Dungu

Oleh Dahlan Iskan

Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Tiwas saya kaget: Partai Demokrat akhirnya menyetujui permintaan Presiden Trump. Dana sebesar hampir 6 miliar dolar itu. Untuk membangun tembok perbatasan dengan Meksiko itu.

Ternyata persetujuan itu ada syaratnya: asal Trump tinggal di luar tembok itu. Di sisi Meksiko sana.

Hahahaha…

Ternyata itu humor gaya Amerika.

Yang bukan humor: hubungan Trump dengan parlemennya justru kian panas.

Semula Kongres sudah melayangkan undangan untuk Trump. Agar datang ke Kongres. Untuk menyampaikan pidato tahunan State of the Union.

Undangan itu kemarin diralat: pidatonya cukup tertulis saja. Dikirim naskahnya saja.

Kecuali, kata Nancy Pelosi, Ketua DPR Amerika itu, presiden sudah berubah sikap. Mau membuka kembali  pemerintahan yang tutup.

Di Amerika pemerintah memang bisa tutup. Karena anggaran yang belum disahkan. Sudah beberapa kali itu terjadi.

Tapi baru di zaman Trump ini rekornya. Berlarut-larut. Pemerintahan Amerika tutup sudah lebih dari tiga minggu. Dan masih belum tahu sampai kapan.

Posisi saat ini masih kuat-kuatkan.

Rakyat mulai marah. Terutama pegawai pemerintah pusat. Yang gajinya ikut berhenti.

Trump begitu iri kepada Xi Jinping. Atau Vladimir Putin. Yang posisinya sebagai presiden begitu kuat. Apa pun yang mereka inginkan bisa terjadi.

Sedang Trump hanya mau bikin tembok saja tidak bisa. Padahal sudah didukung sebagian pastor. Yang berdalil bahwa Tuhan pun membangun tembok untuk melindungi sorganya. Kalau pun Trump dianggap tidak bermoral apakah Tuhan juga tidak bermoral.

Kini orang Amerika mulai mempersoalkan kejagoan Trump. Yang selama ini merasa dirinya ahli dalam bernegosiasi. Yang itu menjadi kunci suksesnya. Sebagai konglomerat. Sampai pun ia menerbitkan buku dengan judul itu: Seni Bernegosiasi. Yang sudah lama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

“Mana keahlianmu Trump?” tulis media di sana.

Sebenarnya Trump sudah menunjukkan keahliannya itu. Saat mengundang Pelosi ke Gedung Putih. Rapat di Ruang Oval. Minggu lalu.

Trump langsung mengajukan pertanyaan bernada negosiasi: kalau pemerintahan saya buka lagi apakah anggaran tembok disetujui.

“No”, jawab Pelosi.

Dan Trump langsung meninggalkan ruang rapat.

Mungkin itu bagian dari seni negosiasi Trump.

Untuk menunjukkan keteguhannya.

Kesuperiorannya.

Tapi Pelosi bukanlah salah satu manajer perusahaannya. Atau direktur salah satu anak usahanya.

Pelosi adalah pemimpin mayoritas di parlemen. Ketua DPR. Yang setara dengan presiden. Menurut konstitusi Amerika.

Dan yang lebih penting Pelosi mampu merasa setara dengan presiden. Dan bisa.

Saya sendiri justru menjadi kagum pada Trump. Dalam mempertahankan pendirian. Setidaknya Trump telah memperlakukan janji kampanye sebagai ‘ideologi’. Bukan sekedar janji dari lidah yang tidak berulang. Padahal apalah sulitnya tidak memenuhi janji politik. Carilah. Banyak guru di bidang ini. Toh alasannya kuat: tidak disetujui parlemen. Kan beres.

Tentu saya tidak perlu membahas ini lebih panjang. Bisa merembet ke mana-mana.

Yang jelas DPR Amerika kali ini memang akan sangat berbeda.

Salah satu pejabat di Florida misalnya, sudah meletakkan jabatan. Gara-gara emosi. Terkait DPR. “Kalau Rashida Tlaib terpilih ia akan meledakkan gedung DPR,” katanya.

Tlaib adalah wanita Palestina yang lahir di Detroit. Maju jadi caleg. Ternyata terpilih. Pertama dalam sejarah Amerika. Orang Palestina jadi anggota DPR.

Lain lagi dengan Alexandria Ocasio. Juga anggota DPR baru. Juga Demokrat. Juga wanita. Juga muda. Baru 26 tahun. Pelayan di cafe New York. Pun setelah lulus sarjana ekonomi dari Boston University tetap kerja di cafe.

Belum satu bulan ia jadi anggota DPR. Sudah mengajukan rancangan  undang-undang pajak baru. Intinya: orang kaya harus dipajaki lebih besar. Kian miskin kian kecil pajaknya.

Usulan itu bikin sewot tokoh-tokoh Partai Republik. Yang ideologinya beda: ringankan pajak untuk orang kaya. Agar orang yang sudah kaya tetap mau bekerja keras. Menguatkan ekonomi. Membuka lapangan kerja.

Sampai-sampai Scott Walker  unggah twitter. Ia bukan orang sembarangan. Ia calon presiden. Yang hanya tersisih oleh Trump. Ia gubernur Wisconsin yang sangat populer. Tokoh utama Republik.

Isi twitternya bagus. Sekaligus merendahkan Ocasio.

Intinya:

Ingatlah pelajaran pajak dari Reagan untuk anak kelas lima SD. Anak itu mendapat tugas dari neneknya. Sang nenek memberinya uang 10 dolar. Sampai di rumah anak itu cerita pada ibunya. Sang ibu mengambilnya 7 dolar. Sang anak disisai 3 dolar. Sang anak tentu merasa itu tidak fair.

Adakah Ocasio merasa terpukul dengan contoh perpajakan yang sederhana seperti itu? Yang seolah dia dianggap seperti anak kelas 5 SD? Padahal sudah jadi anggota DPR Amerika?

Ternyata Ocasio tenang saja. Dia hanya mengunggah satu Twitter pendek. Sebagai jawabannya:

“Kalau anak itu membawa pulang 10 dolar dari neneknya saya jamin uang itu tetap 10 dolar. Tidak akan berkurang satu dolar pun. Mengapa? Karena hanya 10 dolar”.

Humor politik yang begitu telak. Publik mendukung Ocasio. Ternyata publik jadi tahu siapa yang sebenarnya masih kelas 5 SD.

Dalam sebulan ini Ocasio sudah memenangkan hati publik dua kali. Yang pertama soal video dansa di atas atap itu. (Disway xxxx). Yang kedua soal pelajaran pajak untuk anak kelas 5 SD tadi.

Ada yang telak lagi. Sebenarnya.

Bagaimana seorang profesor menganggap semua pejabat yang mengelilingi presiden saat ini dungu semua.

Itulah tulisan profesor Paul Krugman. Di New York Time dua hari lalu. Tidak sembarangan: Krugman adalah  pemenang hadiah Nobel.

Tapi biarlah soal dungu itu jadi urusan profesor itu dengan presiden Trump. (dis)