eQuator.co.id – Pontianak-RK. Ojek online sudah mendominasi jalan-jalan di Kota Pontianak. Walau begitu, ibarat dua sisi mata uang, meski inovasi ini diakui memudahkan masyarakat, pebisnis angkutan konvensional merasa dirugikan dari segi regulasi.
Kehadiran transportasi online di Kota Pontianak diakui berefek negatif bagi transportasi konvensional. Akibatnya, pengusaha-pengusaha angkutan konvensional meminta pemerintah mengambil peran mengatasi hal ini.
“Berdampak pasti berdampak, kita serahkan kepada pemerintah, kita masih yakin pemerintah bisa menyelesaikannya,” ungkap Ketua DPD Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kalbar, Adhie Rumbee, beberapa waktu lalu.
Disebutkan Adhie, sejak tahun 2014, transportasi online sudah berkiprah di Indonesia. Undang-Undang yang ada diobok-obok tapi dibiarkan. Kata dia, berbeda dengan Organda yang sudah memiliki dan mengikuti aturan. Jangankan menyalahi aturan, salah parkir saja diberikan tindakan atau ditilang.
“Mengapa ini yang mengobok Undang-Undang dibiarkan?” ujarnya.
Transportasi konvensional saja, dikatakannya, tidak mudah untuk masuk dalam terminal, tidak mempunyai surat pengujian kendaraan bermotor (KIR) diberikan tindakan. Sedangkan transportasi online yang tidak memiliki dokumen negara seperti itu bisa menginjak hak-hak hukum di Indonesia.
“Penegak hukum saya yakin belum tidur, oleh karena itu saya berharap para pelaku yang mau cari makan di Indonesia, yang masih ada hukum dan aturan yang berlaku, harus mematuhinya,” pinta Adhie.
Dijelaskannya, taksi dan angkutan konvensional sebelum beroperasi harus mengajukan beberapa persyaratan. Salah satunya, izin trayek ke Dinas Perhubungan, setelah itu melewati sejumlah prosedur lainnya sebelum disetujui. Ada lagi syarat yang harus diikuti, yaitu STNK atas nama perusahaan, kendaraan harus layak jalan (KIR), ada tempat usaha, punya izin bengkel, dan harus memiliki asuransi terhadap para penumpang.
Tidak hanya itu, ia menambahkan, apabila meminta izin usaha harus melampirkan beberapa syarat. Yakni PBB harus lunas.
“Sudah berapa tahun ini (ojek online,red) dibiarkan, mudah-mudahan negara ini masih mampu menegakkan hukum, UU lalulintas angkutan jalan raya No. 22 tahun 2009 diobok-obok, kok tidak ada tindakan?” tanya dia.
Imbuh Adhie, “Jadi akibat ini, tentu pengusaha angkutan (konvensional) mengalami kerugian banyak. Kita harapkan pemerintah tegas dalam menjalankan Undang-Undang”.
Di sisi lain, ketika dimintai pendapatnya, pakar ekonomi dari Universitas Tanjungpura (Untan), Prof. Dr. Eddy Suratman, menganalisa bahwa keberadaan transpotasi berbasis online dapat membantu menciptakan lapangan perkerjaan. Selain itu pengguna jasa layanan ini mendapatkan kemudahan. Sangat efisien, cukup membuka aplikasi di smartphone, orang tidak lagi menunggu oplet atau angkot (angkutan kota) terlalu lama.
“Membantu mengurangi angka pengangguran, mempercepat pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan transportasi. Bahkan makanan pun bisa dipesan langsung dari rumah, di Sabtu-Minggu misalnya, tidak perlu keluar kalau lagi malas keluar. Di negara maju memang sudah seperti itu,” ujarnya dihubungi Rakyat Kalbar, Sabtu (17/2) sore.
Meski demikian, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Untan ini menyebut perusahaan jasa layanan transportasi online tetap harus ikut aturan. Seharusnya melaporkan keberadaannya kepada pemerintah daerah.
“Induknya mesti melapor, dia ada di kota Makassar, dia harus melapor ke Wali Kota Makassar (pemerintah kota), dia ada di Kota Medan, dia harus melaporkan ke Walikota Medan. Begitu pula kalau dia di Pontianak,” jelas Eddy.
Yang dilaporkan seperti berapa jumlah pengendara (driver) sepeda motor dan mobil yang terdaftar dalam perusahaan ojek online itu. Sebab, jika tidak dilaporkan, akan sulit melacak si driver jika melakukan kejahatan.
Beberapa kasus kriminal yang dilakukan driver online tak luput dari pantauannya. Seperti pelecehan seksual dan kejahatan lainnya. Ada juga pelaku kejahatan menggunakan aplikasi transportasi online untuk merampas sepeda motor si driver online.
“Melaporkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dan penyedia jasa sendiri. Kalau sudah melaporkan dengan benar, jika terjadi tindak pidana, akan mudah melacak dan mengejar pelakunya, siapa pun dia,” paparnya.
Ia menjelaskan, perekonomian berbasis Informasi Teknologi (IT) ini merupakan kebutuhan zaman dan tidak akan bisa dibendung atau tidak bisa dielakkan lagi. Jadi masyarakat harus memanfaatkan IT ini.
“Ini lahannya anak muda, lahannya orang-orang kreatif, UKM, rumah makan, dan sebagainya bisa berkerja sama dengan transportasi online ini untuk memasarkan produknya,” pungkas Eddy.
Jelas memang, patut diakui, keberadaan ojek online memudahkan masyarakat Pontianak. Banyak jasa yang ditawarkan oleh mereka. Mulai dari mengantarkan orang maupun dokumen hingga membelikan makanan dan barang. Dari jarak terdekat kurang dari 1 KM sampai pada jarak terjauh lebih kurang 25 KM. Untuk kawasan Kota Pontianak dan sekitarnya, dalam sehari ojek online dapat mengantar 12-20 pesanan/trip setiap harinya.
Tapi, tahukah Anda, walau terkesan mudah, jadi ojek online ternyata tak sepenuhnya menyenangkan. Tokh, disadari setiap perkerjaan pasti ada risiko yang harus dihadapi.
Kisah sedih datang dari Gunawan. Driver ojek online perusahaan Gojek ini belum lama ditipu pelangan. Dikerjai istilah lebih tepatnya.
“Aduh mbak, kalau cerita itu kesal saya rasanya. Begini, saya kan dapat orderan Go Shop, disuruh beli barangnya di butik. Saya beli tu mbak, krim kecantikan dan obat-obatan yang dipesan. Eh, pas saya antar ke alamatnya gak ada,” tutur Gunawan, Kamis (15/2).
Hal yang lebih disesalkannya adalah ketika mengetahui bahwa penjual dan pembeli yang memesan jasanya ternyata kerja sama. Sebab, ketika dibuka isi kotak krim yang dibelinya adalah obat alergi dan penahan rasa sakit untuk perempuan yang sedang haid.
“Saya balik lagi ke penjualnya, orangnya udah ndak ada. Ternyata penjual krimnya itu hanya nyinggah di butik itu, pura-pura lihat baju di sana,” bebernya.
Imbuh dia dengan nada sedih, “Yang lebih meyakitkan hati, barangnya dibuka ternyata Amoxilin sama Asam Famelat buat cewek. Berarti kan penjual dan pembeli kerja sama ngerjain saya. Rp200 ribu lah abis”.
Belum selesai sampai di situ. Dalam mencari rezeki, driver ojek online ini juga harus bersaing dengan 4.000 orang sesamanya. Bahkan, akhir-akhir ini muncul yang namanya aplikasi tuyul.
“Jadi, ni ye mbak, ada yang namanya aplikasi tuyul. Kalau kita ni harus tunggu dulu pelanggan baru kerja. Tapi kalau mereka yang tuyul itu gak pakai tunggu lagi, habis antar langsung dapat lagi orderan. Jadi aplikasinya itu dihack. Jadi gak fair gitu. Pihak agennya juga gak bisa ngapa-ngapain,” tutur Gunawan.
Pekerjaan ini bisa diminati hingga 4.000 an orang bukan karena keuntungan ketika mengantar atau mendapat pembayaran jasanya. Bonus jika memenuhi target perhari lah yang dikejar para ojek online, selain tentu saja jam kerja yang fleksibel. Menurut Gunawan, bonusnya lumayan besar jika dapat tutup poin, sekitar Rp3-5 juta.
Driver ojek online ini juga memiliki kisah inspiratif. Datang dari seorang mahasiswa yang nyambi kerja, Rumadi. Ia mampu hidup mandiri sekaligus membantu ekonomi keluarganya.
“Saya cukuplah untuk hidup. Orang tua dukung. Kamu kerja yang penting bisa tanggung jawab, bisa bantu keluarga gak apa-apa,” tutur Rumadi.
Mahasiswa jurusan teknik informatika ini juga telah mampu membiayai kuliahnya. Bahkan membayar cicilan rumah yang kini ia tempati.
“Dari penghasilan ojek sekarang, ya cukuplah untuk bayar kuliah semester. Saya sekarang kan sudah punya rumah BTN, jadi uangnya untuk bayar rumah sendiri,” tuturnya.
Dari penuturan rekan-rekan Gunawan dan Rumadi yang ditemui Rakyat Kalbar, harapan driver ojek online ini tak banyak. Yakni penyesuaian tarif, penghapusan aplikasi tuyul, serta mendapat bintang 5 dari pengguna jasa yang puas dengan layanan mereka.
Laporan: Maulidi Murni, Ambrosius Junius, Suci Nurdini Setiawati
Editor: Mohamad iQbaL