eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Kekhawatiran adanya aturan kepemilikan e-KTP sebagai syarat mutlak menjadi pemilih di Pemilu 2019 perlahan terbukti. Masih banyak pemilih potensial yang berpotensi tidak terakomodasi karena tidak memiliki e-KTP. Hasil perbaikan juga menunjukkan, tidak sedikit data DPT yang belum sinkron dengan data kependudukan. Perlu ada solusi atas problem tersebut.
Kemarin (5/10) KPU meluncurkan Gerakan Melindungi Hak Pilih (GMHP) bersama seluruh stakeholder pemilu. Dalam kesempatan tersebut, KPU mengajak seluruh penduduk berusia 17 tahun ke atas untuk mengecek ada tidaknya nama mereka di daftar pemilih. Namun, dalam momen tersebut, diuraikan pula problem-problem DPT yang perlu segera diselesaikan. ”KPU di daerah sudah membuka 69.834 posko GMHP. Targetnya 83.370 atau satu desa satu posko,” kata Ketua KPU Arief Budiman.
Persoalan yang menghambat validitas DPT cukup kompleks. Yang utama adalah kepemilikan e-KTP. Meski semangatnya positif, yakni meminimalkan pemilih siluman, syarat kepemilikan e-KTP itu juga berdampak. Misalnya, pada pemilih pemula yang baru berusia 17 tahun antara 1 Januari–17 April 2019. Jumlahnya 1,2 juta orang. Mereka tidak bisa diakomodasi dalam DPT. ’’Kami masukkan mereka ke dalam daftar pemilih khusus dan sudah kami turunkan sampai ke desa,’’ terang Komisioner KPU Viryan Azis.
Karena itu, sejak saat ini, nama mereka sudah ada di masing-masing TPS sebagai pemilih khusus. Namun, konsekuensinya, mereka hanya bisa menggunakan hak pilih pada pukul 12.00–13.00. Itu pun wajib menunjukkan e-KTP.
Masalah lainnya adalah pemilih yang tinggal di tanah negara atau hutan milik negara. Dispendukcapil tidak mungkin membuatkan e-KTP dengan alamat di tanah negara itu. KPU mewacanakan solusi akhir berupa kartu pemilih khusus untuk mereka. Dengan demikian, hak pilih warga yang tinggal di tanah negara tetap terakomodasi.
Viryan berharap tanggungan perekaman dan pencetakan e-KTP bagi warga yang sudah memenuhi syarat bisa selesai sebelum akhir tahun ini. Bahkan, diharapkan bisa lebih cepat, yakni pada 16 November mendatang. ”Setelah 17 November, kami sudah punya datanya,’’ ucap dia. Mereka akan diakomodasi dalam DPK. Tugas Kemendagri adalah memastikan yang sudah berusia 17 tahun ke atas sampai 16 November mendatang memiliki e-KTP sehingga bisa masuk DPT.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali berjanji memanggil KPU pada 16 Oktober untuk membahas solusi permasalahan e-KTP. ”LIPI sempat mengusulkan perppu, tapi itu nanti tergantung pemerintah apakah mau mengusulkan atau tidak,” terangnya. Perppu itu akan mengatur pemilih yang tidak memiliki e-KTP sehingga bisa tetap memiliki hak pilih.
Problem lain adalah sinkronisasi data dengan Kementerian Dalam Negeri. Berdasar UU Pemilu, KPU membuat DPT berdasar DPT pemilu sebelumnya. Dalam hal ini, pilkada serentak 2015, 2017, dan 2018. Juga DPT Pemilu 2014 di sebagian kecil daerah. Sementara itu, data DP4 (daftar penduduk potensial pemilih) dari Kemendagri hanya sebagai pembanding.
Kasubbid Pengolahan Data Ditjendukcapil Erikson Manihuruk menjelaskan, tidak semua data dalam DPT sesuai dengan data di DP4. ”Yang tersanding hanya 160 juta dan ada 31 juta yang belum masuk (tersanding),” terangnya.
Data 31 juta itu mencakup daftar pemilih yang data kependudukannya diduga bermasalah dan penduduk yang telah merekam data, tetapi belum masuk DPT. Karena itu, bila dijumlahkan, saat perbaikan tahap II selesai pada 16 November, jumlah DPT diperkirakan 192 juta pemilih (lihat grafis).
Selisih antara DPT hasil perbaikan pertama dan kedua berkisar 7 juta pemilih. Mereka adalah orang yang sudah merekam e-KTP, tetapi belum terakomodasi di DPT. Problem dalam data 31 juta pemilih itu bermacam-macam. Ada yang NIK-nya keliru, tanggal lahir tidak standar, nomor KK belum diperbarui, dan berbagai problem lain. Termasuk di dalamnya data ganda. Untuk itu, perlu kerja sama yang apik di antara para stakeholder pemilu agar DPT bisa mendekati valid. (Jawa Pos/JPG)