Ekonomi Masjid

TEROBOSAN. Oleh: Joko Intarto

eQuator.co.idMasjid Nurul Haq di Asem Baris, Jakarta Selatan itu, tak pernah sepi. Di luar jam-jam salat, ada yang orang yang datang: membeli beras, air minum galon, gula pasir, minyak goreng dan gas elpiji yang sering disebut ‘gas melon’ itu.

Sebuah kantor lembaga amil zakat berdiri di sebelah kantor unit usaha penjualan sembako dan ‘gas melon’ itu. Rupanya, ada keterkaitan antara keduanya. Sebagian hasil keuntungan usaha, disalurkan kepada Lazismu: sebagai infak.

Dari infak itu, banyak keluarga dhuafa yang terbantu. Bisa nyantri tahfidz Qur’an. Melanjutkan sekolah umum. Dan membuka usaha produktif. Meski kecil-kecilan.

Suasana serupa terlihat di Masjid Al-Barkah di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Beras, gula, minyak goreng dan ‘gas melon’ menjadi andalan usahanya. Juga ada jasa pembayaran listrik dan air bersih. Khusus jamaahnya. Warga di perumahan.

Dari hasil usaha itu, berdiri sebuah lembaga sosial. Mengasuh anak-anak yatim di luar panti. Dititip di keluarga jamaah. Klinik kesehatan, mobil ambulans dan mobil jenazah.

Dua cerita tentang masjid di atas memperlihatkan sebuah pola yang unik. Khas. Ada usaha komersial. Ada usaha sosial. Hasil usaha komersial membiayai kegiatan sosial.

Usaha komersial dan kegiatan sosial adalah pasangan yang hanya ditemukan di masjid. Umumnya, usaha sosial hadir lebih dulu. Usaha komersial belakangan. Lahir karena kegiatan sosial butuh dana. Sedangkan donasi tidak tentu datangnya.

Banyak potensi ekonomi yang bisa digarap dengan basis masjid. Selain sembako dan ‘gas melon’, masjid juga berpotensi mengembangkan usaha aqiqah, khitan center, salon/klinik muslimah, wedding organizer, catering, rental mobil dan agen pemasaran.

Ada 800 ribu masjid di seluruh Indonesia. Sayangnya masih sedikit jumlah masjid yang sudah ‘multifungsi’. Sebagian besar baru difungsikan sebagai tempat beribadah saja. Dengan alasan masing-masing.

Tapi manajemen masjid yang berubah semakin bertambah. Terutama yang pengurusnya berusia muda. Mereka lebih terbuka. Kreatif. Dan melek teknologi.

Kalau 10 persen masjid punya usaha distributor beras, gula, minyak goreng dan ‘gas melon’, betapa besar potensi ekonominya? Berapa banyak kaum dhuafa yang bisa dientaskan dari perputarannya? Berapa lapisan masyarakat yang menikmati manfaat dari ekonomi masjid?

Delapan puluh ribu outlet bukan jumlah yang kecil. Jaringan toko retail modern terbesar saat ini pun baru sekitar 15 ribu outlet.

Masjid dari masa ke masa, memang memiliki peran yang penting. Selain pusat peribadatan, masjid juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan ekonomi.

Untuk itu, masjid memerlukan banyak ‘’sociopreneur’’. Yang bisa menghidupkan masjid. Lebih dari sekedar penceramah. (jto)

Joko Intarto, admin www.disway.id