eQuator.co.id – Pontianak-RK. Usai sidang putusan di Pengadilan Negeri (PN) Mempawah, Rabu (24/10) kemarin, terdakwa candaan bom (joke bomb), Frantinus Nirigi (FN) sempat menuding bahwa dia diiming-imingi bebas dan dipaksa untuk mengakui perbuatannya oleh pengacara sebelumnya, Firma Hukum Ranik, Lin dan Associates.
Sehingga, pemberitaan dan video pengakuan menyebut bawa bom dalam pesawat Lion Air JT-687 serta permintaan maaf itu menjadi pedoman majelis hakim untuk menghukum FN dengan lima bulan sepuluh hari penjara, potong masa tahanan.
Hal ini kemudian dibantah Marcelina Lin dan rekan dari Firma Hukum Ranik, Lin dan Associates. Lin, dalam konferensi pers kemarin, membantah telah mengarahkan atau memaksa FN untuk mengakui menyebut kata ‘bom’ dan meminta maaf.
Lin menceritakan, mereka secara resmi menjadi kuasa hukum FN satu hari setelah kejadian di Bandara Internasional Supadio Pontianak itu. Yakni 29 Mei 2018.
Kala itu, FN telah menjalani dua kali pemeriksaan. Oleh petugas di bandara dan Polresta Pontianak. “Jadi awalnya, kejadian perkara itu pada 28 Mei 2018. Kami tidak mendampingi FN saat di-BAP. Karena kami belum menjadi kuasa hukumnya. Lalu, kami baru menjadi kuasa hukum FN pada 29 Mei. Itu setelah rekan kami, Theo, mendatangi FN di Polresta Pontianak,” kata Lin.
Menurut dia, kronologis pemberian kuasa itu, harus dijelaskan, untuk menjawab tudingan bahwa mereka yang membuat sekenario pengakuan FN.
Kemudian, pada 31 Mei 2018, mereka mendampingi FN saat dipindahkan ke Polda Kalbar. Dalam hal ini, kewenangan penyidikan sudah beralih ke PPNS Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.
Lin menuturkan, kala itu FN melihat video amatir evakuasi melalui pintu darurat pesawat yang banyak menyebabkan penumpang luka-luka. Video kegaduhan itu lantas membuat FN sedih dan haru. Sehingga, kata Lin, muncul keinginan FN untuk membuat pernyataan permintaan maaf melalui video.
Sebagai kuasa hukum, Lin dan rekan memfasilitasi itu. Namun, FN terlihat masih gugup. Ia juga kesulitan berbicara. Sehingga, dibuatkan naskah tertulis tangan. Saat itu, FN diberi kertas dan pulpen, namun tangannya gemetaran.
Kemudian naskah pengakuan dan permohonan maaf yang nantinya dibaca oleh FN ditulis oleh tim kuasa hukum. Namun, seluruhnya berdasarkan kata-kata dan ucapan dari FN sendiri. Lin menegaskan, bukan dari pihaknya. “Setelah itu, tentu kami sudah memiliki strategi dan langkah-langkah yang akan dilakukan selanjutnya,” jelas Lin.
Pengakuan dan permintaan maaf FN ini kemudian direkam. Video tersebut lalu viral dan menjadi headline di salah satu media cetak. Lampiran pemberitaan dan video itu kemudian menjadi bahan pertimbangan majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman untuk FN.
Setelah itu, Lin dan rekan dikejutkan dengan adanya pemberitaan bahwa surat kuasa yang ditandatangani FN telah dicabut oleh Diaz Gwijangge. Diaz kala itu mengatasnamakan pihak keluarga FN.
Kemudian, tim kuasa hukum FN yang selanjutnya, Andel dan rekan, dari Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Andel & Associates menyebutkan, sempat menghubungi Lin dan rekan untuk menjadi saksi dalam persidangan perkara pokok.
Lin pun membantah hal ini. Menurutnya, pernyataan Andel yang telah menghubunginya melalui telepon dan pesan singkat untuk menjadi saksi di persidangan itu tidak pernah ada. “Saya tegaskan, itu tidak pernah ada kepada saya dan rekan-rekan, terkait permintaan menjadi saksi,” tegasnya.
Sementara itu, rekan Lin, Theo Kristoporus Kamayo menambahkan, pada dasarnya mereka tidak mempermasalahkan pergantian kuasa hukum tersebut. Karena itu sepenuhnya hak FN. Namun dia memastikan, hingga saat ini, surat tertulis terkait pencabutan kuasa itu belum dia terima dari pihak FN maupun kuasa hukum yang baru.
“Pengacara sekarang (Andel dan rekan, Red), tidak mengetahui administrasi hukum. Seharusnya ada pencabutan surat kuasa secara tertulis. Ini artinya ada perampasan klien,” terang dia.
Terkait hal itu, dia meminta kuasa hukum FN yang baru lebih banyak banyak belajar administrasi hukum, untuk menjadi pengacara profesional. Karena menurut dia, pencabutan kuasa, harusnya melalui surat tertulis.
“Kami punya bukti. Karena ketika kami menangani perkara FN, kami memiliki surat kuasa. Tapi sampai saat ini, tidak ada pencabutan surat kuasa tersebut,” tegasnya.
Rekannya, Suryadi Ranik juga menegaskan, bahwa mereka saat menjadi kuasa hukum FN tidak pernah sekalipun menjanjikan memberi kebebasan kepada FN. Seperti yang ditudingkan.
“Karena itu sepenuhnya hak aparat penegak hukum. Kami hanya meyakinkan FN, bahwa akan semaksimal mungkin membantu penanganan kasusnya,” ucap dia.
Bahkan, ditegaskan Suryadi, pihaknya juga tidak pernah mengarahkan FN membuat pengakuan menyebut bom. “Kami tidak pernah menyuruh, memaksa dan mengarahkan untuk membuat video pengakuan. Itu murni inisiatif FN,” jelasnya.
Sebelumnya, Andel mengatakan, keyakinan FN tidak bersalah karena dalam persidangan tidak disertai dua alat bukti yang sah menurut hukum. Saksi-saksi yang dihadirkan pun tidak dapat membuktikan secara sah FN bersalah.
Putusan majelis hakim, sambung dia, titik beratnya hanya merujuk pada pengakuan terdakwa dalam pemberitaan di media massa. Padahal ucapan itu direkayasa oleh pengacara yang sebelumnya.
“Itu tadi hanya berdasarkan pengakuan yang diakui melalui kuasa hukum yang sebelumnya (Marcelina Lin dan rekan, Red). Lalu dimuat kan ke koran, divideokan. Dalam pemberitaan dan video itu dia mengakui. Itulah yang menjadi dasar majelis hakim atas bersalahnya FN,” bebernya.
Andel juga siap membuktikan bahwa pernyataan permohonan maaf dan pengakuan FN dalam pemberitaan dan video yang beredar itu karena atas perintah kuasa hukum sebelumnya. “Jadi, kuasa hukum yang lama mengundang wartawan (konferensi pers, Red). Kami masih ada buktinya. Tulisan tangan yang isinya menyuruh FN mengakui dan meminta maaf. Itu dibuat pengacara sebelumnya,” kata Andel.
Kuasa hukum FN lainnya, Alosius Renwarin menegaskan, akan melakukan banding atas putusan majelis hakim. Dia juga berencana melaporkan Lin dan rekan ke Dewan Kehormatan Peradi dan meminta pertimbangan status sebagai pengacara. (oxa)