Digital EO

Oleh: Joko Intarto

eQuator.co.id – Anda pasti sudah paham dengan istilah EO atau event organizer. Lembaga yang bertugas menyelenggarakan acara. Bagaimana model EO dua atau tiga tahun lagi?

Bidang garapan EO begitu luasnya. Maka beberapa di antaranya mulai membuat spesialisasi. Ada yang fokus menjadi wedding organizer. Hanya mengelola event pesta pernikahan. Tidak mengerjakan event lain.

Hanya mengelola wedding party saja ada yang sampai kewalahan. Mas Imam, sahabat baik saya yang mantan tukang foto keliling, mengelola perusahaan wedding organizer besar. Rekor MURI mencatatnya: menyelenggarakan 1.300 kali pesta perkawinan dalam setahun. Rata-rata 4 pesta per hari. Edan!

Dalam event korporasi, meeting, training dan seminar merupakan kegiatan yang sangat besar frekuensinya. Bulan lalu saya diundang presentasi pengelolaan meeting dan training online oleh direksi sebuah perusahaan.

Di perusahaan itu, rata-rata ada 5 meeting per minggu. Itu kelas weekly meeting. Ada lagi three monthly meeting dan yearly meeting. Ada pula training, sertifikasi, uji kompetensi dan seminar. Biayanya gak tanggung-tanggung: Rp 52 miliar setahun!

Sebanyak 80 persen biaya itu habis untuk bayar tiket perjalanan, sewa gedung pertemuan, bayar catering dan penginapan.

Bagi perusahaan itu, angka Rp 52 miliar tidak besar-besar amat. Labanya saja triliunan rupiah per tahun.

Tapi sekarang cara pandanganya berbeda. Usahanya bukan mengecil. Untungnya juga tidak turun. Tapi persaingan makin keras. Karena muncul pemain-pemain baru. Yang juga raksasa. Dengan efisiensi biaya operasi yang lebih baik.

Mempertahankan cara lama bisa mengurangi kemampuan kompetisi perusahaan. Maka harus dicari cara baru. Metode baru. Agar lebih efisien di semua bidang.

Salah satu yang dipangkas adalah: biaya meeting. Bukan dengan mengurangi frekuensi meeting. Tapi dengan mengubah metode meeting. Dari offline menjadi online. Dari konvensional menjadi digital.

Meeting offline tetap ada. Tapi frekuensinya berkurang. Meeting harian konvensional ditiadakan. Diganti daily online meeting. Rapat tradisional hanya diadakan per tiga bulanan dan tahunan.

Dengan mengubah metode rapat saja, perusahaan itu bisa menghemat biaya akomodasi lebih dari Rp 30 miliar setahun. Memang ‘tidak seberapa’ dibanding volume bisnisnya. Tapi dana sekecil itu bila dibagikan sebagai bonus akhir tahun bagi karyawan kan lumayan juga?

Rupanya, situasi krisis ekonomi beberapa tahun belakangan ini tidak hanya membuat banyak jenis usaha gulung tikar. Ada juga peluang bisnis baru yang muncu gara-gara ekonomi yang sulit.

Situasinya mirip kejadian pada krisis ekonomi menjelang kejatuhan Orde Baru, akhir dekade 90-an yang lalu. Banyak perusahaan ambruk. Yang organisasinya besar. Yang tidak efisien.

Pada saat yang bersamaan, muncul perusahaan-perusahaan baru. Yang didesain kecil dan efisien. Sesuai situasi krisis. Perusahaan baru itu sekarang telah menjadi perusahaan yang kuat. Dengan tetap ramping dan efisien.

Digitalisasi membawa dunia usaha ke babak baru. Yang semula organisasinya sudah ramping dan efisien mendadak jadi kegedean dan boros.

Punya kantor fisik kalah efisien dengan yang kantornya di cloud server. Yang rapat offlinenya sudah hemat kalah hemat dengan online meeting. Dan masih banyak lagi bentuk efisiensi baru gara-gara digitalisasi.

Di sinilah peluang usaha baru itu muncul. Menjadi digital EO. Menjadi penyelenggara semua acara yang memanfaatkan kemajuan teknologi digital. Dalam berbagai bidang.

Delapan tahun lalu, saya  mengawali usaha sebagai production house. Jasa membuat konten-konten video. Lalu mengembangkan jasa siaran langsung. Sejak tiga tahun lalu menyediakan jasa video conference untuk rapat dan training online.

Inilah proses transformasi. Dari conventional EO menjadi digital EO.

Menurut prediksi saya, digital EO akan menjadi bidang bisnis baru. Seiring makin dewasanya usia kaum milenial saat ini.(jto)