Dobel Alhamdulillah

Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Saya sengaja pilih tidur. Biar pun ternyata ok: habis maghrib sudah bisa tiba di Istanbul. Masih bisa ikut rame-rame malam tahun baru. Yang di Istanbul mestinya luar biasa.

“Tadi saya kira kita baru tiba setelah jam 00.00,” ujar Mustofa, sopir saya. “Saya tidak menyangka sudah ada otoban,” tambahnya.

Otoban adalah jalan tol. Nama resminya Otoyol. Nama resmi dalam bahasa Inggrisnya Motorway. Tapi semua orang Turki menyebutnya otoban. Mengadopsi jalan bebas hambatan di Jerman: Otobahn. Bedanya: Otobahn Jerman itu gratis.

Mustofa sendiri lahir di Jerman. Dari orang tua Turki. Lima juta orang Turki ada di Jerman. Termasuk Mesut Ozil (Arsenal) dan Emre Can (Liverpool yang entah di mana sekarang).

Hubungan Jerman – Turki memang mendalam. Di masa sulit dulu. Sejarah menyebut Jerman berhutang nyawa ke Turki. Yang selalu membantu Jerman. Dalam perang apa pun.

Bersama sopir Mustofa ini asyik. Masa kecilnya di Frankfurt. Ia pernah 20 tahun di Istanbul. Lalu pindah kerja ke Izmir.

Saat liburan ke Antalya ia jatuh cinta. Memilih rumah masa depan di Antalya.

“Istanbul terlalu ruwet,” katanya. Maksudnya: kotanya terlalu besar. Dengan segala problem metropolitannya. “Izmir juga indah. Tapi kelembaban udara Antalya lebih baik,” katanya

Mustofa punya rumah empat kamar. Di apartemen lima lantai. Di Pusat kota Antalya.

“Setelah tiga putri saya kawin  istri saya susah,” kata Mustofa. “Harus bersih-bersih empat kamar,” katanya.

Antalya adalah kota pantai khas mediteranian. Mirip Beirut atau Monaco. Pantai bertebing. Seperti Pecatu, Bali.

Saya tidak usah ragu dengan kemampuannya di belakang kemudi. Meski badannya ‘ndut’. Ia sudah beberapa kali ke Makkah. Jalan darat. Mengemudi bus. Istanbul – Makkah ia tempuh dalam lima hari. Lewat Bagdad. Pernah juga lewat Syiria dan Lebanon.

Mustofa lah yang akhirnya menemani saya ke Ephasus. Ke rumah Bunda Maria di sisa hidupnya. Setelah Jesus disalib.

Mustofa juga yang menemani saya ke Izmir. Yang ternyata saya juga ditunggu mahasiswa kita di sana. Yang juga harus minta maaf. Tidak sempat menemui mereka.

Sebagai orang Antalya, Mustofa tidak tahu kalau sudah ada Otoyol. Antara Izmir – Bursa. Hampir 100 Km. Yang diingatnya dulu perlu waktu tiga jam. Gunung-gunung ditembus terowongan. Otoyolnya tiga jalur di setiap arahnya.

Menjelang Bursa memang harus masuk jalan lama lagi. Tapi sebenarnya tidak kalah dengan Otoyol. Kualitas jalan umum di Turki mirip jalan tol kita. Bahkan lebih mulus. Hanya sesekali harus terkena lampu merah. Saat melewati kota-kotanya.

Dari Bursa ke Istanbul pun kini sudah sepenuhnya Otoyol. Mustofa juga belum tahu itu. Baru dibuka 1 Desember lalu. Di jalur ini harus dibangun jembatan panjang. Melintasi tekukan laut Marmara. Lalu masuk terowongan Bosphorus. Yang panjangnya 5 Km. Yang dalamnya 106 meter di bawah daras laut. Yakni laut sempit yang memisahkan benua Asia dengan Eropa.

Tapi saya minta dilewatkan jembatan saja. Meski memutar 20 menit lebih lama. Saya kangen lihat selat Bosphorus. Dari atas jembatan. Yang sangat indah. Toh saya sudah pernah melewati tunnel baru itu. Minggu lalu. Saat menuju stasiun kereta jurusan Ankara.

Pemandangan di bawah jembatan Bosphorus lebih menakjubkan dibanding Golden Gate San Francisco. Lebih mistis.

Membuat saya ingat sesuatu. “Tidak usah ikut pesta tahun baru,” kata hati saya.

Saya pun ingat kejadian tepat setahun lalu. Di tanggal yang sama. Saya tergeletak sakit di rumah. Hanya ditemani isteri. Anak-cucu baru meninggalkan Makkah. Menuju Florida. Bertahun baru di sana.

Saya dan isteri mestinya bersama mereka. Tapi ada musibah. Ketika di Madinah dada dan punggung saya sesak. Luar biasa menyiksa. Sulit bernafas.

Saya minta dilarikan ke rumah sakit. Saya mengira terkena serangan jantung.

Dokter Madinah memeriksa jantung saya. Dengan alat-alat modern. “Jantung Anda istimewa. Pulang saja. Nanti sembuh sendiri,” katanya.

Saya tidak mau pulang. Lalu disuntik morphin. Masih tetap sesak. Tapi nyerinya berkurang.

Saya putuskan: biar anak-cucu ke Makkah. Saya dan istri beli tiket baru: kembali ke Surabaya. Dengan dada masih  nyeri sepanjang penerbangan.

Dari bandara Juanda saya langsung masuk RS. Di internasional NH Surabaya barat. Tiga hari opname di situ. Juga tidak ditemukan apa-apa. Padahal tetap belum bisa b-a-b. Sudah satu minggu.

Sampailah saya ingat Maulana Jalaluddin Rumi. Dan guru sufi saya di Indonesia.

Tengah malam itu saya melakukan kegiatan spiritual. Istri saya menghitung. Saya tidak mau tasbih mengganggu konsentrasi.

Pagi harinya saya bisa b-a-b. Lalu minta keluar RS. Dirawat istri saja di rumah. Dibikinkan tajin. Agar ada nutrisi masuk sistem.

Saya bermalam tahun baru berdua saja. Di tempat tidur. Anak-menantu memonitor lewat iPhone.

Robert Lai terus khawatir. Memaksa saya ke Singapura. Teman baik saya itulah yang  mengatur semuanya. Anda pun sudah tahu. Dokter di sana mengatakan bahwa saya sangat beruntung. Tidak meninggal saat di Madinah. Atau di penerbangan panjang kembali ke Indonesia. Ditambah ke Singapura. Mestinya saya dilarang naik pesawat. Dalam kondisi kritis seperti itu: pembuluh darah utama saya (aorta) ternyata pecah. Sepanjang 50 cm.

Kisah selanjutnya Anda sudah tahu: ada di disway edisi pertama sampai edisi akhir  Februari tahun lalu.

Kini, setahun kemudian saya ada di Istanbul. Dari pedalaman-pedalaman Turki.

Begitu melihat dalamnya laut Bosphorus saya menetapkan hati: salat dulu di Blue Mosque. Lalu tidur. Tidak perlu melihat pesta tahun baru. Apalagi ikut merayakannya.

Tidur lebih baik dari melek. Untuk kondisi saya yang seperti itu. Yang setahun lalu seperti itu.

Tahun baru. Apalah artinya. Tanpa mengisinya. (dis)