Geliat Arab Saudi mengarahkan pembangunannya lewat Visi 2030 membuat negara-negara di sekitarnya bersiap-siap. Ada yang waswas karena melihat itu sebagai ancaman baru. Tak sedikit juga yang justru bergairah. Sebab, itu menjadi kesempatan untuk menjalin kerja sama yang lebih erat dengan Negeri Petrodolar tersebut.
Abdul Rokhim, Riyadh
eQuator.co.id – Perjalanan dari Riyadh ke lokasi Festival Budaya Al Janadriyah di pinggiran utara ibu kota pada Kamis siang (20/12) itu ternyata lama. Hampir dua jam rombongan delegasi Indonesia menyusuri jalanan yang diapit padang gersang. Untunglah, semua itu terasa singkat karena kehadiran Syarifa.
Siapa Syarifa? Perempuan cantik yang bertugas sebagai pendamping rombongan atau liaison officer (LO) itu ternyata begitu pintar memeriahkan suasana. Sambil mengabsen, dia menyapa satu per satu anggota rombongan. Syarifa yang mengenakan kerudung dan aksesori berbentuk daun palem di dahi itu juga menyanyikan lagu-lagu Arab lengkap dengan tepukan.
Prof Dr Yunahar Ilyas Lc MAg yang pernah tinggal di Saudi untuk menuntut ilmu geleng-geleng melihat polah Syarifa. Bagi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu, pemandangan yang tersaji di depannya tersebut langka. Sekitar tiga sampai lima tahun lalu tidak akan ada perempuan Saudi yang bertingkah seperti Syarifa.
Dulu hampir tak ada perempuan Saudi yang keluar tanpa cadar. Sekarang perempuan tanpa cadar jamak terlihat di tempat umum. ”Perubahan di Saudi jika dilihat dari aktivitas perempuan di ranah publik memang terlihat nyata,” ungkap ulama Muhammadiyah kelahiran Bukittinggi itu.
Bukan hanya Syarifa, kini banyak perempuan Saudi yang tampil sebagai pemimpin acara penting kenegaraan. Bahkan, yang dihadiri menteri dan para pejabat pemerintahan lain. Ada pula perempuan Saudi yang menjadi resepsionis hotel, petugas front office di bank, dan pemandu talk show di TV. Tentu juga yang tak boleh ditinggalkan adalah diizinkannya perempuan mengemudikan mobil di jalanan umum mulai 4 Juni lalu.
Menteri Kebudayaan dan Informasi Saudi Dr Awwad S. Alawwad menyatakan bahwa negaranya mulai meninggalkan kebijakan tertutup. Putra Mahkota Muhammad bin Salman alias MBS siap membawa Saudi pada keterbukaan. ”Kami telah belajar banyak. Mempertahankan masyarakat yang tertutup membuat kami tidak berkembang. Kini kami membuka diri terhadap jurnalis maupun turis (di samping jamaah haji, umrah, dan studi Islam, Red) untuk berkunjung ke Saudi,” tegas Dubes Saudi untuk Jerman sampai April 2017 itu.
Untuk mendukung kebijakan tersebut, Saudi akan mengeluarkan visa turis mulai tahun depan. Selama ini, visa hanya diterbitkan bagi jamaah haji dan umrah, pebisnis, serta orang-orang yang memiliki kepentingan untuk studi Islam. Dengan menerbitkan visa turis, Saudi memberikan kesempatan kepada dunia untuk menyaksikan sejumlah event internasional yang akan digelar di seluruh pelosok negeri tahun depan. Keputusan itu sejalan dengan target di Visi 2030, yakni melipatgandakan jumlah penerbitan visa Saudi.
Keputusan itu diakui Awwad tidak mudah. Sebab, selain harus menyiapkan sistem administrasi yang andal, Saudi harus melakukan perubahan kultur yang revolusioner. ”Kami butuh waktu untuk menjadi benar-benar baik dan memuaskan tamu asing,” ujarnya. Dia juga menegaskan bahwa Saudi akan memperlakukan tamu asing nonmuslim sebaik tamu asing muslim.
Komitmen itu juga dipantau langsung oleh Raja Salman dan MBS. ”Yang Mulia selalu mengingatkan kami agar menjadi welcome country dengan berfokus meningkatkan layanan kepada para tamu asing,” terang peraih gelar PhD hukum pasar finansial University of Warwick School of Law Inggris itu.
Bagaimana perubahan di kebijakan luar negeri dan ekonomi? Menteri Luar Negeri Adel Al Jubeir di hadapan delegasi Indonesia untuk Festival Janadriyah mengungkapkan, Saudi ingin membuat seluruh dunia Islam makmur. ”Kami tidak akan mencari ke dunia lain. Kami akan berdagang dan berinvestasi dengan negara-negara muslim, khususnya Indonesia,” ujarnya di kantor Kementerian Luar Negeri Rabu (19/12).
Arab Saudi dan Indonesia memiliki sejarah bilateral yang panjang di sektor perdagangan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, nilai total perdagangan nonmigas kedua negara pada periode 2011–2018 memperlihatkan pertumbuhan positif hingga 3,89 persen per tahun.
Produk ekspor utama Indonesia ke Saudi selama ini adalah kendaraan bermotor, minyak kelapa sawit, tuna, karet dan produk karet, plywood, kertas dan produk kertas, bubur kertas, arang kayu, serta tekstil dan produk tekstil.
Bagaimana menyikapi perubahan Arab Saudi yang terjadi saat ini dan yang menjadi komitmen yang akan datang? Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia Muhammad Luthfi Zuhdi berpendapat, perubahan perilaku warga Saudi sejauh ini positif. Artinya, dengan perempuan diberi banyak kelonggaran dan didorong tampil di sektor publik, ekonomi Saudi juga menjadi lebih menarik dan dinamis.
”Saya melihatnya masih dalam batas nilai-nilai Islam,” ujar Luthfi yang pernah tinggal di Saudi pada 1979–1982. Kesempatan tinggal di Saudi kembali didapat saat Luthfi ditunjuk sebagai atase pendidikan dan kebudayaan di KBRI Riyadh.
Lantas, apa yang bisa dimanfaatkan Indonesia dari geliat perubahan di Saudi? Luthfi melihat satu peluang yang seharusnya ditangkap cepat oleh pemerintah. Yakni, menetralkan gerakan radikal dan ekstrem di Indonesia dengan mendatangkan dai-dai terbaik Saudi yang berhaluan moderat juga. ”Ini sangat mendesak untuk cepat dilakukan. Sebab, akar radikalisme di Indonesia, salah satunya, adalah lulusan-lulusan perguruan tinggi di Arab yang sudah puluhan tahun menetap di Indonesia,” ungkapnya.
Jika radikalisme diumpamakan penyakit, menurut dia, penyakit itu harus diberantas dengan obat yang sama asalnya. ”Pemerintah bisa mengundang dai-dai moderat di Saudi yang anti kekerasan dan mengajak hidup harmonis untuk datang dan berceramah di masjid-masjid Indonesia,” saran dia. Aktivitas itu diyakini Luthfi didukung Kerajaan Arab Saudi yang aktif mempromosikan Islam di Arab damai dan toleran.
Seperti ditegaskan oleh Menteri Kebudayaan dan Informasi Kerajaan Arab Saudi Dr. Awwad S. Alawwad, Saudi selama ini selalu aktif mempromosikan Islam modern yang menolak semua bentuk penyampaian ajaran dengan kekerasan. Saudi aktif mempromosikan Islam yang toleran, menghargai kaum perempuan, juga terbuka terhadap ajaran dan kelompok lain. ”Jika memang ada pemahaman seperti itu di suatu kelompok di luar Saudi, tentu bukan tugas Saudi memeranginya. Kami tak bisa mengajari rakyat negara lain apa yang harus dan tidak boleh dilakukan,” tegas Awwad. (Jawa Pos/JPG)