Di Balik Ujian-Mu, Ada Kemudahan

Perjalanan Hajiku (5/habis)

PASKATRAGEDI. Menjalani aktivitas dengan menggunakan kursi roda paska Tragedi Mina 24 September 2015. Tengah berada di Masjid Nabawi Madinah, 12 Oktober 2015, Jam 09.02 WAS. ARNINDA IDRIS FOR RAKYAT KALBAR

Sedih ketika kusadari tidak ada lagi yang mengetok pintu kamar dan mengajakku makan keluar. Sedih ketika kamar sepi, hanya bertiga yang tersisa dari anggota reguku.

Semua terasa hampa dan kosong, hari demi hari aku selalu mendapatkan kabar penemuan anggota Rombongan 9 Kloter 14 BTH yang telah diidentifikasi dalam Tragedi Mina 24 September 2015.

 

Arninda Idris, Rakyat Kalbar

 

Makkah, 27 September 2015

eQuator – Paska keluar dari Rumah Sakit, kujalani perawatan dari dokter Kloter 14 BTH di hotel. Tak ada yang boleh menjengukku. Satupun. Dokter khawatir dengan kondisiku yang gampang drop dan down. Hari ketiga, kondisiku membaik, bisa bergerak sedikit-dikit.

Barulah aku boleh dijenguk. Banyak sekali yang datang ke kamarku, tidak hanya dari semua rombongan Kloter 14 BTH. Juga dari kota lainnya. Mereka menjenguk, memberiku semangat agar tidak sedih lagi. Namun, kedatangan mereka juga mengingatkanku pada tragedi itu. Petugas Kloter 14 BTH mengawasiku 24 jam, takut sakitku kambuh.

Siang harinya, ada yang mengetok kamarku. Dikira siapa, ternyata sepupu-sepupuku dari Wonomulyo yang kebetulan sama-sama berangkat haji tahun 2015. Kita ngobrol panjang lebar, di situ aku baru mau makan. Lumayan lama sepupuku di kamar sampai makan bareng setelah itu baru mereka pulang ke hotel. Semua kembali sepi.

Tiba-tiba saja segerombolan wartawan masuk ke kamarku, mereka mulai memfoto dan merekamku, hanya suara lirih aku lontarkan menjawab pertanyaan mereka. Sejurus kemudian, kondisiku mulai drop dan dokter langsung masuk meminta aku ditinggalkan. Inisiatif dari Ketua Kloter dan dokter, aku dibawa ke kamar dokter untuk beristirahat di sana. Malamnya baru dipulangkan ke kamarku.

Makkah, 1 Oktober 2015

Kesedihan menghampiri karena harus melihat koper almarhum abangku, Haji Adryansyah Idris. Selalu terngiang kata-katanya pada awal tiba Makkah, “Bisa mandiri gak dek? Jangan tergantung dengan abang”. Dan, sekarang adek benar-benar sendiri bang, adek gak kuat bang, pengin pulang.

Tapi dipikir-pikir lagi, aku diberikan kesempatan oleh Allah untuk melaksanakan haji. Masa’ aku harus menyia-nyiakan semua itu? Aku harus bisa menyelesaikan ibadahku sampai tuntas. Allah sayang kepadaku, di balik ujiannya yang sangat berat ini pasti aku diberikan kekuatan dan kesabaran untuk menyelesaikan semuanya. Ini rumah-Nya dan aku sakit di rumah-Nya juga.

Menguatkan hati, satu persatu barang almarhum kumasukkan ke kopernya. Dalam hati sangat ingin mengambil oleh-oleh yang sudah dibelinya sebelum berangkat ke Arafah, tapi tak tahu kenapa tanganku sangat berat. Akhirnya, langsung kututup koper itu. Mungkin tanda dari abang, biarlah disimpan dengan rapi di kopernya, jangan diambil. Dua anggota reguku menolong membereskan koper milikku. Bersyukur banget banyak yang mau membantuku.

Makkah, 2 Oktober 2015

Saat aku berada di kamar dokter, aku dijenguk oleh Sekda Kalbar, M. Zeet Hamdy Assovie. Datang beserta istrinya, aku dibawakan penyangga leher yang baru, terbuat dari busa dan bisa dilepas. Tak lama kemudian, aku dijenguk PPIH Arab Saudi, H. Rojak. Beliau ingin melihat perkembangan kondisiku. Alhamdulillah, sudah lebih baik dan bisa bangun walaupun harus dibantu dokter.

Makkah, 5 Oktober 2015

Hari inilah hari terakhirku di Tanah Suci. Besok akan berangkat ke Madinah untuk Salat Arbain.

Dokter, Petugas, dan Ketua Kloter 14 BTH datang menjemputku untuk bersama-sama ke Masjidil Haram melaksanakan Tawaf Ifadah. Wajib hukumnya untuk menyempurnakan haji kita.

Didorong kursi roda, aku melintasi terminal demi terminal. Banyak sekali kemudahan yang aku dapat di sini. Dari bus yang stop tepat di depanku sampai naik ke dalam bus pun dengan mudahnya. Mungkin inilah maksud jika kita bersabar, Insya Allah, akan diberikan kemudahan.

Memasuki Masjidil Haram, hatiku berdegub sangat kencang. Aku baru menginjakkan kaki di sini setelah tragedi itu. Kesedihan menyeruak lagi dalam relung hatiku. Kursi rodaku melaju kencang didorong H. Mahadi. Kami tawaf di lantai 2. Sepi, karena kami datang sudah jam 10 malam Waktu Arab Saudi (WAS).

Selesai Tawaf Ifadah dan Tawaf Wada, aku melanjutkan ke area Sa’i untuk melaksanakan rangkaian selanjutnya. Hanya aku dan H. Mahadi. Dokter dan Ketua Kloter 14 sudah melaksanakan tawaf hari sebelumnya.

Aku melintasi area Sa’i khusus pengguna kursi roda sebanyak tujuh putaran. Aku selalu bertanya, “Masih kuat bang?”, H. Mahadi menjawab, “Kuat…tenang saja bu hajja”. Setelah selesai, kami menghampiri dokter dan ketua kloter yang sedang duduk di pojok. Kami melanjutkan ke depan Multazam untuk berdoa dan berharap. Aku menyampaikan permohonan, “Ya Allah jangan jadikan ini kedatangan terakhirku, panggil aku kembali kerumahMU bersama keluarga dan suamiku, Aaamiin”.

Makkah, 6 Oktober 2015

Persiapan sudah oke. Koper tersusun rapi di depan lift, siap diturunkan. Malam menjelang kami semua turun ke bawah. Satu persatu rombongan dipanggil untuk masuk ke bus yang telah dinomori. Aku duduk paling depan, kakiku diselonjorkan dan ada yang menjaga agar kakiku tidak tersentuh oleh orang-orang yang lewat.

Tepat pukul 20.00 WAS, bus berangkat. Sepanjang perjalanan kami beberapa kali stop, diberikan kue serta minuman. Semua terlihat tidur dengan nyenyaknya, aku tidak. Menahan sakit.

Madinah, 7 Oktober 2015

Pukul 02.00 WAS, tibalah kami di depan hotel wilayah Madinah yang sangat dekat dengan Masjid Nabawi. Masih terlihat gelap, hanya rombongan dari Kloter 14 BTH yang memenuhi jalan ini.

Kami menunggu sampai instruksi dari ketua kloter ada. Sampai Ketua Rombongan 9 yang baru (pengganti abangku) mendapat kunci kamar masing-masing jamaah.

Aku sekamar dengan dua anggota reguku yang tersisa, lantai 9, kamar 903, di situlah aku tidur selama di Madinah. Aku mengambil posisi di kanan dekat jendela. Alhamdulillah, koperku dibawakan seorang bapak.

Madinah, tempat terakhir prosesi perjalanan hajiku. Kembali mencoba bersemangat, tak ingin bergantung pada orang-orang. Aku sempat menelpon keluarga di Pontianak dan mengirimkan foto serta video. Mereka sangat senang karena aku sudah lebih semangat dan segar. Tidak seperti kemarin-kemarin, walaupun aku ditinggalkan jamaah lainnya yang beribadah ke Masjid Nabawi. Aku mengikuti proses ibadah dari TV saja.

Madinah, 8-11 Oktober 2015

Aku berdoa, “Ya Allah, semoga ada yang mengajakku ke Masjid Nabawi untuk salat jamaah, yang mau mendorongkan kursi rodaku, aaamiin”. Tidak lama kemudian, Dr. Hj. Riri, H. Mahadi, H. Joko, dan pembimbing ibadah datang menjemputku di kamar untuk Salat Subuh bareng. Alhamdulillah, doaku terkabul.

Dengan hati senang aku menuju Masjid Nabawi. Walaupun salat di luar, aku sangat bersyukur. Usai salat, aku tidak langsung pulang ke hotel, diajak keliling dahulu.

10 Oktober 2015, subuh kembali datang, aku dan dokter dijemput petugas. Semua jamaah sudah berangkat ke Masjid Nabawi karena mengejar untuk bisa masuk ke dalam. Seusai salat, aku diajak berkeliling di sekitar masjid sampai melihat Makam Baqi dan pusat perbelanjaan.

Minggu menjelang, tepatnya 11 Oktober 2015 pukul 07.00 WAS, kami sudah bersiap-siap di lobi hotel. Kami menuju kebun kurma, di situ aku masuk tapi tidak membeli apa-apa hanya sekedar foto-foto. Karena jalannya berbatu-batu, kursi rodaku tidak bisa bergerak. Pelan-pelan aku bangun dari kursi roda mulai berjalan ke tengah, dipapah dokter. Di pintu keluar, aku diajak bicara seorang penjual di situ dan diberikan cokelat almond sebagai hadiah.

Perjalanan dilanjutkan ke Masjid Quba untuk melaksanakan salat sunnah. Alhamdulillah bisa salat dua rakaat. Saat menuju keluar, aku melihat segerombolan orang hitam. Entah kenapa tiba-tiba aku berteriak histeris sambil menutup mata. Mungkin masih trauma.

Perjalanan terakhir sebelum pulang ke hotel, kami singgah di Jabal Uhud. Lupa namanya apa. Karena kondisiku yang kurang sehat, akhirnya aku memutuskan untuk tetap di bus ditemani Ketua Kloter 14 BTH. Sambil ngobrol panjang akhirnya kami kembali ke hotel tepat pukul 11.00 WAS.

Madinah, 12-15 Oktober 2015

Pukul 08.00 WAS, aku dan dokter menuju Masjid Nabawi untuk ziarah ke Raudah, Makam Baginda Rasulullah SAW. Saat mulai masuk di halaman masjid, tepatnya di pintu 25, kami diarahkan ke pintu 30 yang tidak jauh dari situ. Melihat jalan ke atas lumayan mendaki, aku kasihan sama dokter kalau harus mendorongku. Tapi, tak lama kemudian ada sekelompok ibu-ibu dari Kuala Lumpur yang lewat, mereka membantuku untuk bisa naik.

Kami pun melanjutkan perjalanan menyisir Masjid Nabawi. Sampailah di batas antrean Raudah. Salah seorang petugas bercadar menyuruhku untuk terus ke dalam sampai menuju kawasan karpet hijau.

Dokter hanya diam dan takjub atas kebesaran Allah ini. Aku menuju depan Makam Nabi Muhammad SAW, air mataku mengalir menyaksikan langsung keajaiban ini. “Di balik ujianMu, ada kemudahan buatku Ya Allah,” batinku. Aku mengucap syukur lagi karena diberikan waktu untuk melaksanakan salat sunnah di karpet hijau. Hari ini sangat luar biasa, banyak hal-hal yang membuatku takjub akan kebesaran Allah SWT.

Menjelang hari-hari terakhirku di Madinah, banyak yang membantuku. Makanan diambilkan, mau bikin susupun dibuatkan oleh anggota reguku. Sungguh luar biasa bersahabat dengan mereka. Sangat berutang budi dengan mereka.

Hari terakhir di Kota Madinah, aku menyisir pertokoan sampai masuk ke sebuah hotel yang menjual bakso. Disitulah aku dan yang lainnya makan bakso sebelum pulang ke hotel. Kami mulai berkemas-kemas dan mengeluarkan barang-barang.

Sore menjelang pukul 17.00 WAS, kami masuk bus. Selesai azan magrib, barulah bus melaju ke Bandar Udara Internasional Pangeran Mohammad bin Abdul Aziz, Madinah. Butuh 30 menit untuk sampai ke sana. Semua berkumpul di ruang tunggu bandara.

Jamaah-jamaah terlihat sibuk mengemasi barang-barangnya karena tidak boleh ada yang dibawa selain tas jinjing dan tas leher. Bisa disita. Disitulah aku mulai tertawa. Dengan trik masing-masing, para jamaah berusaha mengakali petugas bandara. Satu persatu diperiksa sampai ruang keberangkatan. Ada barang yang disita petugas, ada yang lolos, tergantung setiap jamaah.

Di pesawat, aku paling depan khusus pengguna kursi roda. Butuh waktu 8-9 jam untuk sampai di Batam.

Tiba di Tanah Air, aku dibawa ke Asrama Haji Batam dengan ambulans. Langsung dibawa ke ruang rawat untuk pemeriksaan. Kemudian bergabung bersama jamaah lainnya dalam acara penyambutan. Di ruangan acara penyambutan, banyak wartawan. Aku sempat menelpon papa, H. Idris Usman. Papa sudah di Batam. Tak lama, papa datang dan langsung memelukku, suasana menjadi sunyi dan rata-rata meneteskan air mata. Termasuk wartawan yang ada di situ. Semua memeluk papa, mengucapkan turut berduka cita. Sepanjang acara, papa meneteskan air mata.

Ketika kembali ke Pontianak, aku menuju rumah tercinta juga naik ambulans. Sebelumnya, dibawa ke Asrama Haji Pontianak dulu untuk pemeriksaan kesehatan. Sesampainya di rumah, semua sudah menungguku dengan tangisan. Aku turun dengan menggunakan kursi roda masuk ke dalam rumah dan ditaburi beras kuning.

Semua terasa sunyi, mama menangis ketika menyuapkan makanan ke aku. Di sana, wartawan juga banyak. Tapi tak satupun yang aku temui karena aku ingin beristirahat, papa yang menghadapi para wartawan.

Hari-hariku jalani dengan terapi fisik. Saat aku menjalani terapi pertama, keajaiban datang. Aku bisa melangkahkan kaki sendiri. Semua bengong melihatku, aku juga tidak sadar apa yang aku lakukan. Alhamdulillah, lagi dan lagi aku mengucap syukur. Setiap tiga hari sekali aku menjalani terapi selama 2 bulan sampai kondisiku benar-benar pulih.

Aku berusaha untuk kuliah dan ujian dengan menggunakan kursi roda dan ke kantor menggunakan tongkat kursi. Lama kelamaan, aku mulai sehat dan bisa berjalan normal.

3 Januari 2016, seratus hari kepergian abang tercinta, H. Adryansyah bin H. Idris Usman. Yasin serta Al-Fatihah selalu kukirimkan tiap salatku. Aku rindu kenangan bersama di Tanah Suci walaupun singkat. Pelukan terakhir abang dan janji terakhir akan adek ingat, selalu selamanya. Semoga abang bahagia dan tenang di surga bersama rekan-rekan jamaah yang gugur dalam Tragedi Mina 24 September 2015. “I Love You My Brother, yearning you is the hardest piece of my lifeAku menyayangimu abang, kerinduan kepadamu adalah bagian paling sulit dalam hidupku”.

Terima kasih kepada semua yang mendukung penulisan perjalanan hajiku ini yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu. Terima kasih kepada pembaca budiman yang sudah mau membaca tulisanku. (*/selesai)