
Keberadaan situs dan makam tua di Negeri Betuah mulai didata kembali oleh Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kayong Utara untuk data base.
Kamiriluddin, Sukadana
eQuator.co.id – Dinas Pendidikan Kayong Utara menelusuri berbagai makam serta peninggalan sejarah di wilayah kerjanya. Mulai dari Desa Matan hingga Karimata.
“Kita akan melakukan survey dan pendataan ulang untuk dibuat data base,” ujar Jumadi Gading, Kepala Bidang (Kabid) Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kayong Utara di Sukadana, Rabu (15/2).
Pendataan ini, diakuinya, merupakan tindak lanjut dari amanah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam undang-undang ini, cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan. Berupa cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya dan kawasan cagar budaya di darat dan atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya. Karena memiliki nilai penting bagi sejarah dan keilmuan.
“Untuk perlakukan baik yang masih terduga cagar budaya, perlakukannya sama dengan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Hal ini sesuai amanah undang-undang,” jelas pria yang sebelumnya menjabat sebagai Kasubag Humas dan Protokol Setda Kayong Utara ini.
Tim Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan, belum lama ini melakukan survey terhadap beberapa situs dan cagar budaya yang ada di Desa Matan, Kecamatan Simpang Hilir. Di desa ini tim menelusuri situs sejarah yang berkaitan dengan Kerajaan Simpang Matan. Diantaranya, makam panglima perang Ki Anjang Samad di Dusun Serindit. Makam ini kondisinya cukup baik, karena tiang nisannya telah diganti oleh masyarakat. Namun pendopo makam, kondisinya masih memprihatinkan.
“Tahun ini, Bidang Kebudayaan ada beberapa program kegiatan. Di antaranya, pembangunan pendopo makam Ki Anjang Samad. Kita akan pelihara keberadaan makam ini untuk menjadi wisata sejarah dan budaya, serta tempat belajar bagi para arkeolog,” tutur Jumadi.
Selain makam Ki Anjang Samad, di Desa Matan juga terdapat makam penyebar agama Islam di zaman kerajaan, yakni Said Kubra. Makam Said kondisinya sangat terawat, karena berada persis di perkampungan Desa Matan dan berada di pemakaman umum. Makam ini hanya memerlukan pembangunan pendopo. Karena kondisi pendopo yang lama sudah mulai rusak.
“Pembangunan pendopo makam Said Kubra juga akan kita lakukan tahun ini. Hal ini sesuai dengan usulan dari masyarakat setempat,” paparnya.
Di Desa Matan banyak sekali peninggalan dan situs sejarah yang perlu dirawat serta dilestarikan. Di antaranya, terdapat lesung penumbuk bedak anak raja simpang. Lesung ini kondisinya masih bagus dan dirawat warga sekitar. Mereka juga meyakini lesung tersebut masih memiliki kekuatan magis.
“Lesung anak raja ini tidak boleh terkena benda kotor atau najis. Orang yang mencoba melakukannya diyakini warga akan sakit,” cerita Jumadi.
Di Desa Matan juga terdapat sejumlah makam kuno yang tidak diketahui siapa yang bersemayam di dalamnya. Kalau dilihat dari arsitektur dan ukiran pada tiang nisan, diyakini makam-makam ini merupakan peninggalan zaman Kerajaan Simpang.
“Masih banyak sekali peninggalan sejarah dan cagar budaya yang perlu kita lestarikan di Kayong Utara. Kami meminta kepada masyarakat, apabila menemukan makam-makam tua serta peninggalan lainnya. Untuk melaporkan ke Bidang Kebudayaan untuk kita catat dan diusulkan menjadi cagar budaya kabupaten,” harap Jumadi.
Budayawan Kayong Utara, Hermanto mengungkapkan, Desa Matan bekas ibukota kerajaan Matan Tanjungpura. Banyak meninggalkan situs-situs bersejarah di sana. Kalau tidak segera diselamatkan, maka akan hilang karena alam atau ulah manusia tak bertanggungjawab.
“Makam-makam kuno dari batu maupun kayu, tidak terurus. Bahkan mahkota nisan batu ada yang pecah dan terpotong. Di sinilah perlu peran pemerintah daerah untuk menjaganya bersama masyarakat,” saran Hermanto, Ketua Sanggar Tuah Kayong.
Apalagi, lanjutnya, Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan akan melatih juru kunci makam maupun situs-situs bersejarah di Kayong Utara. “Diharapkan juru kunci yang dipilih, orang yang dituakan atau yang paham situs-situs bersejarah itu. Jangan hanya ada saja,” harap Hermanto. (*)