasi hukum total.
”Jika tidak (reformasi) akan tercipta ketidakpastian, yang berujung pada ketidakpercayaan kepada hukum dan pemerintah,” kata Wiranto.
Konsep reformasi hukum total, melibatkan seluruh aspek mulai dari budaya, birokrasi, hingga aparat terkait. Dari semua aspek, banyak instrumen yang harus diperbaiki. Wiranto menyatakan pemerintah secara bertahap melakukan perbaikan sektor hukum. Saat ini, prioritasnya adalah hal-hal yang langsung dirasakan publik.
”Presiden sudah menginstruksikan, tahap pertama adalah bagaimana menyapu bersih pungli secara konsisten,” kata mantan Panglima ABRI itu.
Di luar OPP, kata Wiranto, pemerintah juga melakukan langkah pemberantasan penyelundupan. Aksi memasukkan barang ilegal selama ini sudah berlangsung masif. Jika dibiarkan, hal itu akan menggangu roda ekonomi secara nasional.
”Penyelundupan yang masif itu akan mengganggu irama menyusun perekonomian, termasuk mematikan perusahaan yang memilik produk yang sama,” jelasnya.
Dengan penyelundupan dan dampaknya itu, otomatis pendapatan negara akan berkurang. Peredaran barang ilegal juga berdampak buruk pada masyarakat, karena munculnya produk yang tidak melalui kontrol pemerintah terlebih dahulu.
”Intinya, pemerintah serius menangani berbagai hal terkait kepentingan masyarakat. Ini bukan kebijakan pencitraan, ini kebijakan yang aplikatif, sustainable, dan berkelanjutan,” ujarnya.
Di luar isu terkait hukum, Wiranto memandang pemerintahan Jokowi-JK selama dua tahun bekerja dia nilai mampu melaksanakan program nawacita secara konsisten dan serius. Menurut Wiranto, dari empat presiden yang pernah dia dampingi, pemerintahan Jokowi-JK mampu menyesuaikan perubahan lingkungan yang berlangsung cepat dan dinamis.
”17 tahun lalu saat saya memimpin Menkopolkam (era KH Abdurrahman Wahid, red) tidak sedinamis dan sekompleks saat ini, tapi pemerintahan sekarang mampu beradaptasi,” ujarnya.
Sementara itu, LSM Imparsial juga ikut menyoroti dua tahun kinerja pemerintahan Jokowi-JK di bidang penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan reformasi sektor keamanan. Menurut mereka, selama ini kedua sektor tersebut belum menjadi agenda prioritas untuk Kabinet Kerja Jokowi-JK.
“Beberapa program telah dimulai dan dilaksanakan, namun tidak sediikit juga pekerjaan rumah yang ditinggalkan. Sejumlah agenda penting bidang HAM dan reformasi keamanan justru masih terbengkalai dan belum dijalankan,” kata Direktur Imparsial Al Araf dalam jumpa pers mengenai kinerja dua tahun pemerintahan Jokowi-JK di kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan (Jaksel), kemarin.
Dia mengatakan, meski beberapa agenda HAM dan reformasi sektor keamanan telah tertuang dalam Nawacita dan di dengungkan oleh Presiden Jokowi pada masa kampanye lalu, namun implementasi agenda-agenda itu, yang merupakan bagian penting dari demokratisasi, berjalan tanpa progres. Justru centrung mengalami stagnasi bahkan kemunduran.
Beberapa isu penting di sektor HAM dan keamanan disorot Imparsial. Di antaranya perlindungan atas hak untuk hidup. Al araf menjelaskan bahwa Indonesia menjadi sorotan tajam dunia lantara masih memberlakukan hukuman mati di dalam sistem hukumnya.
Sejak Jokowi memimpin pada Oktober 2014 hingga kini, tercatat paling tidak terdapat 84 vonis mati baru di berbagai tingkat pengadilan. 18 orang terpidana telah dieksekusi mati oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
“Terus berlangsungnya praktek hukuman mati ini menjadi salah satu indikator dari lemahnya komitmen politik pemerintahan Jokowi-JK terhadap HAM untuk memajukan dan melindungi hak untuk hidup,” terang dia.
Terkait hal tersebut, peneliti Imparsial Evitarossi S. Budiawan ikut menambahkan bahwa sedikitnya terdapat lima argumen yang mendasari penerapan hukuman mati harus dihapus dari sistem hukum Indonesia. Pertama, bertentangan dengan norma HAM dan Undang-Undang dasar (UUD) 1945 Hasil Amandemen yang menjamin hak hidup. Kedua, hukuman mati tidak terbukti efektif memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan.
Ketiga, hukuman mati tidak memberikan ruang koreksi bagi pelaku kejahatan sebagaimana prinsip pemidanaan modern. Keempat, banyak di antara terpidana mati di Indonesia merupakan korban unfair trial (peradilan yang sesat). Dan kelima, berlanjutnya hukuman mati di dalam negeri akan menyulitkan posisi Indonesia dalam lobi-lobi hukum antarnegara.
“Yang terpenting juga adalah upaya membenahi sistem peradilan kita dari peradilan yang sesat,” ujar Evitarossi.
Di aspek kebebasan beragama dan berkeyakinan, Al Araf kembali melanjutkan bahwa intoleransi berkeyakinan di masyarakat masih kental di masa pemerintahan Jokowi-JK. Diskriminasi atas dasar identitas keagamaan juga masih banyak terjadi di sejumlah daerah.
“Seperti diskriminasi terhadap kelompok minoritas Jemaat Ahmadiyah dalam pelayanan administrasi kependudukan dan sosial,” terangnya.
Selain itu, dalam aspek reformasi keamanan, reformasi TNI yang dimulai sejak awal 1998 telah mengalami stagnasi karena banyak agenda reformasi TNI belum dijalankan. Seperti di antaranya restrukturisasi Komando Teritorial (Koter), reformasi sistem peradilan militer, transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan Alutsista, serta belum terpenuhinya kesejahteraan prajurit.
“Lebih dari itu, konflik antar-anggota TNI-Polri, hadirnya rancangan regulasi dan kebijakan keamanan yang mengancam demokrasi, serta kekerasan anggota TNI terhadap masyarakat dan pembela HAM perlu secepatnya diselesaikan,” tegasnya.
DI BIDANG EKONOMI
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menambahkan bahwa kebijakan pemerintah Jokowi-JK secara garis besar cukup baik. Khususnya, setelah pemerintah mengalihkan subsidi yang bersifat konsumsi seperti subsidi energi kepada sektor-sektor yang lebih produktif.
“Dengan pengalihan subsidi tersebut, tekanan inflasi cukup terkendali sehingga membuat nilai tukar rupiah lebih stabil khususnya pada tahun kedua pemerintah Jokowi-JK, yang kemudian membuat sistem keuangan menjadi lebih kuat di tengah ketidakpastian ekonomi global,” ujarnya kepada Jawa Pos.
Kedua, paket kebijakan pemerintah yang terkait penyaluran kredit pada UMKM juga terus didorong, serta dikombinasikan dengan tren penurunan suku bunga acuan juga mendorong perbankan untuk meningkatkan penyaluran kreditnya pada sektor UMKM.
Namun, mengingat target pajak yang cenderung tidak realistis dalam dua tahun terakhir menyebabkan pemerintah juga tidak optimal mendorong belanja pemerintah yang merupakan source of liquidity. Dan pada akhirnya menyebabkan likuiditas perbankan juga ikut menurun.
Selain itu, sejalan dengan upaya pemerintah untuk pembiayaan APBN, pemerintah pun juga “bersaing” dengan sektor perbankan dalam menghimpun dana dari masyarakat sehingga terjadi kondisi crowding out effect yang berimplikasi pada penurunan DPK.
“Selanjutnya, karena terkait kinerja penerimaan negara yang menurun, kebijakan fiskal belum optimal mendongkrak daya beli masyarakat, meskipun suku bunga cenderung turun, sehingga permintaan kredit pun juga menurun,” jelasnya.
Josua melanjutkan, data industri perbankan menunjukkan pertumbuhan DPK dan kredit cenderung terus melambat sehingga berimplikasi pada peningkatan LDR yang artinya kemampuan perbankan untuk menyalurkan kredit juga terbatas.
“Lalu yang terkait sekor keuangan, karena semakin membaiknya fundamental ekonomi dalam negeri seperti inflasi yang rendah, nilai tukar stabil, CAD terkendali, sektor keuangan indonesia semakin atraktif dibandingkan dengan pasar keuangan di kawasan Emerging Market,” katanya.
Di samping itu, program amensti pajak juga turut memberikan sentimen positif pada pasar keuangan domestik karena dengan program tersebut basis pajak meningkat dan pada akhirnya diharapkan penerimaan pajak kedepannya dapat mendukung pertumbuhan ekonomi domestik.
Selain amnesti pajak, pemerintah juga berkomitmen menjaga stabilitas sistem keuangan dengan mendorong pembahasan UU JPSK yang merupakan payung hukum bagi pemerintah dan regulator dalam penangangan krisis di sektor keuangan. Selain UU JPSK, pemerintah pun saat ini juga dalam pembahasan utk merevisi UU perbankan.
“Dalam sisa pemerintah Jokowi-JK, sektor perbankan dan keuangan mengaharapkan koordinasi antara regulator sektor keuangan ditingkatkan sehingga tidak terjadi overlapping kebijakan yang malah merugikan sektor keuangan dan perbankan,” tuturnya.
Josua memandang, permasalahan suku bunga kredit yang turun namun penyaluran kredit tidak jalan, banyak berkaitan dengan permintaan kredit yang belum membaik. Hal itu terlihat dengan peningkatan undisbursed loan karena daya beli masyarakat belum membaik.
Sementara dari supply kredit, perbankan pun cenderung mengerem penyaluran kredit karena meningkatnya risiko kredit yang ditandai dengan tren meningkatnya NPL. “Sehingga pertumbuhan kredit pun diperkirakan hanya tumbuh sekitar 7–9 persen (yoy),” imbuhnya.
Inflasi juga cenderung rendah dibandingkan tahun lalu karena secara umum di tahun ini tidak terjadi kenaikan harga BBM yang biasanya memicu inflasi. Memang, lanjutnya, inflasi di akhir tahun ini cenderung meningkat namun diperkirakan masih dalam target sasaran BI yakni sekitar 3–5 persen.
“Inflasi cenderung akan kembali meningkat tahun depan seiring dengan rencana pemerintah untuk memangkas subsidi listrik, menaikkan cukai rokok dan juga berencana menaikkan harga plastik sehingga secara keseluruhan inflasi akan kembali meningkat,” jelasnya.
Namun, secara keseluruhan dia memandang pemerintah sudah “on the right track” dengan stimulus fiskal melalui paket-paket kebijakan yang khususnya untuk mendorong investasi. Namun, perbaikan di sisi supply tersebut belum diikuti juga oleh perbaikan di sisi demand sehingga belum optimal mendorong pertumbuhan ekonomi di tahun ini.
“Menurut saya, pemerintah perlu kembali fokus untuk menggerakkan sektor menufaktur yang merupakan kontributor terbesar pada ekonomi indonesia karena dengan pemerintah mendorong sektor manufaktur dan program padat karya, pemerintah dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja sehingga konsumsi masyarakat bisa kembali meningkat. Dan selanjutnya apabila konsumsi masyarakat pulih, berikutnya sisi supply pun akan meresponnya, sehingga pertumbuhan ekonomi pun dapat ditingkatkan,” katanya. (Jawa Pos/JPG)