eQuator.co.id – Dia Islam. Dia bukan Islam. Dia bukan Islam tapi Islam. Dia Islam tapi bukan Islam. Dia Druze.
Jumlah umatnya sekitar 1 juta di Lebanon. Atau 5 persen penduduk. Sekitar 10 juta di seluruh dunia. Partai politiknya meraih 9 kursi. Dari 128 kursi DPR. Di Pemilu Mei lalu. Yang sampai saya tulis naskah ini masih ribut: siapa, dari golongan mana, jadi menteri apa.
Saya pun ke pusatnya Druze di Beirut. Juga ke makam orang Druze di sebelahnya. Ke Moukhtara pula: ke basis komunitas Druze. Dua jam bermobil dari Beirut.
Di sana ada istana Druze. Tempat bertahta amir Druze saat ini: Walid Jumlatt. Yang ayahnya bernama Kamal Jumlatt. Tokoh penting nasional. Yang tewas ditembak di mobilnya. Bersama body guards-nya. Di gunung. Tahun 1977. Konon pendukung Bashar Assad-lah yang melakukannya.
Di Druze Center yang megah itu saya masuk ke lobinya. Di pusat kota Beirut. Yang dijaga tentara bersenjata.
Di lobi itu, di dinding tingginya, hanya ada satu hiasan: kaligrafi. Indah dan besar: satu rangkaian lengkap ayat-ayat Al Quran. Dari surah An-Nas.
“Ini bukan masjid,” jawab staf di situ. Saat saya bertanya ini: di mana masjid umat Druze.
Saya sudah tahu. Druze tidak punya masjid. Saya tahu: pegangannya lima rukun Islam: syahadat (bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan dan Muhammad adalah Rasul), salat, zakat, puasa dan naik haji. Tapi tidak pernah menjalankannya.
“Salatnya seperti apa?” tanya saya.
“Ya salat biasa. Seperti orang Islam pada umumnya,” jawabnya.
Saya tidak meneruskan pertanyaan itu. Saya datang tidak untuk berdebat. Yang hanya akan menyinggung perasaan mereka.
Ya sudah. Begitu saja.
Saya kan sudah membaca literatur tentang Druze. Sejak di madrasah dulu. Yang banyak versinya. Bahwa Druze itu Islam: Islam zaman Nabi Ibrahim. Menyebut dirinya Muwahidin.
Saya pun ke makam khusus orang Druze. Tinggal jalan kaki ke lokasi sebelah. Yang juga dijaga tentara bersenjata.
Semula agak menimbulkan kecurigaan sang bersenjata. Untuk apa ada orang asing ke makam. Tapi ia bisa berbahasa Inggris. Mengerti maksud kedatangan saya. Yang tidak akan menuntut balas bagi yang sudah mati.
“Tapi dilarang memotret ya,” pesannya. “Dan harus copot sepatu”.
Tidak masalah. Saya kan sudah biasa copot sepatu. Setiap ke makam kakek buyut saya. Di Takeran, Magetan. Yang bangunannya besar, untuk ukuran kuburan. Bangunan kuno. Yang lantai terasnya mengkilap. Tegel kuno. Bahkan saya harus bersila di situ. Saat bertahlil.
Tapi, bahwa tidak boleh memotret itu masalah besar. Saya ini, ehm, kan wartawan. Meski no signal.
Tapi juga tidak masalah. Saya sudah biasa memotret sambil curi-curi. Teman saya juga sudah saya ajari ‘mencuri’ foto. Kata saya: kalau saya nanti wawancara mereka kan lengah. Anda foto itu, itu, dan itu.
Pun saat saya membaca surah An-Nas di dinding itu. Saya beri kode. Kedipan mata. Agar saya difoto. Itulah hasilnya. Lihat fotonya. Saya berdiri di depan kaligrafi. Tidak terlalu sempurna memang. Tapi ok kan? Ia kan memang wartawan dadakan.
Dari dilarang foto menjadi justru dua orang yang mencuri foto. Saya ikut melakukannya. Sayang kalau tidak. Kuburan ini menarik sekali: banyak cungkupnya. Terbuat dari beton. Seperti kuburan orang Tionghoa. Bentuknya saja yang Arab. Tidak melengkung-melengkung.
Saya pun masuk ke cungkup utama. Makam ulama besarnya. Lepas sepatu. Di terasnya. Seperti ke makam kakek buyut saya: KH Hasan Ulama.
Saya tidak melihat ‘Druze’ di dalam cungkup ini. Nisannya memang besar. Tapi nisan makam Raden Patah juga besar. Yang di Demak, Jateng itu. Bahkan lebih panjang. Nisan kakek buyut saya juga besar. Meski hanya seperempat nisan amir Druze ini.
Ayah saya, yang makamnya juga di komplek makam kakek buyut itu, berpesan: nisannya sederhana saja. Sebagai perwujudan tawadluk pada guru tarekatnya. Cucu kakek buyut itu: Imam Mursyid Muttaqin. Yang meninggal dibunuh PKI. Dalam peristiwa ‘Madiun Affair’ 1948.
Berada di dalam cungkup ulama Druze itu rasanya seperti di makam kyai Buntet Cirebon. Banyak al Quran di situ. Juga banyak sajadah salat. Karpet terhampar di sekitar nisan.
Saya berdoa sejenak. Untuk yang di makam itu. Apa pun agamanya. Entah ia Islam atau bukan Islam.
Sopir saya itu, yang kemudian seperti teman itu, semula takut. Ketika saya minta diantar ke pusatnya Druze. Tapi uang mengalahkan rasa takutnya.
Apalagi ketika saya minta pergi ke Moukhtara. Ke istana Walid Jumlatt yang jauh di gunung itu. Harus mengemudi jauh ke arah selatan.
Menyusuri pantai selama satu jam. Lalu belok ke gunung. Terus ke gunung berikutnya. Ke gunung berikutnya lagi.
Meliuk-liuk. Menanjak. Selama satu jam. Seperti ke kawasan museum penyair Khalil Gibran.
Hanya saja yang ini di arah sebaliknya: di Lebanon selatan.
Ia takut bukan main. “Nanti kita ditembak,” katanya. Berkali-kali.
Sambil tidak yakin saya mengerti peringatannya. Lalu menunjukkan gerakan tembak-tembakan. Dengan tangan dan jarinya.
All about money. Ia berangkat juga.
Sampailah saya ke istana Kamal Jumlatt itu. Yang kini ditempati anaknya, Walid Jumlatt.
Takut sekali. Sopir saya itu.
Saya tahu. Atau menduga. Masih ada trauma di pikirannya. Atau curiga. Akibat cerita yang melegenda.
Permusuhan antara kelompoknya. Dengan kelompok Druze sepanjang masa. Masa lalu.
Memang kami tidak diizinkan masuk. Banyak tentara yang menjaga. Tapi saya santai saja.
Dataran tinggi komplek istana ini indah di mata. Lima jam di situ pun akan saya jalani.
Menunggu redanya ketegangan. Di dalam hati para penjaga itu.
Saya pun menyapa satu persatu orang di situ. Dengan ramah. Saya sapa juga laki-laki tua itu. Yang berpakaian khas orang Druze: celana hitam yang kombor di selangkangannya. Dengan penutup kepala putih. Seperti topi haji. Tapi kecil. Seperti Yahudi.
Luar biasa. Druze tua itu baik sekali. Ramah sekali. Saya justru diajaknya masuk kantin. Yang menjadi bagian istana. Sopir saya ikut. Sambil takut-takut.
Padahal saya justru disuruh makan. Alhamdulillah. Istrinya yang menyajikan makanan: nasi hitam berminyak. Entah makanan apa itu. Saya kuatkan tenggorokan saya. Untuk bertekad memakannya. Apa pun rasanya nanti.
Saya robek juga roti tipis yang lebar itu. Betapa pun liatnya.
Saya sendok pula acar zaitun itu. Betapa pun asin kecutnya.
Ternyata itulah nasi bulgur. Baru sekali ini saya akan makan bulgur.
Waktu saya kecil kata bulgur itu terkenal. Dan tercemar. Sudah sering saya mendengarnya. Orang desa ramai membicarakannya. Dengan nada menghina. Dan melecehkannya.
Waktu itu akhir zaman pemerintahan Bung Karno. Tidak ada bahan pangan. Kelaparan di mana-mana. Tidak ada beras. Biasanya, kalau tidak ada beras, terpaksa makan nasi jagung. Tapi jagung juga tidak ada.
Biasanya kami masih bisa dapat bahan makanan yang terjelek: gaplek. Singkong yang dikeringkan. Lalu ditepungkan. Dibuat tiwul. Itulah ‘kasta’ makanan yang paling rendah.
Tapi, zaman itu, gaplek pun tidak ada. Pemerintah membagi sesuatu yang sangat asing. Untuk pegawai negeri. Disebut ‘beras bulgur’.
Orang desa sangat membencinya. Tidak enak di rasa. Terhina di dada. Istilah ‘sampai makan beras bulgur’ adalah menunjukkan betapa kelaparannya manusia.
Kami tidak mau makan bulgur pembagian itu. Kami pilih makan ganyong. Umbi-umbian yang batang dan umbinya mirip lengkuas.
Atau umbi lain. Yang masaknya sangat sulit: agar tidak gatal di lidah. Saya lupa namanya. Please.
Mencari umbi tersebut juga sulit. Saya harus ke bawah-bawah rimbunan bambu liar. Menggali-nggali tanah di situ. Kadang dapat. Kadang tidak.
Itulah zaman susah. Dulu.
Kini saya juga lapar. Saat tiba di istana Druze ini. Berangkat dari Beirut tadi saya tidak makan pagi. Hanya makan buah srikaya. Yang banyak sekali di Beirut. Dan enak sekali rasanya. Dan murah sekali harganya.
“Siapa yang masak bulgur ini?” tanya saya ke Druze tua itu.
“Hia,” jawabnya. Sambil menunjuk istrinya. ‘Hia’ adalah bahasa Arab untuk ‘dia’.
Sedang ‘hua’ bahasa Arab untuk ‘ia’.
“Enak sekali,” kata saya. Tidak mewakili tenggorokan saya.
“Syukron jazila,” kata saya lagi.
Druze tua itu tersenyum. Menerima ucapan terima kasih saya dengan sangat senang. Pun isterinya.
Saya ternyata dianggapnya bisa makan bulgur. Bulgur di Lebanon tidak ada hubungannya dengan status kaya-miskin.
Selama saya makan itulah. Beberapa petugas keamanan keluar masuk kantin. Melihat saya. Bertegur sapa.
Ternyata kantin itu bagian dari dapur istana. Yang memasakkan seluruh petugas keamanan di situ. Sekitar 40 orang banyaknya. Druze tua tadi, dan isterinya tadi, adalah juru masaknya. Bereslah.
Selesai makan itu saya dipersilakan masuk istana. Bahkan tidak perlu mengajari sopir mencuri foto. Saya dibebaskan memotret apa saja.
Sopir saya pun boleh ikut masuk. Ia bersorak keras. Di dalam hati. Dengan semangat lautan api. Meluap. Riang gembira. Luar biasa. Jauh dari bayangannya yang menakutkan.
Ia mengambil foto melebihi saya. Minta difoto pula. Tidak habis-habisnya. Termasuk dengan tentara Druze yang semula menakutkannya.
Nanti, dalam perjalanan kembali ke Beirut, hebohnya bukan main. Sopir saya itu sangat-sangat happy. Ia tilpon teman-temannya. Ia ceritakan kehebatan dirinya: bisa masuk istana Druze di Moukhtara. Ia kirim foto-fotonya. Lewat HP-nya.
Itulah perjalanan lintas batas yang jauh. Baginya. Dari benua Hisbullah. Ke benua Druze.
Saya sendiri sibuk mengamati semua bangunan ini. Dan ruangan-ruangannya.
“Ini ruang khusus,” kata petugas istana.
Di ruang itu ada lukisan Kamal Jumlatt naik kuda. Besar sekali. Dengan heroiknya. Dengan pangkat-pangkat ala Bung Karnonya.
“Biasanya beliau dulu duduk di situ. Menerima pengaduan masyarakat umum,” tambahnya.
Itu adat kerajaan Arab di masa lalu. Rakyat jelata pun bisa langsung mengadu ke raja.
Langsung. Pada hari-hari yang ditentukan. Tanpa seleksi atau mobilisasi.
Tentu saya juga banyak ambil foto. Termasuk foto pohon zaitun tua. Yang baru setahun dipindah ke situ.
Begitu besar pohon zaitun ini. Begitu tua tongkrongannya. Bandingkan dengan pohon zaitun pada umumnya. Yang hanya seperti pohon lamtoro. Bahkan lebih kecil dan pendek lagi.
Saya juga tertarik pada bangunan baru. Yang menempel serasi di istana itu. Dengan arsitektur postmonya.
Lamat-lamat terbaca tulisan Arab ‘Allah’ di atas sana. Lalu terbaca tulisan ‘Nas’ jauh di bawah sana. Menandakan Tuhan dan Manusia. Ternyata itu masjid.
Saya kaget. Druze punya masjid. Setengah tidak percaya. Saya masuk ke dalamnya. Masjid beneran.
Banyak Quran. Banyak rehal –tempat baca Quran— di lantai.
Saya buka Quran itu. Tidak ada beda. Tapi juga tidak ada orang salat di dalamnya.
“Itu masjid Druze?” tanya saya. “Bukan. Itu masjid moslem biasa,” jawab tentara di pos penjagaan itu.
Oh. Begitu. Ya sudah.
Druze memang tidak punya masjid. Tapi dibangunnya masjid di istana Druze ini pertanda-pertanda. Mendekatkan yang sebenarnya sudah dekat. (dis)