Demi Demokrasi

Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Perjuangan anak-anak muda ini hampir mencapai puncaknya. Tiga hari lalu. Sebentar lagi tegaknya demokrasi dan hukum akan ikut dijaga oleh Amerika.

Di Hongkong. Di tingkat komite, Kongres Amerika Serikat sudah setuju. Dengan suara bulat pula. Bahwa Amerika berhak menghukum Tiongkok kalau mengurangi kadar demokrasi dan hukum di Hongkong.

Di Hongkong. Sebentar lagi itu akan menjadi UU di Amerika. Hasil komite itu akan dibawa ke pleno —dan hampir pasti disetujui. Mungkin tanggal 14 Oktober depan.

Demo anak muda di Hongkong itu memang luar biasa. Sudah berlangsung hampir tiga bulan. Kian lama kian militan.

Bahkan berlebihan. Misalnya, merusak fasilitas stasiun kereta bawah tanah, menurunkan bendera nasional dan menginjak-injaknya. Lalu membuangnya ke laut.

Pun akhir minggu ini. Masih akan demo lagi. Bahkan mungkin yang terbesar. Itu dipicu oleh semangat anti-Tiongkok.

Hari itu, 1 Oktober, adalah hari kemerdekaan Tiongkok. Yang ke-70. Di Beijing akan ada perayaan besar. Yang terbesar. Akan ada parade capaian Tiongkok selama ini. Termasuk di bidang persenjataan.

Di Hongkong peringatan itu semula juga akan diadakan besar-besaran. Tapi diurungkan.

Upacara benderanya hanya akan diajukan di dalam gedung. Pun resepsinya. Ini sebagai jaga-jaga untuk tidak dibubarkan oleh demonstran.

Tiongkok memang tidak bisa berbuat banyak. Ia terikat pada perjanjian 1997. Saat Inggris mengembalikan Hongkong ke Tiongkok.

Janjinya: Tiongkok akan memelihara demokrasi dan hukum. Yang sudah berlaku selama penjajahan Inggris. Setidaknya untuk 50 tahun. Yang akan berakhir 2047.

Itulah sebabnya tokoh-tokoh muda Hongkong bebas bergerak. Termasuk ke Jerman dan Amerika. Dalam statusnya sebagai tersangka —melanggar aturan demo.

Joshua Wong misalnya. Yang umurnya baru 22 tahun. Mahasiswa ilmu politik.

Ia sudah 10 hari ini di Washington DC. Ia melobi anggota Kongres. Salah satunya Marco Rubio. Yang pernah kalah saat mengikuti seleksi capres dari Partai Republik. Kalah dari Donald Trump.

Anda masih ingat: gelombang demo itu bermula dari RUU Ekstradisi. Seperti yang di Jakarta. Dan di seluruh Indonesia. Sekarang ini.

RUU di Hongkong itu, kalau disahkan, dianggap bisa mengurangi tegaknya hukum dan demokrasi.

Setelah demonya sangat besar, pemerintah membekukan RUU tersebut. Tapi anak-anak muda itu belum bisa menerima.

Demo pun kian besar. Pemerintah kemudian menyatakan RUU itu sudah mati.

Belum juga bisa diterima. Harus dicabut. Demo pun berlarut. Kian militan.

Baru, setelah demonya berlangsung lebih dua bulan, RUU itu dinyatakan dicabut.

Tapi demo juga masih terus berlangsung. Keadaan sudah terlanjur terlalu jauh. Sudah lebih 1.300 yang ditahan.

Mereka minta itu menjadi bagian dari tuntutan baru: agar dibebaskan.

Mereka juga minta ini: agar dibentuk tim independen. Untuk menyelidiki tindakan polisi terhadap pendemo. Yang mereka anggap sebagai melebihi batas —di sebuah negara demokrasi.

Maka biar pun Amerika hampir pasti segera memiliki UU Pelindungan Terhadap Demokrasi, Hukum, dan Hak-hak Asasi Manusia di Hongkong, demo masih akan terjadi.

Mungkin malah seperti api yang mendapat siraman methanol Speedway. Mereka lebih merasa kini mendapat dukungan Amerika.

Apa keberatan Tiongkok kalau demokrasi, hukum, dan hak asasi tegak di Hongkong? Tentu tidak ada.

Toh itu sudah berlangsung sejak 1997. Dan itu ada dalam perjanjian.

Tapi Tiongkok memang punya ambisi besar: untuk mengintegrasikan Hongkong dalam sistem pembangunan ekonomi kawasan Delta.

Kawasan Delta meliputi Shenzhen, Guangzhou, Zhuhai, Macao, dan Hongkong.

Mereka itu berada di Delta Sungai Mutiara. Yang begitu besarnya sungai itu —banyak pelabuhan besar di sepanjang pinggirannya. Kalau rencana itu berhasil, ekonomi satu kawasan ini saja sudah bisa mengalahkan ekonomi Jepang.

Mengapa tidak lebih sabar saja —menunggu tahun 2047? Itulah. Kalau sampai Hongkong tidak dimasukkan kawasan ini bisa jadi justru Hongkong yang akan tertinggal.

Tiongkok tidak mau Shenzhen menjadi pesaing Hongkong —saling mematikan. Tiongkok ingin dua raksasa ini —Hongkong dan Shenzhen— dalam satu koordinasi kemajuan.

Tiongkok sangat marah dengan RUU di Amerika itu. Tiongkok, kata Menlunya, akan melakukan tindakan setimpal.

Diingatkan, saat ini ada 60.000 orang Amerika di Hongkong. Juga ada 1.500 perusahaan Amerika di pulau itu.

Sebenarnya sudah sejak lama Amerika ingin melahirkan UU seperti itu. Tapi  setiap kali ada inisiatif ketemu jalan berliku. Prakarsa itu selalu padam sebelum mendapat ethanol.

Yang memadamkan adalah orang Amerika sendiri. “Para diplomat Amerika selalu mencegah. Demikian juga para pebisnis Amerika di Hongkong,” ujar tokoh komite sekarang ini.

“Sekarang berhasil karena kondisi di Hongkong sangat panas,” tambahnya.

Kini, apinya, dan ethanolnya, datang bersamaan. “Tolonglah kami, Presiden Donald Trump,” begitu bunyi spanduk yang sering diacungkan di Hongkong.

Yang menolong ternyata lebih besar: Kongres Amerika.

Trump sendiri lagi dalam posisi perlu ditolong. Minggu lalu tokoh Partai Demokrat Nancy Pelosi –

yang juga Ketua Kongres— secara resmi sudah mengumumkan: meng-impeach Trump.

Keinginan meng-impeach itu sudah lama. Dipelopori generasi muda baru di Kongres Amerika. Tapi Pelosi selalu belum setuju.

Kali ini ada bukti yang sulit dihindari: editan transkrip pembicaraan telepon Presiden Trump ke Presiden Ukraina. Transkrip itu disiarkan sendiri oleh Trump.

Itu melanggar banyak sekali sumpah jabatan. Itu rahasia —mengapa disiarkan. Itu penyalagunaan kekuasaan —mengapa isi transkripnya seperti itu. Dan banyak lagi.

Isi transkrip itu: Trump minta pada Presiden Ukraina untuk menyelidiki bisnis anak Joe Biden di Ukraina. Terutama yang terkait dengan kekuasaan bapaknya —yang saat itu menjadi wakil presidennya Barack Obama.

Transkrip itu dikirim saat Biden secara resmi sudah berstatus salah satu calon presiden Amerika. Saya sangat tidak antusias menuliskan semua itu. Kan di dalam negeri banyak yang harus ditulis. (DIS)