eQuator.co.id – Gara-gara menginap di desa wisata Pentingsari atau Dewi Peri, saya mengenal istilah baru: Dewi Pura atau desa wisata pura-pura. Berikut catatan Joko Intarto, redaktur tamu Rakyat Kalbar, saat mengikuti reuni IX Konco Lawas Jawa Pos.
Saya tidak menyesal pindah dari Cavinton, hotel berbintang empat di kota Jogja, ke homestay di lereng gunung Merapi. Meski kamarnya tak semewah Cavinton, pengalaman menginap di homestay Pentingsari itu lebih berkesan.
Menginap di desa wisata memang lebih mengasyikkan. Banyak pengalaman baru yang saya dapatkan di desa wisata dan tidak saya peroleh di hotel.
Begitu masuk homestay, pemilik rumah menyediakan welcome drink minuman wong ndeso: wedang. Pilihannya beragam: teh, kopi, jahe dan secang. Selain wedang, tuan rumah juga menyuguhkan panganan ndeso: wajik, krupuk puli dan emping mlinjo.
Di hotel, tamu hanya memperoleh makan sekali. Pagi hari. Budget hotel malah ada yang tidak menawarkan sarapan. Di desa wisata, layanan makan sebanyak 3 kali sehari: pagi, siang dan malam. Boleh juga makan dua kali saja: pagi dan malam.
Menunya? Ini yang istimewa: sama dengan menu tuan rumah. Kalau tuan rumah sedang memasak opor, tamu juga dapat opor. Di rumah Pak Doto, saya disuguhi sarapan yang ‘uenak tenan’: nasi gudangan atau urap dengan tempe goreng, tahu goreng dan telur ayam goreng. Semua dari hasil budidaya penduduk desa.
Namanya saja menginap di rumah penduduk. Kalau nasib lagi baik, dapat kamar di rumah yang bagus. Kalau kurang beruntung, dapat kamar di rumah sederhana.
Tapi, perbedaan fisik kamar tidak pernah menjadi keluhan wisatawan. Mereka sudah tahu. Seperti itulah risiko menginap di rumah penduduk. Berbeda dengan hotel yang semuanya serba berstandar.
Rumah warga desa yang menjadi homestay hanya memiliki standar minimal yang sederhana: kamar tidur sehat dan toilet bersih. Selebihnya: apa adanya. Di situlah salah satu daya tariknya.
Makin banyaknya wisatawan yang menginap di desa wisata ternyata mendorong sejumlah pemodal mengadopsi konsep serupa. Para pelaku desa wisata menyebut ‘’desa jadi-jadian’’ itu sebagai ‘’dewi pura’’ alias desa wisata pura-pura.
Dewi pura itu sebenarnya hotel. Tempatnya saja di desa. Dikelola seperti halnya hotel oleh investor dengan merekrut orang-orang desa sebagai pekerja.
Keberadaan dewi pura sebenarnya dipertanyakan para pelaku desa wisata. Banyak pengusaha di kota yang saat ini membangun dewi pura: hotel tapi beroperasi tanpa izin hotel. Tinggal di dewi pura, sama saja gagal menikmati pengalaman tinggal di tengah masyarakat desa seperti yang diharapkan. (jto/habis)