Eka Tjipta

Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Janganlah milihat orang hanya saat suksesnya. Lihat juga perjuangan menuju sukses itu.

Hanya itu yang bisa saya simpulkan. Saat menulis naskah ini. Untuk menandai meninggalnya konglomerat Eka Tjipta Widjaja. Pada usianya yang 98 tahun. Pukul 17:00. Sabtu lalu.

Saya sudah sangat lama tidak bertemu beliau. Beliau memang sudah sangat lama tidak aktif.

Semua bisnis sudah diserahkan kepada anak-anaknya. Yang ternyata sangat mampu. Menjadikan grup Sinar Mas tetap yang terkaya di Indonesia.

Dari anaknyalah saya sesekali mendengar kabar tentang beliau. Misalnya saat beliau sakit. Atau saat baru sembuh. Setelah ganti seluruh tulang pinggulnya.

Pada usia 98 tahun baru meninggal. Betapa panjang usianya. Betapa jarang laki-laki yang bisa mencapai usia itu.

Saya masih bisa bertemu anaknya: Franky Wijaya. Yang menjadi pengendali grup usahanya. Atau Teguh Ganda Wijaya. Bos besar usaha bidang kertasnya. Yang menguasai dunia. Sering juga bertemu anaknya yang lain. Dari istri yang lain. Chandra, pemilik real estate besar di Surabaya: Pondok Chandra Indah.

Dengan Franky saya sesekali bertemu. Dalam bakti sosial Budha Tzu Chi. Sebuah agama yang melarang umatnya membangun rumah ibadah. Juga melarang umatnya sembahyang. Sembahyangnya adalah berbuat baik. Pada orang lain. Terutama pada orang yang lagi susah. Tempat ibadahnya adalah daerah-daerah miskin.

Agama itu berpusat di Hualian, pantai timur Taiwan. Saya sudah pula ke sana. Bersama Franky.

Franky sudah jadi konglomerat. Tapi tetap angkat-angkat karung saat bakti sosial.

Agama ini juga punya jaringan stasiun TV DAAI (baca: Ta Ai). Yang hanya menyiarkan kebaikan.

Saya beberapa kali bertemu Pak Eka Tjipta Widjaja. Di Jakarta atau di Surabaya. Pernah juga menjadi moderatornya. Saat beliau didaulat menjadi pembicara. Dalam sebuah seminar enterpreneur.

Saya juga pernah menulis satu buku kecil tentang Pak Eka. Yang terbit 30 tahun lalu. Saat umur saya masih 40 tahun. Dan usia Pak Eka masih 70 tahun.

Saya tidak pernah lupa cerita beliau. Tentang awal-awal memulai jadi pengusaha. Bahkan awal kehidupannya di Makassar. Saat umurnya baru 9 tahun.

Pada umur sekecil itu Eka ikut kapal. Dari daerah Hokkian. Mengarungi lautan bebas. Menyusul ayahnya. Yang sudah lebih dulu ke Makassar.

Sang ayah waktu itu sudah punya rumah. Meski dindingnya terbuat dari bambu (gedhek). Dan atapnya dari rumput. Mungkin maksudnya: daun rumbia.

Sang ayah sudah punya usaha kecil-kecilan. Toko sederhana. Eka tidak ingin sekolah dulu. Ingin membantu ayahnya.

Yang ia pilih adalah: menjajakan barang mirip yang ada di toko ayahnya. Ke kampung-kampung. Ia tidak mau hanya ikut menjaga toko. Tapi memilih ‘jemput bola’ ke rumah konsumen.

Masih kecil. Hanya bisa bicara Hokkian. Tapi sudah punya cara dagang yang berbeda.

Ketika umurnya 12 tahun ayahnya minta Eka sekolah. Di sekolah Tionghoa Makassar. Ketika ditest kemampuannya masih terbatas. Tertinggal dari umurnya. Eka harus memulai dari kelas satu.

Eka tidak mau. Ia ingin langsung kelas tiga. Ia sangat malu. Kalau harus satu kelas dengan anak umur 7 tahun. “Saya terus pegangi kaki kepala sekolah. Saya sembah. Saya ciumi kaki itu,” ujar Eka.

Kepala sekolah iba. Eka dimasukkan kelas tiga. Tapi bahasa Mandarin pun belum bisa. Semua pesimis Eka akan bisa naik kelas.

Yang bikin guru jengkel adalah pemberontakannya. Terutama  guru berhitung. Eka tidak mau ikut urutan pelajaran hitung: tambah-kurang-bagi-kali.

Eka selalu memulai dari kali-tambah-kurang-bagi. “Kalau belum-belum sudah dikurangi dan dibagi mana cukup,” katanya mengenang.

Sampai-sampai guru  menjintingnya. Memegang dua kakinya. Dijantur. Kaki di atas. Kepala di bawah. “Hayo, sekarang berjalanlah. Bisa nggak,” bentak sang guru. Sambil terus memegang dua kaki Eka di atas.

“Tidak bisa. Ampun,” teriak Eka.

“Nah begitu juga berhitung. Tidak bisa dibalik-balik,” ujar sang guru. Seperti yang diceritakan Eka.

Tamat SD Eka tidak mau sekolah lagi. Logikanya: sekolah agar bisa bekerja. Saya harus bisa bekerja tanpa  sekolah. Kalau siang untuk sekolah tidak bisa bekerja. Kalau siang untuk bekerja bisa sekolah malam.

Siang hari Eka bekerja. Hasil kerjanya untuk memanggil guru. Malam hari. Belajar di rumahnya. Ijazahnya memang hanya SD tapi pengetahuannya tidak kalah dengan tamatan SMA. Plus pengalaman kerja.

Setamat SD Eka mendatangi  grosir. Ingin dipinjami biskuit 4 kaleng. Untuk dijual. Bayar setelah biskuitnya laku.

Tidak ada yang mau memberinya biskuit. Dianggap masih anak-anak.

Eka lantas menyerahkan ijazah SD-nya. Sebagai jaminan. Dapatlah ia 4 kaleng biskuit.

Dari toko yang ia ingat betul namanya: Ming Heng. Habis dalam dua hari. Uang pun disetor. Untuk ambil yang baru. Lama-lama ambil enam kaleng. Ijazah dikembalikan. Eka sudah mendapat kepercayaan penuh.

Eka lantas bisa membeli sepeda. Cukup untuk mengangkut enam kaleng biskuit. Omsetnya tidak pernah lagi naik. Kapasitas sepedanya terbatas 6 kaleng.

Omsetnya baru naik ketika Eka bisa membeli becak bekas. Yang tidak ada joknya. Khusus untuk angkut biskuit. Bisa 18 kaleng.

Eka membayar tulang becak. Lima gulden sebulan.

Dalam empat tahun ia bisa mengumpulkan tabungan 2.500 Gulden.

Ia minta ijin ayahnya. Memperbaiki rumah. Habis 1.000 Gulden.

Dinding bambu diganti dengan kayu. Atap daun diganti seng.

Sisanya ditabung. Ingin sekolah ke Tiongkok. Atau ke Hongkong.

Sambil mencari tambahan tabungan itu ia ikutkan arisan tender. Caranya: siapa yang mau memberi bunga tertinggi yang menang. Belum ada deposito waktu itu. Orang seperti Eka tidak akan bisa diterima bank.

Tahun 1941 Jepang masuk Makassar. Keadaan kacau. Ekonomi hancur. Tabungan itu hilang bersama yang menang tender.

Itulah kejatuhan pertama Eka. Masih remaja sudah merasakan ludes. Ia pun tidak tahu apa yang bisa dikerjakan. Di zaman perang seperti itu. Ia lebih banyak bermain di pantai Losari.

Saat duduk-duduk di bebatuan itulah ia kaget. Ada truk tentara yang membuang sampah. Di tanah tidak jauh dari pantai. Sampah itu bukan sembarang sampah. Tapi reruntuhan bekas perang. Barang-barang dari gudang yang terbakar: besi, kayu, karung-karung terigu, karung semen, seng dan sebagainya.

Tiap hari truk itu membuang rongsokan ke situ. Eka berpikir semua rongsokan itu bisa jadi uang. Tapi bagaimana mengangkutnya. Uangnya habis. Tabungannya ludes.

Tapi orang yang membuang rongsokan itu pasti perlu minum. Maka Eka mendirikan open kiosk di dekatnya. Memasak kopi. Menyediakan meja kursi. Yang dibawa dari rumahnya.

Ternyata laku. Kopinya selalu habis. Lalu ibunya ia minta bikin ayam rebus. Ayam putih. Disajikan bersama kopi.

Ayam putihnya itu tidak laku. Ia panik. Modal beli ayam itu  yang terbesar. Bukan kopi. Justru tidak laku.

Ia kepepet. Nekat. Ia datangi komandan Jepang. Ia minta mencicipinya secara gratis. “Saya beri sepotong saja. Tidak berani memberi banyak. Takut ayamnya habis tanpa mendapat uang,” guraunya.

Harapannya terkabul. Sang komandan menyukainya. Anak buahnya membeli. Tiap hari ayam putihnya habis.

Tapi tujuannya bukan jualan ayam. Yang utama cari modal. Untuk bisa mengangkut rongsokan-rongsokan yang menggunung itu.

Halaman rumahnya pun penuh rongsokan. Juga tanah kosong di sebelah rumahnya. Besi-besi diluruskan. Seng-seng diratakan. Terigu yang kelihatan terbakar dibuka. Bagian luarnya dibuang. Terigu yang masih baik dikumpulkan. Karung dicuci. Dikeringkan. Untuk mewadahi terigu yang masih baik.

Semen-semen yang sudah membatu ditumbuk. Yang masih baik dikumpulkan. Dikarungi lagi.

Persoalannya: harga terigu bekas harganya murah.

Maka Eka mempelajari cara menjahit karung. Yang bisa sesempurna jahitan pabrik. Agar dikira semuanya masih baru.

Ia beli jarum di toko. Ia praktekkan cara menjahit karung yang baik. Berhasil.

Terigu ia jual. Setiap hari. Semen tidak ia jual. Tunggu momentum. Toh dari jualan terigu sudah cukup untuk bisa hidup.

Lalu ia pelajari: untuk apa orang beli semen. Ternyata banyak yang dipakai untuk membangun kuburan. Kuburan Tionghoa.

Eka pun mencari siapa tukang makam terbaik. Ia ajak joint. Ia beri ‘saham’ 20 persen. Hasilnya menggembirakan. Dalam setahun bisa membangun 8 makam. “Bagian depan makam dekat bandara Makassar itu saya semua yang bangun,” katanya.

Nilai semennya lebih tinggi daripada dijual dalam bentuk semen.

Dari bisnis barang rongsokan itu Eka bisa menabung Rp 20.000. Waktu itu harga sebuah rumah tembok Rp 1.000. Stock rongsokannya pun habis.

Eka lantas ingin bisnis minyak goreng. Ia sudah tahu di mana pusat penghasil minyak goreng: Selayar. Sebuah pulau di Selatan Sulawesi. Perlu naik kapal satu malam penuh untuk ke sana.

Ia pun berangkat. Semua tabungan dibawa. Diikatkan di pinggang secara merata. Ia tahu tidak bisa beli secara utang. Harus kontan.

Di Selayar ia bisa kulakan 4.000 kaleng minyak goreng. @18 liter. Ia mendapat diskon 20 persen. Karena membayar kontan.

Ia mabuk.

Tidak mampu berdiri.

Pun waktu kapal sudah tiba kembali di pelabuhan Makassar. Ia harus pegangan tiang listrik dulu. Lama. Sebelum bisa berjalan tegak. “Mabuk tapi hati sangat gembira. Semangat sekali,” katanya.

Baru beberapa hari di Makassar keluarlah peraturan pemerintah Jepang. Penjualan minyak goreng hanya boleh dilakukan pihak Jepang. Milik swasta harus diserahkan. Dengan harga dipatok. Rp 1,5/liter.

Eka Tjipta, yang waktu itu namanya masih Ek Tjhong, bangkrut untuk kedua kalinya.

Masih muda sudah merasakan ‘jatuh’ dua kali.

Hidup pun susah. Untuk semua orang. Berbulan-bulan tidak makan roti. Bukan tidak punya uang tapi sulit mendapatkan roti. Beli roti harus antre. Satu orang dibatasi maksimal dua roti.

Hari itu ia sangat ingin beli roti. Ia antre. Beli dua. Tapi hanya diberi satu. Ia marah.

Tetap tidak diberi. Ia lemparkan roti yang di tangannya ke muka penjualnya.

Ia ngeloyor pulang. Hatinya mendidih. Dendam. Tekadnya bulat: ingin bikin pabrik roti.

Berhari-hari ia cari tahu: siapa juru masak pabrik roti itu. Ia datangi rumahnya. Ia bawakan oleh-oleh untuk istrinya. “Kalau saya tidak bawakan oleh-oleh bisa-bisa tidak boleh masuk rumahnya,” katanya bergurau.

Langsung ia tawarkan gaji dua kali lipat. Dari Rp 15 ribu sebulan ke 30 ribu. Tawaran diterima dengan senang. Tapi baru bisa bulan berikutnya. Ia tidak mau kehilangan gaji sebulan itu.

Eka tidak sabar. Dendamnya masih membara. Langsung saja dikeluarkan jurus pamungkasnya: ia bayar gaji yang sebulan itu.

Pabrik rotinya maju.

Tapi sulit mendapatkan gula.

Beli gula harus antre. Satu orang hanya boleh antre untuk 1 kg.

Eka mencari pengantre bayaran. Tujuh orang. Satu bulan bisa mendapat 10 ton. Eka pun merinci. Berarti satu orang antre di 40 tempat sehari.

Eka menjadi kaya kembali. Ia berani membeli mobil. Rp 70 ribu harganya. Tapi harus inden. Mobilnya baru tiba enam bulan kemudian.

Saat itulah temannya kesusahan. Perlu uang. Menyerahkan mobilnya. Hanya dengan harga Rp 30 ribu. Jadilah Eka punya dua mobil. Menjadi orang yang sangat terpandang.

Waktu meninjau bekas sekolahnya dulu sang kepala sekolah sendiri yang membukakan pintu mobilnya. Eka banyak menyumbang ke sekolah itu.

Lalu terjadilah perang kemerdekaan. Keadaan kacau. Jalur logistik putus. Pasukan bahan baku macet. Eka bangkrut lagi. Untuk ketiga kalinya.

Sekali lagi Eka tidak mau meninggalkan utang. Ia sangat yakin kepercayaan adalah modal terpenting. Dengan kepercayaan ia yakin pasti bisa bangkit lagi. Kelak.

Ia jual yang bisa dijual cepat. Termasuk dua mobil kebanggannya. Ia kembali naik sepeda.

Saat bangkrut yang ketiga itulah Eka merasa sangat sakit. Bukan soal hidup susah lagi. Tapi soal harga diri. Orang yang dulu membukakan pintu mobilnya pun tidak mau menyapanya lagi. Bahkan melengos saat disapa. Ia sampai malu keliling Makassar dengan sepedanya. Ia merasa semua jari menuding ke mukanya.

Eka tidak tahan lagi. Dirinya merasa terhina. Ia pun minggat dari Makassar. Menuju Malino. Daerah pegunungan sekitar 60 km dari Makassar. Ia menghabiskan waktu di situ. Dengan membaca. Ia memang gemar membaca.

Enam bulan Eka retreat di Malino. Barulah hatinya dingin. Ia kembali ke Makassar. Ingin mengerjakan apa yang bisa dikerjakan.

Waktu itu, awal 1950, TNI mengerahkan banyak pasukan ke Makassar. Untuk menumpas pemberontakan Andi Aziz. Dan Kahar Muzakar. Tentara kekurangan logistik. Para pedagang tidak mau menjadi pemasok. Khawatir pembayarannya macet.

Eka mendengar itu. Mau. Satu-satunya yang mau jadi pemasok. Ia punya logika sendiri. “Ini kan tentaranya pemerintah. Pemerintah sendiri. Sudah merdeka. Pasti punya uang.

Kalau pun tidak  kan bisa cetak uang. Kan  negaranya sendiri,” pikirnya.

Eka kembali akan mengandalkan kepercayaan. Sebagai modal utamanya. Ia datangi perusahaan dagang negara. Peninggalan Belanda. Seperti Geowehry. Ia minta barang. Bayar belakangan. Minta waktu dua minggu. Seperti pembayaran yang dijanjikan tentara.

Ternyata dua minggu tidak ada pembayaran. Satu bulan tidak ada. Satu bulan setengah juga tidak. Eka datang ke Geowehry. Minta maaf. Menceritakan apa adanya. Membawa semua berkas dan tagihan. Ia ceritakan apa adanya. Tidak ada yang disembunyikan.

Setelah lewat dua bulan pembayaran cair. Sekaligus. Banyak sekali. Eka menjadi banyak uang lagi. Utangnya pun lunas.

Eka menjadi akrab dengan tentara. Tentara juga begitu. Merasa Eka orang yang berjasa. Kesempatan pun terbuka. Eka boleh memanfaatkan kapal tentara. Yang pulang ke Makassar dalam keadaan kosong. Setelah mengirim tentara ke Manado.

Eka pun memuatinya dengan kopra. Yang melimpah di Manado. Dengan harga murah. Ia jual di Makassar. Dengan harga tinggi.

Jadilah Eka pedagang kopra. Ia sering pergi ke Manado, Palu, Toli-toli, Maluku. Pusat-pusat kopra ia kuasai.

Ia pun sudah berani carter kapal. Untuk kirim kopra dari Manado ke Surabaya dan Jakarta. Jaringan dagangnya kian luas.

Suatu saat ia sudah mengumpulkan 3 ribu ton kopra di Manado. Ia carter kapal besar dari Jakarta. Untuk ukuran saat itu. Ketika kapal tiba pecahlah pemberontakan Permesta. Terjadi perang. Eka menyelamatkan diri. Kopra 3 ribu ton ia tinggal. Kapal carterannya kembali ke Surabaya hanya membawa dirinya.

Eka bangkrut untuk keempat kalinya.

Ia tidak mau lagi tinggal di Makassar. Ia ingin pindah Surabaya. Di daerah yang lebih aman. Yang memungkinkan bisnis berkembang.

Di Surabaya Eka ditampung di kamar temannya. Ukuran 2 x 3  meter. Ia hanya membawa modal kepercayaan. Dan nama baik.

Ia pun menghadap Pangdam Brawijaya, Mayjen Basuki Rahmat. Diijinkan pula mengisi kapal tentara dengan barang dagangannya. Kapal itu berangkat ke Sulawesi membawa bahan makanan. Balik ke Surabaya kosong. Hasilnya dibagi dua: tentara mendapat 25 persennya.

Di Surabayalah Eka berkembang pesat. Dengan pabrik minyak kelapanya. Dari Surabaya merambah Indonesia. Tidak pernah bangkrut lagi.

Waktu saya berumur 40 tahun  saya bertanya pada pak Eka:  Apakah masih membayangkan bahwa suatu saat akan bangkrut lagi. Untuk kelima kalinya.

“Sekarang sudah tidak mungkin lagi bangkrut. Sudah terlalu besar untuk bisa bangkrut,” katanya.

Itu tahun 1992. Diucapkan di Surabaya. Kepada saya.

Saat itu Pak Eka sudah menjadi orang terkaya kedua di Indonesia. Setelah Liem Soe Liong. Pabrik minyak gorengnya sudah yang terbesar di Indonesia. Pabrik kertasnya terbesar di Asia. Bisnis Grup Sinar Mas sudah merambah ke segala arah.

Saya pernah ke Ningbo. Sudah ada Bank International Ningbo. Miliknya. Saya ke Suzhou. Sudah ada pabrik kertas sangat besar di sana. Saya ke Shanghai. Gedung pencakar langitnya sangat menonjol di pusat kota Shanghai.

Waktu mengucapkan ‘tidak mungkin lagi bangkrut’ kelihatannya Pak Eka tidak membayangkan: bakal terjadi krisis moneter delapan tahun kemudian. Saat itu utang Sinar Mas mencapai sekitar Rp 110 triliun. Kepada lebih 60 bank. Di lebih 40 negara.

Yang menagih pun sampai kesulitan. Untuk berunding pun sulit. 60 bank dan 40 negara harus setuju. Caranya  maupun pembagian hasil penagihannya.

Sampai-sampai utang itu distensil. Dibekukan. Ini membuat Sinar Mas kembali jaya. Semua hasil penjualannya bisa untuk menggerakkan operasionalnya. Tanpa mikir nyicil utang.

Memang Sinar Mas sempat kehilangan Bank International Indonesia. Tapi pak Eka benar: sudah terlalu besar untuk bisa bangkrut.

Sabtu lalu Pak Eka meninggal dunia. Meninggalkan semua itu. Tapi juga meninggalkan pelajaran bisnis yang luar biasa berharga.(dahlan iskan)