eQuator.co.id – Pontianak-RK. Walikota H. Sutarmidji, SH, M.Hum tak tinggal diam, ketika Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Pontianak menggugatnya ke Pengadilan Negeri (PN) Pontianak. Walikota dianggap tidak bersedia membayar honor anggota BPSK.
Sebaliknya, Sutarmidji bahkan mengancam akan melaporkan balik para anggota BPSK. Karena mereka telah menggungat serta melaporkannya ke pihak kepolisian atau kejaksaan dengan tudingan dugaan penyalahgunaan item anggaran.
“Kita lihat nanti, siapa yang benar. Saya akan serahkan data ini kepada kejaksaan atau kepolisian untuk ditindaklanjuti. Ini jelas salah, karena itu uang operasional, bukan untuk honor, tetapi untuk kelancaran kegiatan BPSK,” tegas Sutarmidji dalam keterangan pers di kediamannya, Rabu (7/12).
Sutarmidji menjelaskan duduk perkara dalam kasus yang menjadi materi gugatan terhadap dirinya. Diakuinya, sejak awal, Pemkot Pontianak diminta membentuk BPSK. Saat itu, pembentukan BPSK juga disetujui oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi (Disperindagkop) dan UKM Kota Pontianak.
“Saya diminta untuk membuat surat kesanggupan untuk menyediakan sarana dan prasarana, sesuai dengan kemampuan daerah. Sekali lagi, sesuai dengan kemampuan daerah,” tegasnya.
Kemudian, setelah terbentuk, Pemkot Pontianak menganggarkan dana operasional BPSK melalui APBD. Meskipun tergabung dalam BPSK Kota Pontianak, namun Surat Keputusan (SK) para anggota bukan dari Walikota Pontianak, tapi dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan. Walikota Pontianak hanya dalam posisi bersedia menyediakan sarana dan prasarana serta operasional. “Maka pemahaman saya, itu tidak termasuk honor di dalamnya,” jelasnya.
Permasalahan mendasar yang ada pada BPSK Kota Pontianak, menurut Sutarmidji, lembaga tersebut wajib membentuk sekretariat yang diketuai oleh seorang sekretaris. Namun kenyataannya, hingga kini sekretariat itu tidak pernah dibentuk, sehingga Pemkot Pontianak tidak bisa mengucurkan dana operasional untuk BPSK.
Alasannya jelas, dana operasional tidak bisa dikeluarkan, karena tidak ada sekretariat sebagai pengelola dana operasional. Sedangkan ketua dan anggota BPSK tidak berhak secara langsung menggunakan uang itu, seolah-olah ketua merangkap bendahara, merangkap juga sekretaris.
“Saya tidak mau itu. Karena uang APBD itu uang negara. Penggunaannya harus berdasarkan aturan. Sekalipun di dalam hibah kita bisa memberikan di tahun 2013, tetapi karena sekretariatnya tidak dibentuk, kita tidak keluarkan. Demikian pula tahun 2014,” papar walikota dua periode tersebut.
Karena tidak dikeluarkan dana itulah, orang-orang yang tergabung dalam BPSK melaporkannya ke Ombudsman RI. Kemudian Ombudsman, lanjut Sutarmidji, meminta Pemkot Pontianak mengucurkan dana operasional untuk BPSK. Atas dasar itu, Pemkot mengeluarkan bantuan operasional dalam bentuk hibah sebesar Rp150 juta pada tahun 2015. Dan pada tahun 2016, BPSK menuntut kembali bantuan serupa. Tapi Sutarmidji tidak mau, dengan alasan selain tidak ada sekretariat, hibah tidak dapat dilakukan terus menerus.
“Padahal ketentuan dari Kementerian Dalam Negeri dalam penyusunan dan pemanfaatan hibah, tidak boleh dikeluarkan secara terus-menerus. Selain itu, disebabkan sekretariatnya tidak ada, saya tidak berani mengeluarkan biaya operasional bagi BPSK,” ungkap Sutarmidji.
Sementara dana operasional Rp150 juta bantuan hibah dari Pemkot tahun 2015 lalu, sebagian besar, bahkan hampir seluruhnya digunakan untuk membayar honor pegawai BPSK. Honor yang mereka terima masing-masing berkisar Rp3 juta hingga Rp3,5 juta.
“Saya tidak pernah meng-SK-kan honorer BPSK itu senilai Rp3 juta-Rp3,5 juta per orang. Dasarnya apa, menentukan honor senilai itu? Kalau berdasarkan harga satuan yang dikeluarkan, tidak ada nomenklatur untuk BPSK di dalamnya,” ujar Sutarmidji.
Berbeda dengan lembaga yang bertugas mengawasi masalah lelang dan lain sebagainya, memuat SK walikota terkait besaran honor yang mereka terima, sehingga dianggarkan setiap tahunnya. Namun tidak dengan BPSK. “Sebab kewajibannya hanya diminta untuk menyerahkan anggaran operasional,” jelas Sutarmidji.
Dengan dasar itulah, Sutarmidji mengaku tidak gentar menghadapi gugatan BPSK terhadap dirinya. Menurutnya, penggunaan dana operasional senilai Rp150 juta itu salah, jika dilihat dari sisi hukum. Sebab dana itu diperuntukkan bagi uang operasional, tidak boleh digunakan untuk membayar honor. Selain itu, tidak ada standar dalam menetapkan honor tersebut.
Ia menyatakan, akan melayani gugatan BPSK ke pengadilan, meskipun gugatan itu dinilainya salah alamat, sebab ditujukan ke Menteri Dalam Negeri, Gubernur Kalbar dan dirinya selaku walikota. Sebab, SK BPSK Kota Pontianak dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan.
“Ini tidak termasuk ranahnya perdata, tetapi ranahnya administrasi. Karena tidak ada di dalamnya disebutkan masalah honor, baca betul-betul, yang ada dana operasional,” jelasnya.
Merasa benar, Sutarmidji pun mengaku tidak peduli berapa besar uang yang akan didugat. Yang jelas, dia akan menindaklanjuti gugatan ini ke proses hukum.
“Silakan BPSK untuk menggugat, mau Rp8 miliar, Rp10 miliar atau Rp100 triliun, silakan. Tapi saya akan serahkan kepada kejaksaan, bahwa penggunaan uang senilai Rp150 juta dari sisi hukum, menurut saya itu salah. Karena tidak boleh digunakan untuk membayar honor tetapi (tetap) digunakan untuk membayar honor,” katanya.
Laporan: Fikri Akbar
Editor: Hamka Saptono