Fake dan Chinese Whispers

Oleh: AZRUL ANANDA

eQuator.co.id – Kalau buku adalah jendela dunia, berarti layar hape dan komputer kita jendela apa?

Entah berapa kali saya menyatakan ini kepada orang. Pembaca setia Happy Wednesday mungkin juga sudah mengetahuinya. Bahwa saya ini tergolong manusia offline. Nyaris tidak aktif di media sosial. Alasannya sangat pribadi, silakan kilas balik di Happy Wednesday edisi XXX (link-nya: xxxxx).

Tentu ini bukan berarti saya benar-benar off the grid. Sesekali tentu saya masih membuka atau memantau, khususnya bila ada teman yang merekomendasikan sesuatu.

Tidak semua teman saya turuti tentunya, karena tidak semua teman kita adalah sumber yang kredibel, bukan? Wkwkwkwkwk…

Belakangan, karena beberapa topik besar, saya agak lebih sering memantau. Apalagi, belakangan juga banyak rekan menanyai soal ini atau itu yang mereka baca di media sosial. Alamaaak…

Membaca berbagai tulisan, rasanya kok hidup menjadi semakin tidak tenang. Ada banyak memang hal yang menyejukkan hati, menyenangkan hati. Tidak sedikit yang seolah-olah menandakan dunia ini akan segera kiamat.

Sebagai orang yang sejak kecil tidak jauh dari dunia media, dan kini berada di dunia itu (dan di beberapa dunia lain di muka bumi), tentu sensor-sensor saya lebih terlatih. Mana yang kira-kira benar, mana yang jelas-jelas fake, mana yang melintir. Mana hal kecil yang sebenarnya tidak penting, kok tiba-tiba menjadi sebuah monster yang begitu mengerikan.

Ada orang bilang, dunia itu berputar. Jadi, segalanya pernah di atas, di bawah, di samping kiri, atau di samping kanan.

Dan saya punya kesimpulan, sejarah kadang tidak berarti apa-apa. Karena orang atau generasi baru belum tentu kenal sejarah, belajar sejarah, menghargai sejarah, lalu menggunakan sejarah untuk menghindari kesalahan sejarah, atau bahkan membuat sejarah baru (learn history, use history, make history). Jadi, kesalahan bisa selalu berulang, dengan era dan platform yang berbeda.

Sudah nonton Captain America The First Avenger? Zaman dulu film atau pertunjukan panggung dijadikan alat untuk propaganda dan menyampaikan ”kabar”. Orang semakin pintar, dan kemudian ada alternatif-alternatifnya.

Kebebasan media di mana-mana juga ada proses belajarnya, karena dulu media cetak berebut menampilkan judul yang ”semenarik mungkin” untuk memikat pembeli. Orang semakin pintar, dan bisa memfilter lebih baik. Media-media yang dulu bombastis semakin terkikis. Hanya mereka yang konsisten menjaga diri dan kualitas yang bertahan.

Bukan berarti yang bertahan itu sempurna. Tapi sudah puluhan tahun menjaga konsistensi dan puluhan tahun pula menjaga kepercayaan konsumennya.

Roda yang sama sekarang berputar di medsos. Apalagi, ”ekonomi online” menuntut banyak-banyakan klik. Kembalilah jualan judul, berlomba berebut klik (clickbait).

Eh ternyata, konsumennya tidak belajar dari era jualan judul sebelumnya. Mungkin karena konsumennya memang sudah berbeda dengan yang dulu.

Hanya saja, konsekuensinya tetap bisa mengerikan. Bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Di Amerika saja –yang seharusnya jauh lebih berpendidikan dan kritis– masih banyak orang tertipu dan bahkan berdampak violent.

Baru-baru ini, gara-gara fake news, seorang pria menembakkan senjata di dalam sebuah restoran pizza di Washington DC. Itu gara-gara dia membaca ”berita” bahwa restoran itu juga beroperasi sebagai rumah bordil.

Di Indonesia? Entah berapa banyak kejadian yang disebabkan hoax atau fake news itu.

Karena roda berputar, untuk jangka panjang saya tidak khawatir. Orang bakal menjadi semakin pintar, regulasi semakin pintar, jari-jemari orang akan semakin bertanggung jawab –menyambung dengan hati nuraninya– sebelum menyentuh keypad. Sambil menunggunya itu yang mengkhawatirkan…

Lalu bagaimana mengatasinya?

Kebetulan ini Happy Wednesday edisi 101. Melihat angkanya, saya sempat geli sendiri. Mereka yang pernah kuliah di Negeri Paman Sam mungkin juga sangat familier dengan ”101”. Sebab, ”101” adalah kelas paling mendasar alias fundamental di hampir semua bidang studi.

Misalnya, Marketing 101 adalah kelas pertama marketing sebelum lanjut ke 120, 150, dan lain-lain sesuai dengan jurusan lebih mendalam. Dan ironisnya, menurut saya, semua masalah itu berakar pada ”101”-nya alias fundamentalnya. Mungkin ”101” itu semacam niatnya.

Kelas-kelas ”101” biasanya memang sangat mendasar. Di sebuah kelas komunikasi, kadang latihannya seperti latihan anak kecil. Misalnya permainan Grapevine atau Chinese Whispers.

Sang profesor/dosen akan memanggil empat orang. Tiga disuruh keluar kelas. Lalu yang satu itu (A) dibekali sebuah informasi. Orang kedua (B) lantas disuruh masuk, dan A disuruh mengulang informasi tadi dan menyampaikannya ke B.

Kemudian C disuruh masuk, dan B diminta mengulang lagi informasinya ke C. Berlanjut D disuruh masuk, dan C melanjutkan lagi informasi itu ke D. Terakhir, D disuruh mengulangi informasi tadi secara lebih lantang ke seluruh anggota kelas.

Hasilnya? Informasi yang disampaikan dosen ke A bisa sangat beda dengan yang disampaikan D ke depan kelas. Ketika dari A ke B masih agak mirip, tapi kemudian bisa berubah jauh ketika sampai tangan kelima alias ke D. Silakan mencoba permainan ini, lumayan lucu dan seru!

Inilah ngerinya gosip alias grapevine, serta jalur informasi yang informal alias tidak teregulasi. Dan di dunia maya, itu bisa berbelok-belok jutaan, atau bahkan miliaran, kali!

Pertanyaannya sekarang, seberapa kuat fundamen Anda untuk memfilter semua informasi yang beredar? Seberapa dingin kepala Anda menyikapi segala informasi yang beredar? Dan seberapa menyatu jari-jemari Anda dengan hati nurani?

Beberapa hari ini saya kerap melewati sebuah billboard bertulisan ”Buku Adalah Jendela Dunia”. Dalam hati saya berpikir apakah ungkapan itu masih relevan.

Ayah saya kutu buku, saya kutu buku, dan –alhamdulillah– anak saya ternyata juga kutu buku. Tapi, anak saya juga kutu iPad dan iPhone.

Semula saya berpikir itu ungkapan yang sudah waktunya di-update. Hanya saja, setelah berpikir lebih lanjut, saya bisa merasakan bahwa ungkapan itu masih relevan, bahkan bisa jadi lebih berarti di zaman sekarang ini.

Alasannya simple economics. Untuk mencetak buku, atau produk print lain, diperlukan biaya dan komitmen. Kalau kontennya tidak relevan dan tidak bermutu, buku itu akan menumpuk tidak laku. Dan zaman sekarang, semakin sulit berjualan buku karena investasi cetak tadi.

Sebelum bikin buku, harus benar-benar yakin atas kualitas kontennya. Dan kalau buku itu dibaca dan laku, tandanya buku itu benar-benar dianggap baik serta bermanfaat bagi pembeli dan pembacanya. Berarti buku itu benar-benar bisa jadi jendela bagi pembacanya.

Cerita-cerita yang beredar di dunia maya tidak butuh investasi banyak untuk dibuat dan disebarkan. Dan kalau tidak dibaca, dengan mudah bisa di-delete atau diganti isinya. Begitu saja. Apalagi kalau misinya hanya untuk menyampaikan judul yang menyesatkan.

Kalau sudah begitu, jendelanya mengarah ke mana? Minimal, kalau buku itu fiksi, ia sudah langsung diletakkan di rak bertulisan ”Fiksi”…

Sebuah artikel di USA Today memikat perhatian saya. Bahwa semakin lama, berita-berita fake itu akan menjadi semakin common atau umum. Lama-kelamaan orang tidak akan menanggapi semua berita di dunia yang banyak fake-nya. Kurang lebih menyampaikan bahwa ironisnya, obatnya justru jalur-jalur ”tradisional” yang sudah teruji selama puluhan tahun itu.

Seperti media cetak, seperti buku… (*)