eQuator.co.id – Gedung megah di Jalan Arteri Supadio, Kabupaten Kubu Raya, itu tampak ramai. Besi tempa tinggi yang menutupinya dibuka lebar.
Melangkah ke halamannya, wajah ramah penuh tawa Sang Budha Maitreya menyambut. Sosok patung Budha yang ceria ini memang menyenangkan. Sesuai sebagai simbol kebahagiaan penjelmaan Sang Budha Sakyamuni yang ke sepuluh tersebut.
Usai ‘penyambutan’ itu, untuk memasuki Vihara Maitreya ini harus menaiki lebih dari 30 anak tangga. Dan, langsung memasuki area pelataran doa bagi Budha Sakyamuni, Sang Budha Gautama. Aura ketenangan dan kebijaksanaan terasa dari sosoknya yang duduk di tengah ruangan tersebut.
Sang Budha Gautama diapit dua sosok jelmaan Budha lainnya. Di sebelah kirinya, duduk wanita cantik yang wajahnya memancarkan kelembutan dan kesyahduan. Para pemeluk agama Budha menyebutnya Dewi Kwan Im, dewi belas kasih.
Di sebelah kanan Sang Budha Gautama, duduk sosok berwajah merah, bahu lebarnya ditegakkan, tangan di pahanya. Kesan sangar sedikit menakutkan terpancar dari patung Budha Satyakalama itu. Wajar, dia simbol kekuatan.
Di hadapan ketiganya, dipersembahkan buah-buahan dan bunga serta lilin yang menyala. “Begitulah keadaan dunia ini. Ada kelemahlembutan, ada kekuatan, yang seyogianya dapat kita seimbangkan dengan ketenangan batin,” papar Pandita Ateng, salah seorang pandita pemimpin pada prosesi upacara Hari Trisuci Waisak di Vihara Maitreya, Minggu (22/5).
Pada hakikatnya, lanjut dia, perayaan Waisak merupakan peringatan perjalanan hidup dari lahir, mengalami pencerahan di bawah pohon Bodhi, menjadi Budha, dan kematian Sidharta Gautama.
Dalam perayaan Waisak kali ini, Vihara Maitreya mengadakan serangkaian acara pada Jumat (20/5) dan Sabtu (21/5) dengan siraman rohani yang dibawakan Pandita Halim Zen Bodhi. Prosesi puncak perayaan Waisak, dimulai dengan bakti puja dilanjutkan memandikan Rupang Budha Sakyamuni.
“Ini kita memilih rupang dalam wujud anak kecil. Ini lambang kesucian, kita diharapkan dapat bersih kembali seperti seorang anak,” ungkap Ateng.
Air yang digunakan untuk melakukan upacara permandian ini penuh berbagai bunga. Rupang Budha Sakyamuni berdiri tegak di tengah wadah. Ketika memandikan, sambil memanjatkan doa.
“Air ini nanti akan dibawa oleh umat, dicampurkan ke air yang akan digunakan untuk mandi keluarga. Hal ini menyiratkan usaha membersihkan diri,” jelas Dewi, pandita di Vihara Maitreya.
Selesai memandikan Rupang Budha Sakyamuni, pelita kebahagiaan dinyalakan. Ada 13 wadah pelita yang masing-masing menyimbolkan gembira, sukacita, bebas, ceria, damai, harapan, sukses, cemerlang, yakin, leluasa, puas, dan bahagia, serta dunia satu keluarga. Setiap umat kemudian menambahkan minyak pada wadah pelita yang berdiameter kurang lebih 30 centimeter setinggi 50 centimeter itu.
Kemudian, siraman rohani diberikan Pandita Halim Zen Bodhi kepada umat. Perayaan waisak tahun 2560 BE/2016 di Vihara Maitreya ini bertema “Indahnya Kebersamaan di Dalam Budhadharma”.
“Kebersamaan merupakan dasar bagi kita untuk menjadi satu keluarga di dunia ini,” ujar Dewi.
Di sebelah Vihara Maitreya, ratusan umat Buddha dari berbagai daerah se Kalbar juga mengikuti acara serupa. Di Vihara Vajra Bumi Kertayuga tersebut, ibadah dilaksanakan sejak pukul 09.00 WIB.
Pandita Vihara Vajra Bumi Kertayuga, Hendra mengatakan, Waisak tahun ini dengan tema “Sucikan Hati dan Pikiran untuk Hidup yang Lebih Baik”. “Jadi di sini kita mengingatkan kepada umat khususnya umat Buddha makna dari Tri Suci Waisak,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, makna dari Tri Suci Waisak tersebut diantaranya memperingati kelahiran Sang Buddha, memperingati hari mencapai penerangan sempurna, serta memperingati hari wafatnya.
“Kita mengimbau para umat agar bisa merenungi kembali khotbah atau ajaran Sang Buddha sehingga dapat diterapkan sehari-hari,” ujarnya. (*)
Marselina Evy dan Isfiansyah, Pontianak