eQuator.co.id – Panggilannya Widi. Nama lengkapnya: Widi Nugroho. Sesuai kartu Namanya, Widi sekretaris Yayasan IAR Indonesia atau YIARI. Lembaga nirlaba itu mengembang misi menyelamatkan, merehabilitasi dan melepasliarkan lagi orangutan yang diserahkan masyarakat maupun hasil penindakan hukum.
Dulu, Widi teman kerja saya. Sama-sama bekerja di Jawa Pos Group. Tahun 2003, saya menerbitkan koran Indopos di Jakarta. Widi menangani percetakan Temprina Media Grafika di Tambun, Bekasi Timur. Indopos dicetak di sana selama dua tahun, sebelum punya mesin cetak raksasa yang ditempatkan di Cengkareng. Nempel pagar Bandara Internasional Soekarno–Hatta.
Ketika saya memimpin Mahkamah Konstitusi TV (MKTV) tahun 2009–2011, Widi menjadi manager HRD-nya. Demikian pula ketika saya mengoperasikan CB Channel tahun 2011 – 2013, stasiun TV lokal Depok, Widi menjadi manager HRD-nya.
Tahun 2014, CB Channel berhenti siaran. Pemerintah menarik frekuensi 21UHF yang digunakan karena akan dialokasikan untuk kepentingan negara. CB Channel diberi pengganti frekuensi 27UHF di Kabupaten Cianjur Selatan.
CB Channel pun memboyong perangkatnya ke Cianjur. Tapi semua karyawannya tidak ada yang ikut. Akhirnya CB Channel mati suri. Karena kesulitan SDM. Sejak itu saya tak pernah bertemu Widi.
Tiba-tiba Kamis lalu Widi menghubungi saya. Lewat Facebook. Media ini menjadi satu-satunya penghubung saya dengan Widi. Silaturahmi digital. Kami janjian bertemu hari Minggu pagi, di Cibubur Junction, Jakarta Timur, tak jauh dari rumahnya.
Dalam pertemuan itu, Widi menceritakan kesibukannya yang baru: di YIARI. Untuk melestarikan orangutan, YIARI membangun pusat suaka satwa di sebuah desa di Ketapang, Kalimantan Barat. Di atas lahan seluas 200 hektar.
Beberapa hari yang lalu, YIARI menerima penghargaan internasional: pusat suaka satwa terbaik di dunia. Beritanya dimuat di website YIARI: www.internationalanimalrescue.or.id.
Mengelola pusat perlindungan orangutan ternyata tidak gampang. Apalagi lokasinya pelosok Ketapang. ‘’Suplai daya listriknya kurang. Listrik mati rata-rata dua jam sehari,’’ kata Widi.
Padahal, di pusat perlindungan itu ada klinik kesehatan. Untuk mengatasi listrik yang byar-pet itu, YIARI menggunakan genset berbahan bakar minyak diesel.
Untuk menyuplai listrik 12 KVA, biaya pembelian bahan bakarnya mahal. Padahal, YIARI akan menambah daya lagi: 23 KVA. Untuk bangunan baru yang berfungsi sebagai learning center.
Bangunan learning center itu sudah hampir selesai. Sudah mencapai 85 persennya. Learning center itu disiapkan untuk mendukung kegiatan belajar, riset dan penelitian. ‘’Pusat penelitian ini terbuka untuk siapa saja,’’ kata Widi.
Rupanya untuk tujuan itulah Widi mengundang saya. ‘’Saya ingin menggali informasi sumber energi sinar matahari. Bukan genset BBM,’’ katanya.
Karena kebutuhan energinya tidak kecil, saya mengajak Paulus Wahono, direktur utama ATW Solar. Yang berpengalaman membangun instalasi pembangkit listrik tenaga sinar matahari berskala besar.
ATW Solar adalah mitra Next Energy, raksasa penyedia sistem energi yang terintegrasi di Jepang. Di Indonesia, Next Energy telah menginisiasi pembangkit ramah lingkungan di berbagai sector senilai USD 150 juta.
Sebagai wilayah yang berada di garis kathulistiwa, Ketapang dan wilayah Kalimantan Barat punya sumber energi murah yang melimpah ruah. Sayang sekali, belum ada yang mengolah. Sinar matahari belum dirasakan sebagai berkah. (jto)
*Admin www.disway.id