eQuator.co.id – Sama sekali tak dipandang selama Euro 2016 berlangsung, Eder hanya butuh satu momen untuk mengukir namanya sebagai legenda turnamen dan pahlawan abadi Portugal!
Duel final Euro 2016 yang mempertemukan Portugal dan Prancis memasuki menit ke-79. Satu perjudian besar yang jadi bahan olok-olokan mayoritas publik sepakbola lantas dilakukan pelatih Seleccao, Fernando Santos.
Di tengah situasi rumit, Santos mengganti pemain yang jadi nominasi terkuat pemain terbaik Euro 2016, Renato Sanches, dengan sosok tak nyaring di telinga, Eder. Bomber berusia 28 tahun itu ditugaskan untuk mengisi kenihilan peran ujung tombak Portugal, sejak sang kapten sekaligus bintang utama tim, Cristiano Ronaldo, cedera dan ditarik keluar pada menit ke-25.
Semua orang tertawa dan berpikir Santos sudah gila membebankan tugas mencetak gol yang sebelumnya diemban pemain terbaik dunia tiga kali, dengan sosok yang entah mengapa bisa ada dalam skuat Portugal. Mereka berpendapat bahwa Pepe cs lebih baik mempertahankan ritme pasif yang ada, untuk memaksakan babak perpanjangan waktu dan menentukan segalanya di babak adu penalti yang punya faktor keberuntungan kuat.
Segalanya kemudian semakin jenaka, ketika beberapa pihak teringat bahwa sebelum turnamen dimulai Eder pernah berkoa akan hasratnya jadi top skor Euro 2016. Lebih-lebih nomor yang digunakannya adalah nomor keramat 9, yang dahulu gemar digunakan deretan bomber mentereng macam Domingues, Nuno Gomes, atau Pedro Pauleta.
Namun faktanya Eder hanya butuh satu momen untuk mengubah segala remeh-temeh miliaran orang yang menyaksikan final Euro 2016, menjadi rasa takjub. Dentuman kerasnya dari jarak 25 yard sukses menjebol jala kapten Prancis, Hugo Lloris, di menit ke-109 babak perpanjangan waktu. Portugal unggul 1-0 dan akhirnya jadi kampiun Euro untuk kali pertama!
Rasa takjub yang hadir kemudian berubah lagi jadi rasa penasaran. Siapa sebenarnya Eder ini?
Eder yang memiliki nama asli Éderzito António Macedo Lopes lahir pada 22 Desember 1987, di Bissau, Guinea-Bissau. Cukup tiga tahun bermukim di benua Afrika, orang tuanya lantas berimigrasi ke Portugal untuk hidup yang lebih baik.
Sayang keduanya tak mampu merawatnya baik secara psikis maupun ekonomi, sehingga Eder diserahkan ke lembaga perlindungan anak, Lar de Girassol, di pinggiran kota Coimbra, Portugal. Aspek akademis jadi yang utama di sana, sehingga kecintaannya pada sepakbola amat dibatasi oleh pihak lembaga.
Namun rasa cinta dan bakat Eder terhadap sepakbola tak mampu lagi dibendung. Pihak lembaga pun mengizinkannya merintis karier sepakbola di klub lokal, ADC Ademia, ketika usianya menginjak 11 tahun. Tujuh tahun berselang, dirinya sukses mendapat kontrak dari klub profesional pertamanya, Tourinzense, yang bercokol di divisi dua Portugal. Ia mendapat gaji €400 per bulan yang kesemuanya diserahkan untuk sang ibu.
Seiring berjalannya waktu karier Eder terus berkembang, tapi tak bisa dibilang meroket karena lingkupnya masih medioker. Kegemilangannya bersama Academica dengan mempersembahkan Piala Portugal di musim 2011/12, membawanya hijrah ke Braga pada penghujung musim, tempat di mana dunia sepakbola samar-samar mulai mendengar dan melihat kualitasnya.
Menghabiskan tiga musim di Estadio Municipal de Braga, Eder produktif dengan torehan 33 gol dari 82 penampilannya di semua ajang. Braga dibawanya rutin mentas di Eropa termasuk di Liga Champions dan memenangkan Piala Portugal. Dirinya pun mendapat julukan “Ederbayor”, merujuk pada kemiripan fisik, posisi, dan gaya bermain, dengan striker flamboyan Togo, Emanuel Adebayor.
Meski begitu, pesona yang dipancarkan Eder nyatanya belum mampu menarik minat tim-tim besar Eropa, layaknya Liverpool, Borussia Dortmund, atau Arsenal seperti rumor yang sempat beredar. Namun impiannya untuk berkiprah di Liga Primer Inggris yang dinilai sebagai kompetisi sepakbola terbaik dunia, tetap tercapai tatkala klub papan bawah EPL, Swansea City, menebusnya dari Braga senilai €5 juta di musim panas 2015 lalu.
Sayang realitanya tak sesuai harapan. Kariernya di EPL seketika berubah menjadi mimpi buruk. Eder kalah bersaing di lini depan dengan hanya mencatatkan 267 menit bermain, tanpa mencetak sebiji gol pun. Ia akhirnya dipinjamkan kemudian dijual ke LOSC Lille pada pertengahan musim.
Merantau ke Ligue 1 Prancis, Eder berhasil bangkit meski tak lewat cara spektakuler. Ia cukup subur dengan mencatatkan enam gol dan empat assist, dari total 1.071 menit bermainnya. Performa itu krusial dalam mendongkrak posisi Lille yang tadinya terpuruk di peringkat ke-15, terbang ke lima besar di akhir musim. “Buat saya Eder adalah petarung di garis lini depan tim kami!” sanjung Federico Antonetti, pelatih Los Dogues.
Performa tersebut cukup untuk mengantarkan Eder kembali mendapatkan tempatnya di timnas Portugal, yang sudah dibelanya usai Euro 2012 silam. Ia sejatinya juga sempat diandalkan dalam performa mengenaskan Das Quinas di Piala Dunia 2014 lalu.
Eder kemudian sukses menyegel satu tempat dalam 23 nama yang dibawa Portugal ke putaran final Euro 2016. Namun patut dicatat bahwa kehadirannya lebih terkesan dipaksakan, karena selain kariernya yang masuk dalam kategori medioker, saat itu ia juga hanya sanggup mencetak tiga gol dari 27 caps-nya. Walau begitu pelatih tim, Santos, memang tak punya pilihan lain untuk pos striker murni.
Portugal kini tak punya lagi bomber ganas haus gol sekelas Eusebio, Nuno Gomes, atau Pedro Pauleta. Mereka juga tak mungkin terus-terusan mengandalkan penyerang medioker macam Hugo Almeida atau Helder Postiga, yang juga makin menua. Selain itu pesaing terkuat Eder pun cuma Hugo Vieira yang bermain di liga Serbia dan Bruno Moreira yang merantau ke Thailand bersama Buriram United.
“Keberadaan Eder sejatinya jadi salah satu bahan tertawaan di Portugal. Namun realita berbicara, saat ini kami memang tak punya bomber murni kelas dunia. Dia nyaris tak pernah mencetak gol (untuk Portugal) dan dia tak klinis di depan gawang,” tutur jurnalis Portugal, Mariana Cabra, seperti dikutip ESPN.
Karenanya tak heran bila Eder sama sekali tak diperhitungkan bakal menyita perhatian di Euro 2016. Bahkan mungkin tak ada yang peduli soal pernyataan sesumbarnya di awal helatan, untuk jadi top skor turnamen. Segalanya semakin tegas tatkala sebelum final, Santos hanya memainkannya di dua partai, yang kesemuanya di babak fase grup, dengan waktu bermain cuma 13 menit.
Nyaris tak ada faktor yang bisa mendukung Eder akan jadi pahlawan, ketika negaranya secara mengejutkan tampil di final hadapi tuan rumah Prancis. Namun keajaiban memang selalu datang di waktu dan lewat cara yang tidak terduga. Portugal harus bersyukur keajaiban itu dihadirkan dalam sosok Ederbayor.
Permainan tim yang begitu padu di sepanjang laga, dengan sedikit bumbu kualitas tendangan serta insting Eder, membuat keajaiban hadir untuk Portugal di menit ke-109 babak perpanjangan waktu. Seleccao lantas dibawanya menang tipis 1-0, serta untuk kali pertama dalam sejarah berhasil merengkuh gelar di turnamen akbar!
“Ketika saya memasukkan Eder, dia berujar akan mencetak gol. Dia seperti itik buruk rupa yang tak diperhitungkan. Sekarang dia telah berevolusi menjadi angsa yang cantik,” sanjung Santos atas kepahlawanan Eder, seperti dilansir laman resmi UEFA.
Keajaiban yang dihadirkan Eder memang tak lantas mengubah signifikan status timnasnya di kancah persepakbolaan internasional. Momen tersebut juga belum tentu jadi titik balik kariernya yang medioker. Namun satu hal yang pasti adalah Si Angsa Cantik kini merupakan legenda turnamen dan pahlawan abadi Portugal! Demikian rilis laman Goal.Com. (*)